Tembakan
Salvo di Ujung Senja
-Briantono Muhammad Raharjo-
1948, Jember
"Mbak Rukmini, kenapa sekarang
Bapak hanya jadi batu tulisan. Bapak ndak sesak tidur terus di
dalam?"
Aku tertegun mendengar pertanyaan
dari Aksan, adikku yang belum genap empat tahun itu. Aku bingung bagaimana
harus menjelaskannya. Maut selalu mengundang kerumitan-kerumitan, dibalik kepastiannya.
Kalaupun bisa menjawabnya, belum tentu aku siap menghadapi kerumitan hidup
berikutnya: siapa yang akan menjadi sosok ayah bagi kami untuk selanjutnya. Aku
tak tahu berapa lama harus menangis, tak sanggup kulihat ibu harus serba
sendiri menghadapi kami berenam.
"Aksan, Bapak sudah bahagia di
tempat tidurnya. Di mata kita, mungkin tanah ini terlihat sesak dan sempit,
tapi di dalam sana, Bapak sedang tidur di ranjang yang sangat empuk. Lebih
empuk dari rumah kita. "
"Oh, gitu ya Mas Satyo? Bapak
gak bosan tidur terus di dalam sana?"
"Insha Allah, tidak, San.
Makanya, kita harus rajin berdoa, supaya Bapak bisa betah di sana. "
Rupanya, kau, Satyo, di usiamu
masih empat belas tahun itu piawai menenangkan Aksan yang masih kecil. Ah,
Satyo, untung ada dirimu. Tapi, apa kau sanggup menjadi...
"Mbak Rukmini, mulai sekarang
aku siap untuk jadi ayah buat adik-adik. Mbak Rukmini fokus saja bantu ibu.
Kalau bisa, mulai sekarang kita belajar yang rajin biar dapat beasiswa. ",
tukasmu, Satyo dengan mata berbinar, meski masih kulihat bekas air mata
tersimpan di sklera.
"Hah? Jangan kamu yang cari
uang, Satyo, Biar Rukmini saja yang berhenti sekolah dan mulai berjualan bantu
ibu. Ibu ndak sudi kalau kamu harus
bekerja keras. Nanti nilai rapotmu turun.". sergah ibuku, dengan suara
serak habis menangis. Aku hanya bisa menunduk dan patuh, karena memang situasi
sudah sulit semenjak ayah sakit keras. Apalagi yang bisa kami harapkan dengan
harta seadanya? Saat itu, kami melangkah menjauh dari kuburan ayah yang masih
basah, mengikuti para pelayat yang bubar secara perlahan.
"Jangan begitu, bu. Mbak
Rukmini kan pinter di sekolahnya. Kemarin kan dia dapat piala penghargaan lho,
Bu. Sayang kalau dia berhenti sekolah, Bu."
"Tapi, Satyo. Mbakmu, sekolah
setinggi apa pun
juga nanti akan seperti Ibu;
mengabdi pada
suami, menjaga anak-anak, dan membimbing mereka semua dari rumah. Sementara
kamu, Satyo, laki-laki memang harusnya berkarya di luar, mengabdi untuk bangsa
dan negara, menjelajah nusantara, dengan sekolah dan kerja sampai sukses.
"
"Tak bolehkah Satyo turut
membangun bangsa ini dari rumah, Bu? Bagaimana nanti Aksan, Galih, dan Nilam akan mencari
teladan ayah, kalau Satyo berpangku tangan dari mencari nafkah? Mbak Rukmini
juga berhak bu, untuk melanjutkan keinginannya tanpa harus terus di rumah.
"
"Kamu mau melawan ibu,
Satyo?"
Ibu sudah tampak emosi. Kau mulai terdiam sambil
menunduk, Satyo.
Aku ingat betul, memang bila Ibu sudah mengucapkan suatu kalimat dengan nada
tinggi, tak ada satu orang pun anaknya yang berani melawan. Hanya mendiang Ayah, yang bisa meredakan
emosi Ibu
bila terjadi demikian. Tapi Ayah
pun sudah tak ada ,...
