Dalam peralihan April menuju Mei, sering ku dengar cerita tentang kekasih hatimu. Kau begitu merindukan ia yang berbadan tambun dan berambut jabrik itu, yang terpisah jarak antar pulau. Betapa sering pula kau puji dirinya meskipun sedang bertengkar dengannya.
Pertengahan Mei, kau bersedih. Kekasihmu beralih jadi masa lalu: ia menutup ruang untuk dirimu. Lalu kau minta nomor teleponku. Tentu saja kuberikan. Namun tak ada rasa bergemuruh dalam hatiku, sekalipun kau mengirimkan dering teleponmu terlebih dahulu. Malam itu, engkau ungkapkan beberapa kekesalan dan kerinduan akan dirinya yang mengambil keputusan tergesa-gesa.
Di suatu sore bulan Juni, hujan turun. Kau menelpon diriku kembali, meminta agar menjemputmu di sebuah hotel. Aku tak percaya bahwa begitu cepat kau mempercayaiku saat terdampar di Bandung. Ya, kau bingung mencari arah di dalam kota yang belum pernah dijamah. Teman kenalanmu menelantarkan dan tak bisa lagi dihubungi, membuatmu kesal tak karuan.
Kuhubungi satu persatu teman wanitaku, adakah kost-an mereka yang masih untuk disinggahi seorang wanita yang bingung mencari arah? Akhirnya Florence, temanku menyetujui, kuantar dia untuk singgah di sana. Saat itu, aku sedang menjalani persiapan ujian akhir semester kalkulus. Kau berjanji untuk tidak merecoki Florence.
Sesudah ujian dilaksanakan, aku menjemputmu di siang hari. Kau bersiap kembali ke ibukota, tempatmu berasal. Sebelum moda angkutan siap membawamu, aku mengambil potret berdua denganmu. Sungguh suatu kesempatan yang tercipta dalam sempitnya waktu.
Hari-hari sepanjang bulan Juni, sesering mungkin kita saling bertelepon. Hingga tiba waktunya, aku mengungkapkan perasaan padamu. Kau terkejut, tapi tak menjawab apapun, lebih memilih untuk membahas topik lain. Lalu kau memintaku menjemput dirimu yang hendak melaksanakan ujian di universitas padjajaran. Psikologi adalah bidang studi impianmu.
Setelah aku menjemputmu, sepanjang jalan menuju Jatinangor kita saling bertukar cerita. Tapi kau tak kunjung mengangkat tema tentang kalimat pamungkas yang terucap beberapa malam silam. Kau sedang ujian, aku coba menahan diri. Malam tiba, aku mengantarmu untuk menginap di sebuah hotel melati yang bertarif murah.
Esok harinya, aku mulai dihinggapi keraguan atas perasaanku terhadapnya. Apakah memang rasa ini nyata adanya atau hanya sepintas karena kurasakan ruang kosong yang ada antara kita? Kau meminta untuk kembali ke Jakarta. Entah mengapa, memang tak hendak dirimu mengangkat tanggapan tentang ungkapan perasaan beberapa malam silam. Sampai-sampai, ketika moda siap mengangkutmu, kau lebih asyik menelpon orang lain.
Naas, kartu tanda pendudukmu tertinggal di hotel melati, sementara badanmu sudah di Jakarta. Kaupun memintaku mengembalikannya. Tentu saja karena aku kesal, ku minta kurir kiriman kilat untuk menagih pembayaran pada penerima paket. Aku sudah mengubur dalam-dalam rasa terhadapmu, setelah kau memilih larut dalam percakapanmu dengan orang lain.
Tiga bulan berselang, kau menjadi mahasiswa Atma Jaya sementara aku beralih jadi tingkat dua. Kau terus membanjiri ruang dialog yahoochat untuk mengobrol denganku. Sesekali kau penasaran tentang apa yang terjadi sehingga aku menulis status yahoochat "demikian, demikian."
Suatu malam, kau mengkritik pembawaan diriku. Kau berpesan bahwa bahasaku kaku seperti bapak-bapak, tak sesuai dengan usiaku. Kau cemas akan diriku yang dianggap aneh oleh teman sekitarku. Sampai-sampai, kau mengakui: "Penampilanmu menarik dan kamu cukup rupawan, Brian. Semestinya kamu layak atas seorang wanita yang mungkin melebihi diriku."
Wow. Gumamku dalam hati. Mengapa kau demikian peduli setelah lama kau tak lantas tanggap dengan perhatian yang ku berikan.
Tapi aku tak menggubrisnya dengan serius. Tak kusangka semudah ini mengendalikan hati untuk tenggelam dalam perasaan yang serius. Ku jawab saja pesan panjang itu seadanya, tentang kepuasan menjadi diri sendiri. Barangkali, ketika masa itu kebutuhan untuk beraktualisasi diri lebih penting dari sekedar kebutuhan asmara.
Tak lama, kau pun resmi bersanding dengan pria lain. Teman seangkatan lain kampus. Aku cuma mengucap selamat, tanpa secuil kerikil pun yang mengusik dinding-dinding hati. Kadang, memang cara memaknai kesibukan membuat perubahan dalam cara memandang dunia.
Barangkali, memang pubertas punya masa kadaluarsanya. Tepat setelah dengan mudah aku menemukan jawaban saat menguji perasaan yang muncul dari diri sendiri.
Kau menikah terlebih dahulu, aku hanya mengangguk "oke". Kau punya anak lebih cepat dua tahun dariku, aku tak mengapa. Aku doakan engkau jadi ibu yang baik dan bisa membimbing putrimu.
Tayangan cinta monyet ada masa kadaluarsanya. Beberapa kesibukan dan pelaksanaan cita-cita bisa jadi berperan besar dalam merubah arah otak. Semula mungkin hanya terpikir cinta monyet, tiba-tiba merasa bahwa wisata menuju rumah KingKong lebih istimewa. KingKong kini pergi ke Hong Kong untuk bermain pingpong dalam tong, sambil menonton tayangan PinkFong "baby shark du du du du".
Aku mundur alon2 mergo sadar aku sopo
BalasHapusAuto nyanyi baca judulnya 😃😄
Hahaha. Untung judulnya bukan Gema Famire, nanti malah joget maksimal.
BalasHapus