Pada tahun 2016, tatkala presiden Erdogan mencegah KB berlaku di negaranya, sebagian besar orang melongo seperti melihat duren 5 ton jatuh dari Menara Eiffel jebol hingga ke dasar tanah.
Mereka bertanya : "How Comeee? " "Bukannya banyak anak banyak masalah??? "
Eits tunggu dulu, coba pikir lagi sejenak, mari aku mulai dengan pertanyaan:
"Benarkah populasi adalah sebuah bencana?? "
"Ya".begitulah kata sebagiann orang, terutama mereka orang yang ingin karirnya melejit, tanpa harus gangguan 'anak-anak' . Mereka pun berujar: "kalau kita masih muda mah puaskan karir dan sekolah , nanti baru ngurus anak". Pendapat ini tidak sepenuhnya salah ataupun benar. Tidak sepenuhnya salah karena memang masa muda adalah saatnya menuntaskan banyak agenda dan rencana, tanpa interupsi prioritas. Tapi tidak sepenuhnya benar karena teman-teman semasa karir, kuliah, sekolah, selain keluargamu pada akhirnya hanya berduka sesaat- pada kebanyakan kasus-, sedangkan keluargamu kemungkinan besar berduka selamanya bila kita tiada Begitulah pesan wakil direktur di perusahaan saya kemarin pada saat awal presentasi.
Tapi jika memang populasi adalah sebuah bencana layaknya tsunami yang menggerus lahan daratan dan pertanian, berarti bisa jadi (naudzubillah) orang otomatis terlahir membawa nafsu serakah...haahahhaa . Hanya saja, mungkin betul parenting itu sulit, lalu yang kemudian membuatnya tambah sulit adalah,.."ketika harus membesarkan anak sesuai dengan ekspektasi kebanyakan orang".
"Kok kau lancang bicara demikian, hai briantono sembrono!!"
Ini murni adalah pemikiran yang berawal dari sebuah celetukan paman saya: "Pada zaman dahulu, ketika orang punya anak anak , tidak semuanya masuk sekolahan, ada sebagian jadi petani".
Kebetulan, saat itu paman saya lagi giat berkebun. Dari titik itulah naluri saya tergetar. Tersadarlah bahwa kebanyakan orang yang -terutama mampu-, mau tidak mau mengikuti standar kehidupan yang seperti sudah saklek kayak tiang listrik yang suka nyetrum mendadak : playgroup-tk-sd-smp-sma-s1-s2-s3-es teler.-kerja-nikah-karir-...Ups sengaja salah ketik,...maksud saya biar pembaca bisa ketawa garing dikit melihat paragraf saya yang cukup bikin mata jereng ini. Atau malah terlalu hambar untuk sebuah lelucon?
Di simak dari berbagai penelitian dan fakta di dunia, terutama Indonesia: sebagian motivator, sebagian pengusaha sukses, CEO bahkan mereka yang menjadi sumber rujukan kita dalam bahan kuliah, adalah orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan formal hingga tuntas, tidak merasakan S2, S1, bahkan SMP, SD. Tengoklah Thomas A. Edison, Ippho Santosa, Bill Gates, dsb Bukan hanya itu, Pak Karno Bapak Bangsa kita saja pun malah berkarir di luar jurusan saat telah lulus dari Teknik Sipil.
Maka, apakah hidup hanya perkara sekolah? Big No!
Siklus gaya hidup kebanyakan orang, terutama di Indonesia, hari ini sangat dipengaruhi gengsi cap jahe meregehese, Mendorong tiap orang harus punya rumah mobil, resepsi luxury dengan adat segudang untuk acara nikahan , tujuh bulanan, hari anniversary untuk pernikahan. dan harus naik karir abret. Tapi kalau ditanya alasan kenapa diselenggarakan seperti itu, mungkin kebanyakan akan menjawab karena takut dicemooh tetangga sebagai alasan utama, ataupun soal menghargai teman sejawat dan saudara. Hahaha, padahal kalau mau sukses hari ini, cobalah kerja halal apa saja, dan siap gagal dalam berteman dan berbisnis dengan berbagai kalangan, tak perlu lagi nunggu dipanggil "kantor bergengsi" saja untuk dapat gaji 10 Ju ta rupiah.
Lalu patut kita ingat, menurut sabda Rene Suhardono, karir tak hanya di kantor, tapi juga soal parenting dan membina hubungan birrul wallidain. Ada mantan karyawan, ada mantan istri, ada mantan suami, dan ada mantan pacar-yang cukup lazim-,..tapi tidak akan ada, tidak akan ada,....mantan ayah, mantan ibu, mantan anak, dan mantan kelapa,..adanya santan kelapa....
Tapi lagi-lagi, ada saja orang yang mendobrak status quo seperti ini, tengoklah Alvin dan Larissa, dan juga teman-teman saya yang kelar SMA sudah nikah pasca lulus dari gedung sekolah mereka di jalan Belitung dan Sumatra, apakah ada masalah ?? Pastinya ada,..tapi ga berlanjut. Ini lah sebuah keniscayaaan bak cahaya di tengah kegelapan rumah karena pemadaman PLN, bahwa faktor mayoritas membawa masalah kependudukan hari ini adalah "GENGSI DAN TRADISI"..
.Duuuarrrr, langsung beberapa orang mukanya merah padam bak cabe berubeli dari pasar tradisional yang masih segar Mengapa saya tulis kesimpulan seperti ini?... Silakan kita tengok kembali beberapa kota terpadat di Indonesia. Sebut saja Jakarta, sebut pula Bandung, mungkin juga Medan. Percayalah bahwa tak jarang sosial media tentang kota-kota tersebut berisi drama mobil numpuk udah kayak jamaah ngantri sembako, Tepat beberapa waktu lalu, menteri koordinator sempat berujar bahwa kemiskinan terjadi karena yang kurang mampu pada besanan. Apakah ini adalah faktor pendorong kemiskinan? TENTU TIDAKK...jika demikian bayipun harus disalahkan karena polusi udara dan sampah membludak. Hebat kali dia lahir oe-oe langsung bisa pesen mobil di dealer, terus ngerokok, dan buang sampah sembarang.....jajajajajajajajja....
Berapapun biaya yang diberi dalam pekerjaan dan kehidupan kita, akan cukup untuk bisa makan minum, membeli pakaian seadanya, ataupun menyelamatkan kendaraan dari BBM sekarat, berikut bayar listrik. Tapi TIDAK AKAN PERNAH CUKUP untuk memenuhi gaya hidup untuk tambah lemak di restoran, tambah kendaraan untuk 1 orang 1,..memperbanyak tempat usaha yang diluar kontrol, apalagi beli perhiasan diluar mas kawin HANYA DEMI MENYENANGKAN TETANGGA, DAN CITRA. Hari ini, yang paling banyak membawa masalah bukan lagi sekedar kemiskinan, tapi orang-orang berkecukupan bergelimpangan tapi menambah-nambah kekayaan dengan menggusur lahan hidup dan pekerjaan orang miskin. Sialnya, mereka pakai jurus Kill The Messenger supaya modus terlaksana. Kan kesal jadinya.