"Tentu tidak, Bu. Tak
ada niat sama
sekali melawan Ibu
yang sangat Satyo sayangi dan hormati. Maka, besar keinginan Satyo untuk
membantu Ibu meringankan beban sdan menghadirkan ayah dalam keluarga kita,
serta membimbing Aksan, Galih, dan Nilam. Satyo hanya tak mau ibu
menanggung sendiri semua ini, Bu."
"Benar, kamu ingin turut
menanggung kewajiban ayahmu? Ibu ndak yakin, lhe, kamu bisa fokus
belajar."
"Ibu ndak usah
khawatir. Satyo percaya teman-teman dan guru Satyo pun pasti mendukung supaya
tetap bisa belajar sambil bekerja," katamu dengan berbinar di
hari itu.
Tiba-tiba, aku ingat tentang cerita
lainnya tentang Ibu,
yang selalu diungkapkan almarhum Ayah di kala kita bercengkrama. Ayah
selalu bilang pada kita, Ibu
sebenarnya suka malu dan sungkan untuk minta dibantu. Berbeda
halnya bila kita tatap matanya sambil berkata siap untuk
meringankan bebannya.
Ibu
akan pasrah sekaligus lega. Itulah mengapa, Ibu kerap berkata bahwa tak ada
sosok lain yang mendiami hatinya, selain tentang ayah, Kupikir, kaupun tak
mirip seperti Ayah,
Satyo, karena sifatmu yang acuh tak acuh. Tetapi engkau
gemilang dengan menjadi
dirimu sendiri. Diam-diam, kau sering membimbing adik-adik kita, tanpa harus
bertitah atau melancarkan dikte.
Mungkin karena itulah, tanpa ada
desakan atau permohonan ibu, aku, dan adik-adik, sehari setelah ayah wafat kau
langsung merelakan diri berjualan di pasar. Segala macam jajanan kau tawarkan
pada tetangga, saudara, hingga teman-temanmu di sekolah, meski tak selalu
berganti jadi uang kontan.
Kudapati Ibu sering mendesah
melihatmu mulai berjualan di sela-sela sekolah. Terkadang, aku menjadi sasaran
cibirannya, karena baginya seorang perempuan patut malu berpangku tangan ketika
lelaki belum dewasa berjibaku dengan keseharian mencari nafkah. Tanpa disuruh Ibu sekalipun, aku ikhlas
menemanimu berbelanja, menata dagangan, hingga mencatat pemasukan. Tapi, kau
tahu, Satyo? Ibu tak pernah berubah pendirian sejak Ayah wafat. Ibu selalu bilang sibuk di dapur setiap kali
aku dan Nilam mengajaknya untuk ikut
acara di sekolah. Meskipun tugas sekolah menumpuk, tetap saja ibu memanggil aku
dan Prastiwi pemalas bila dapur dan seisi rumah kotor. Berbeda denganmu, Galih
dan Aksan; sampai-sampai kadang ibu rela meninggalkan cucian menumpuk seharian
demi upacara kelulusan sekolah kalian.
Tahukah kamu, Satyo? Aku pernah tak
sengaja mendengar Ibu
menegurmu karena masih sibuk berjualan disaat musim ujian sekolah. Ia minta
engkau fokus belajar agar nilai yang didapat sempurna, tak perlu repot-repot
mencari nafkah. Suatu hal yang kadang aku dan Nilam dambakan : diminta agar fokus belajar, tak
perlu berpikir soal kerjaan rumah tangga atau membantu ibu agar dapur mengepul.
Tapi aku tahu, Satyo. Tidurmu sedikit. Setiap hari kau berusaha untuk tak
melewatkan kewajibanmu terhadap seisi rumah, meski sesekali matamu berkunang-kunang. Di lain waktu kau sempat sakit, ibu merawatmu
dengan penuh harap dan cemas, sambil menyempatkan diri menyalahkan aku dan
Nilam karena kurang perhatian padamu.
