Belakangan ini, sedang naik daun sebuah ungkapan: "Orang jahat lahir dari orang baik yang tersakiti". Kalimat ini dipopulerkan melalui sebuah film yang merupakan penjabaran dari seorang antagonis musuhnya Batman. Pada banyak kejadian, didapati bahwa kalimat ini tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah.
Dikatakan benar, karena teringat ada kasus suami yang ditahan polisi karena jual ganja demi kesembuhan istrinya (tahun 2015 awal). Ada pula beberapa kriminal yang terdorong berbuat jahat karena himpitan ekonomi dan prasyarat kehidupan yang semakin membuat jangar. Kalaupun boleh merefleksi lebih jauh, tidak sedikit kasus perselingkuhan yang berujung pembunuhan. Kasus contoh yang lebih jauh lagi, adalah pembunuhan seorang pemerkosa oleh 5 orang wanita lantaran polisi sudah kadung disuap oleh pemerkosanya.
Tetapi, pada beberapa konteks memang kalimat diatas menjadi bumbu justifikasi bagi orang-orang tertentu untuk membuka kesempatan berbuat jahat. Padahal, bisa jadi hanya pura-pura disakiti, supaya dapat panggung untuk melancarkan aksi. Contoh kasusnya seringkali bisa ditonton lewat sinetron, hingga berbagai pledoi para kriminal yang bersliweran di media massa kita.
Jadi, kalau ada orang bilang 'kami biasa suap dan korupsi karena anggaran minim' apakah itu adalah contoh orang yang mencari justifikasi?
Kemungkinan besar, ya. Aku heran, soalnya banyak profesi yang dibayarnya jauh dari kata layak, pekerjanya rela banting tulang. Lah, orang yang sering mengklaim begini biasanya angka gajinya malah lebih fantastis. Tapi mari kita positif dalam pikiran, sekalipun kasus di dunia nyata sudah berlimpah tentang orang-orang semacam ini.
Menilik dari kata mutiara yang pernah populer lewat suatu acara investigasi di awal tahun 2000, semestinya memang kejahatan tak hanya lahir karena adanya pihak yang disakiti. Kata mutiara itu adalah: "kejahatan ada bukan hanya karena niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah!". Saya kira, kita semua masih hafal jargon ini kan?
Sejatinya, Einstein pernah berkata saat mudanya: "Kejahatan adalah kondisi saat hati manusia tiada tersentuh iman, sebagaimana dingin adalah kondisi ketiadaan kalor dalam suatu substansi, gelap adalah kondisi ketiadaan cahaya." Jika memang benar kejahatan disebabkan beberapa faktor yang melenyapkan iman, apa sajakah faktor tersebut?
Ary Ginanjar Agustian, pakar ESQ Indonesia menjabarkan ada 7 hal yang bisa melenyapkan iman dan menutup suara hati:
Faktor internal:
1. Prasangka buruk yang dipelihara.
Dewasa ini, jikalau banyak orang yang mengecam keberadaan TV dan media sosial, rasanya merupakan hal yang masuk akal. Sebagian besar stasiun TV dengan sukarela menampilkan acara ghibah dan reality show yang memaparkan adegan caci maki dan perkelahian yang kurang bermutu. Sayangnya, acara seperti ini langgeng karena peminatnya cukup banyak dan ditanggapi dengan cukup serius. Maka, jangan heran kalau berprasangka buruk jadi budaya sehari-hari dalam orbrolan dengan tetangga.
Ketika prasangka buruk terlalu sering dipelihara dan diternakkan, budaya memfitnah bisa jadi ikut tumbuh. Lama-lama, berakibat fatal dalam menjaga kepercayaan antar masyarakat. Lambat laun, budaya menghakimi, mempersekusi, dan merisak bisa jadi kebiasaan. Akan tetapi, di sisi lain berprasangka buruk cenderung susah untuk dikendalikan, (cenderung loh yha, bukan selalu ) dalam rumpun masyarakat yang biasa menerima ketidakadilan hukum dan penyimpangan yang tidak mendapat perhatian serius dari aparat.
Sayangnya, budaya berprasangka buruk dan mencari kesalahan orang seringkali tumbuh subur di kebanyakan pekan orientasi siswa dan mahasiswa. Jadilah setiap tahun berganti, ospek selalu jadi ajang balas dendam. Di titik itulah setan tertawa karena terbukanya celah untuk menghasut manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa……” (QS. Al Hujurat: 12)
2. Prinsip hidup manipulatif
Kadangkala, kita jumpai di lingkungan pendidikan ada anak atau mahasiswa yang senangnya merundung dan merisak orang lain. Memang sebagian anak terdorong jadi brutal, lantaran kurang mendapat kasih sayang orang tuanya. Sebagian lainnya, bisa jadi karena memang diberikan angin segar bagi orang tuanya untuk berbuat demikian.