Usai kau pulih, segera kau tunaikan
kewajiban belajar dan mencari nafkah, tanpa mengeluh ataupun banyak bicara. Kau
berkata dengan yakin pada ibu, bahwa setiap bulir-bulir masa depanmu bukan
hanya ada pada lembar-lembar buku yang dipelajari setiap malam; melainkan juga
ada pada kekerasan hati untuk bertahan hidup dan mencari peluang melalui tangan
sendiri. Ibu terdiam saat itu, entah karena dirimu memang cukup keras kepala,
atau memang sebenarnya beliau sadar kau meyakini hal yang tepat saat itu.
Keyakinan itulah yang kau pelihara demi cita-cita besarmu: menjadi benteng
pelindung ibu pertiwi.
***
1990, Magelang.
Sekarang aku sudah merasakan apa
yang dimaksud dengan puncak, lembah, dan jurang kehidupan. Mungkin juga dirimu,
Satyo. Menjadi seorang pengabdi negara yang dicintai sekaligus dibenci memang
sesuatu yang membuat hari-hari kita yang melelahkan jarang berakhir
membosankan. Setiap kali idul fitri tiba, kita bersua lalu saling terkejut.
Rambut kita yang dulu hitam legam kini memutih. Beberapa kali aku sempat cemas
ketika mendapati keriput mulai bersarang di pipi, meskipun kau tak begitu ambil
pusing dengan pipi yang mulai tirus. Lima tahun ini, kita mulai merasakan
betapa nyatanya kehadiran para utusan malaikat Izrail, yang sering didongengkan
almarhum ayah dulu.
Petang membayang, tapi selalu ada
ruang untuk kita melompat ke dalam aliran masa lalu. Aku ingat saat kau berbagi
salam tentara pertama ketika sekolah militer menjadi madrasah cita-cita. Begitu
pula engkau yang sering mengumpati celotehan
filsafatku, sebagai akibat pergaulan dengan orang-orang politik. Lalu kita
meleburnya dalam canda tawa, sambil sesekali kau sisipkan pesan tersirat agar
aku tetap menatap lurus ke depan, tanpa lirik kiri dan kanan. Tanpa perlu kau
ingatkan berkali-kali, setiap kali aku bergumul dengan ranah politik, pesanmu
terekam jadi bayang-bayang di otak. Bayangan itu menguat karena hadir dalam
senantiasa nada suaramu yang lugas berbaur dengan sorot mata tajam dan sebelah
telinga yang tak lagi utuh. Kau tahu, Satyo? Setiap malam setelah tragedi
perang yang membuat telinga kiri lenyap,
aku mengingat setiap pesan menjadi jalinan petunjuk hidup.
Waktu berjalan dengan jalur
rahasia, hari ini kita bukan lagi sekedar ayah dan ibu. Ada puluhan
manusia-manusia belia di zaman ini yang selalu sedia memberikan hormat pada
kita, sembari menyelipkan salam kasih sayang. Sesekali, aku turut menyimak apa
yang putri-putriku perbincangkan tentang kau dan keluargamu. Setiap kali
kuangkat pertanyaan tentang siapa pria yang akan mengisi masa depan mereka,
dengan lengkap mereka akan sebutkan ciri-ciri serupa dirimu. Aku selalu ingin
belajar, apa yang membuatmu matang menjadi teladan?
Setiap tahun kita berkumpul, seorang Satyo takkan ada gantinya. Dengan jenaka, kau ceritakan masa-masa mengangkat
senjata, menghadang penyerang, lalu mencabik-cabik penindas. Kau sering berujar
santai pada cucu-cucumu, bahwa kakeknya adalah seorang tentara tanpa kenal
takut. Bagai gemuruh, di atas kapal perang kau sapu musuh-musuhmu sambil
memekik kencang, "Keadilan harus ditegakkan." Kadang aku ikut
tertawa, saat cucu-cucumu dengan polos menyandingkanmu dengan Thor -yang mereka
bilang sebagai dewa petir-, atau Gundala -pahlawan petir fiksi yang terkenal
puluhan silam-. Yang pasti, cara bertuturmu, adalah sebuah kunci, agar kita
tetap optimis dalam memandang hidup, meski tubuh tak lagi utuh.
Aku masih ingat satu hal yang tak
berubah darimu, meski kita telah melewati pahit manis berpuluh-puluh tahun. Di
sela-sela menunaikan tugas di jalur laut nusantara, kau tetap setia mengajarkan
anak-anakmu, bahkan cucu-cucumu, untuk berjuang dengan dengkul sendiri. Bahkan, bila mereka telah beroleh jabatan dan berlimpah tunjangan,
tak kau biarkan mereka berpangku tangan. Besar
keinginanmu agar setiap manusia yang kau cintai sanggup untuk berdikari tanpa
harus banyak bergantung pada orang, jabatan, dan keadaan. Mungkin, karena
sifatmu itulah hari ini aku, Galih, dan Nilam mereguk kesuksesan.
Sayang, tahun ini Galih sudah pergi
lebih dulu. Awal tahun ini, Ia sempat merayakan ulang tahun pernikahannya,
dengan dikelilingi anak dan cucu. Sampai di akhir hayatnya, kau masih menjadi salah
satu idolanya. Terlihat dari salah satu
foto besar di ruang tamunya, yang menyorot gambar kapal raksasa legendaris
tempatmu menabur sejarah. Kapal itulah yang menjadi saksi bisu akan daun telingamu
yang tak lagi berjumlah sepasang. Aku dengar dari istrinya, Galih kerap
mendongeng pada tamu-tamunya tentang kehebatanmu berjibaku dengan laut yang
bergelombang.
Ah, aku hampir saja lupa, Satyo.
Sudah tujuh tahun berlalu sejak kau merasa cukup atas perjalananmu menjadi benteng
negara yang menjaga laut. Aku paham perasaanmu yang tak ingin mengumbar
kekecewaan, bahwa kita -tepatnya, sebagian besar kita-, belum siap untuk
menjadi bangsa yang besar. Sikap kebanyakan kita masih cukup jauh dari harapan bapak bangsa, Soekarno,
bahwa kebesaran sebuah bangsa ada dalam penghargaan pada para pahlawannya.
Setidaknya, itu yang kusimak dalam nurani setelah ku dengar bahwa dalam suatu
upacara kenegaraan kau merelakan diri untuk berpanas-panasan berdiri, karena
banyaknya angkatan militer muda yang tak sabar ingin merasakan kursi
kehormatan. Bagimu itu lebih baik, karena tak sedikit teman-teman
seperjuanganmu yang memilih mengasingkan diri daripada berharap
kembali ke barisan
tapi dianggap tak lebih berharga ketimbang seonggok sapu pelenyap debu.
Dengan segenap daya dan upaya, aku
berusaha agar kau dan teman-teman seprofesi selalu mendapat ruang dan tempat
yang memadai. Aku bersuara lantang; berusaha menembus hati rekan-rekan
seperjuanganku;
para petinggi, dan pejabat publik, agar medali kehormatan tersemat untukmu dan
mereka yang pernah mencucurkan keringat dan darah demi republik ini. Sesekali
aku ceritakan pada mereka, tentang keprihatinanmu akan seorang sahabat yang
kini harus rela rebahan di bawah kolong jembatan karena ketidakpastian nasibnya
setelah berjibaku di medan lega. Sungguh, air mata di hari kau temukan nelangsa
sahabatmu, adalah sebuah sejarah yang terpatri dalam benakku yang turut
menangisi negeri ini.
Dua tahun setelah kau mengundurkan
diri, oase kebahagiaan baru datang menyambut. Kau sambangi panti asuhan, panti
jompo, hingga panti rehabilitasi. Dengan ditemani anak-anakmu, kau kembali
bangkitkan semangat kepahlawanan yang tertidur dalam jiwa mereka yang terasing
dan teraniaya. Setiap kali kusempatkan seorang diri mengunjungi tempat-tempat
oasemu, para penghuni mencatatmu sebagai seorang pahlawan super. Kau menjelma
menjadi legenda baru untuk mereka. Hingga suatu hari, kau mulai ungkapkan batas
ragamu.