Kebutuhan ekonomi kita yang semakin kompleks, yang dilumuri dengan standar moral dan hukum yang semakin amburadul, tak pelak melahirkan kebebasan dalam hidup yang seringkali kebablasan. Beberapa keluarga adakalanya tidak sungkan-sungkan untuk saling bersekongkol dalam pencurian harta orang banyak. Beberapa keluarga, adakalanya saling bermufakat untuk pura-pura lupa bayar hutang tetangganya. Miris, memang beberapa kebiasaan buruk dilanggengkan dalam tatanan masyarakat terkecil, dimulai dari ketidakpedulian yang sepele:
Hidup di kota harus punya mobil, meskipun belum ada garasi dan rumah di gang sempit.
"Memang jalanan punya nenek moyang lu?" Lalu yang berteriak seperti ini melibas pengguna jalan lain.
Dapatin harta halal aja susah, harta haram boleh dong asal tetap hidup.
Sayang seribu sayang, hal ini fatal bila dicontoh jadi suatu hal yang baik bagi anak muda. Makanya, samapi sekarang saya heran: kira-kira apakah ibu yang pernah kabur menabrak paman saya sampai tangannya robek, diajarkan keluarganya untuk ambil seribu langkah setelah menabrak.
3. Pengalaman hidup yang pahit dan pelik.
Inilah yang relevan dengan kutipan yang sedang populer akhir-akhir ini. Memang sebagian orang punya trauma yang besar, sehingga terjerumus dalam perbuatan yang salah. Saya sudah sering dengar cerita pilu anak-anak yang sering dimarahi orang tuanya ketika tidak berprestasi maksimal, lantas mereka ungkapkan dengan tawuran dan ikut geng motor.
Selain itu, bagi beberapa orang, memiliki pengalaman pahit dan dikhianati pasangan membuat mereka rentan terhadap sikap skeptis. Dalam titik-titik skeptis itu, biasanya iblis sering menghasut lewat bisikan soal keputusasaan dan depresi.
4. Sudut pandang yang sempit dan keliru.
Agak berbeda dengan prasangka buruk. Ini lebih ke soal sempitnya pikiran, keengganan untuk berpikir secara sistematis, dan seringkali didorong oleh penolakan terhadap suatu informasi dan aturan. Contohnya, ketika membuka lahan untuk dijadikan rumah, kita abai terhadap para petani dan orang pinggiran yang terdampak dalam perombakan lahan. Lantaran dalam pikiran kita sudah tertanama pola pikir bahwa orang pinggiran cenderung jorok dan petani dianggap seolah tidak berpengaruh pada lingkungan sekitar, lahan langsung digusur tanpa pikir panjang. Orang yang memiliki sudut pandang yang salah, ini seringkali juga terdorong oleh prinsip hidup yang keliru.
Sayangnya, beberapa orang bertahan dengan pola pikir yang salah ini, karena stigma dan pengaruh sosial yang berkembang dalam lingkungannya mendorong untuk menganggapnya sesuatu yang benar.
-Mestinya, orang pinggiran dan buruh yang kumuh tak cocok tinggal di kota yang bersih. Bisanya hanya nyusahin.
Barangkali, orang seperti ini baru sadar dirinya salah kalau menyadari bahwa beras yang diproduksi di daerahnya sudah menipis, karena lahannya diganti dengan apartemen.
7 Belenggu Pikiran dan Hati
Faktor eksternal
5. Pengaruh pembanding.
Tidak perlu mengambil contoh hingga ke tetangga. Seringkali, kita sebagai orang tua terlalu nyaman dalam kebiasaan membandingkan anak sendiri dengan anak lainnya. Dalam beberapa kantor, pernah dijumpai juga budaya perusahaan yang sering mendiskreditkan satu divisi tapi memanjakan divisi yang lain. Saya pernah membaca dari beberapa kisah nyata tentang korupsi: beberapa praktek gratifikasi, suap, dan permufakatan jahat seringkali dapat support dari keluarga, karena ingin taraf hidup mengikuti pencapain orang lain yang lebih tinggi.
Pada suatu ketika, pernah saya dapati salah seorang komikus ternama, Aji Prasetyo berkomentar tentang tersiksanya gaya hidup yang tenggelam dalam membanding-bandingkan (saya salin tempel dari tautannya beliau):
Beberapa menit kemudian muncul lagi seorang perempuan, kali ini dengan menenteng tas seharga 80 juta. Seketika hilanglah kebahagiaan perempuan yang pertama tadi. Tasnya kalah mahal.
Beberapa kilometer dari kumpulan itu, seorang perempuan tengah asyik menikmati kopi di sebuah kafe sederhana. Di sampingnya tersandar tas miliknya yang harganya 50 ribu, dan malam itu dia enjoy saja.Buat perempuan pemilik tas 20 juta tadi, kebahagiaan itu harganya mahal dan ketidakbahagiaan itu terlalu mudah terjadi.
Dan jangan-jangan, kita pun seperti dia.
6. Pengaruh kepentingan dan prioritas
Jika ada yang menyarankan untuk selektif dalam memilih sekolah, teman, tempat rekreasi, ataupun kantor, saya kira saran ini sama sekali tidak patut dianggap remeh. Siapa temen, dimana kantor dan sekolah kita sangat mendominasi dalam membuat kita memandang sesuatu yang penting dalam hidup ini. Contoh kecil, semisal kita punya target menurunkan kolesterol selama 2 minggu. Lalu kita berkumpul kembali dengan teman-teman yang mengajak undangan makan dan pesta selama 5 hari, jika kita tidak selektif, fokus akan terkoyak-koyak.
Pun demikian halnya ibadah. Saya berterus terang, ipar saya memutuskan resign dari sebuah kantor yang membayar THRnya tidak layak dan diwajibkan rapat sampai lewat jam shalat. Maka, saya dukung keputusan itu, karena jangan sampai kesibukan terhadap dunia menjadi puncak pikiran, lantas kita melupakan siapa yang Maha Menciptakan pikiran.
7. Pengaruh literatur.
Apakah yang dimaksud dengan literasi? Pemahaman umum kita, merujuk literasi sebagai kemampuan kita untuk menyerap dan memahami bacaan tertulis. Namun, sejatinya literasi adalah kemampuan manusia untuk mengenali hal-hal yang menjadi sumber tertulis. Merupakan pendapat yang timpang untuk menilai bahwa seorang perenang kurang cerdas lantaran selera novelnya picisan.
Adalah pemikiran yang terlalu sempit untuk menilai seorang atlet lari kurang cerdik lantaran tidak bisa masak.
Lautan informasi yang membentuk pengetahuan diantaranya juga terdapat polusi pikiran yang berperan besar dalam membentuk persepsi negatif. Cukup mengerikan beberapa universitas (yang bahkan pakai embel-embel agama) justru berisi orang-orang yang seringkali bercanda menantang Rabb dan agama. Kita boleh saja suka dengan suatu pengetahuan, tetapi jangan sampai membuat kita mendewakan nalar dan narasi ketimbang melaksanakan dan memulikan perintah dan larangan dari Sang Pencipta.
Bagaimana cara memilih bahan bacaan yang baik? Bertanyalah dulu pada nalar kita yang berintegrasi dengan keimanan dan kepekaan hati. Saya sempat membuang buku, dan tidak menyesalinya, lantaran di bagian pembukanya terdapat paragraf 'yang agak menantang'. Seringkali, berpikir lebih jauh tentang kualat membuat kita selamat dalam menyerap informasi yang berharga untuk jangka panjang.
Demikian 7 hal yang bisa membatasi nurani dan akal sehat kita. Semoga kita semua selalu disempatkan untuk mengupas diri dan mengevaluasi apa yang sudah dipikirkan, diucapkan, dan diperbuat oleh sekujur tubuh kita.
Wallahu alam bi 'shawab
Kalau dibalik "Orang baik karena aibnya tertutupi" Agree?
BalasHapusHmm klo dirangkum, 1 kata yg membuat orang jadi jahat "lupa", lupa jati diri ...😁🙏
BalasHapusMbak mei: bisa jadi. Tapi kalau dia malah ketagihan berbuat jahat, jangan2 aibnya malah melebar.
BalasHapusNio: bisa jadi karena lupa. Karenanya orang butuh pengingat. Mudah2an orangnya ga resisten kalau diingatkan.
Berbobot ya bahasanya , tapi suka cara mengulasnya 😊😊
BalasHapusOrang jahat ketemu jahat jadi berantem 😁
BalasHapusWow keren
BalasHapusOrang bisa jadi jahat kadang juga krn ada kesempatan.
BalasHapusKata bang Napi, maka waspadalah waspadalah waspadalah