Penyakit gula sedikit demi sedikit
mengambil alih kebebasanmu; mulai dari otot-otot lengan hingga kedua kaki.
Rasanya sudah dua tahun sebelum hari ini tiba, kursi roda sudah menjadi
sepasang kaki baru untukmu. Hanya saja, tak sedikit manusia yang menaruh rasa
hormat padamu; baik keluarga kita, hingga semua orang yang kau nyalakan api
jiwa di dalamnya. Rasanya, kata pesimis mungkin tak pernah ada dalam otakmu,
meski satu persatu gerak tubuhmu dirantai oleh stroke yang bersarang.
Di suatu siang di hari Minggu, aku
mendengar bahwa kau 'mengumpulkan' putra-putramu di rumah. Lima orang keponakanku yang
telah menjadi orang di tempatnya masing-masing:i komisaris, direktur, manajer,
mandor, dan juragan restoran. Mereka yang telah berdiri dengan kaki sendiri
berusaha melayanimu dengan sebaik-baiknya; ada yang menyuapi makan, membacakan
kitab suci, hingga membawakan tabung
oksigen. Semestinya, dari awal aku tahu, bahwa waktumu sudah
akan tiba.
***
1994, Solo
Suatu pagi, kudengar dari putra
sulungmu, ada sebuah permintaan terucap dari mulutmu yang bernafas tersengal-sengal.
Kau ingin menuju taman wisata dekat rumahmu. Kebosanan dengan rutinitas di
sekitar ranjang membuatmu ingin melihat gelora bunga, wahana, dan warna yang
mengisi sekujur badan taman itu. Dalam perjalanan menuju tempat itu, kedua
belah matamu tertutup. Mereka kira, engkau sedang tertidur sesaat. Andai tahu
lebih cepat, mungkin bergegas ku hampiri
dirimu di taman itu. Supaya aku tahu, seperti apa detak jantung terakhir
manusia yang paling tegar dalam menjalani hidup sedari belia. Sedari aku yang
baru mengenal bahasa dan kata menyambutmu yang masih bayi merah.
Tak lama, tubuhmu yang sudah rapuh
itu terdiam. Tiada lagi pesan atau wejangan. Kain biru , muda tutupi mukamu di
ranjang kamar perawatan intensif. Kamar yang kini kutempati, setelah bertahun-tahun
lalu engkau pergi. Semua orang menitikkan air mata, tanpa kecuali diriku.
Karena gerilyamu menyalakan surya dalam jiwa di hati para manusia yang terasing
dan teraniaya, para pemimpin negeri ini tergerak untuk memberi ruang kenangan
lebih untukmu.
Begitu engkau berpulang ke liang
lahat, ku saksikan ribuan orang siap mengantar. Saat itu surya hendak tenggelam
ke sisi lain dunia dengan warna temaram. Air mataku tertumpah, begitu pula
dengan ribuan orang lainnya. Keralihat sebndamu dibopong oleh puluhan tentara
berseragam, dengan balutan kain merah putih. Haru semakin tak terbendung,
seolah aku menyaksikan seperti apa pahlawan nasional kembali bersemayam di bumi
nusantara. Sekelebat mata, kulihat getaran angin nyaris membentuk pipa di atas
ranjang pusaramu. Angin itu seolah menjadi corong wadah peluru yang melesat,
saat komando salvo bergemuruh.
"Untuk penghormatan terakhir, salvo tiga kali. Siaaaap,
gerak!"
Tiga butir peluru itu melesat ke
angkasa, mengukir kilatan-kilatan di antara garis perak awan berarak.
Seakan-akan peluru - peluru itu mengetuk pintu peristirahatan terakhirmu di
langit, agar engkau dipersilahkan untuk berbaring selamanya hingga akhir zaman.
Tempat dimana tiada lagi rasa sakit menderamu. Hari itu, awal tahun 1991,
Susatyo menjadi sebuah sejarah yang hidup di hati kami.
Duhai Satyo, hari itu sudah berlalu dengan sangat cepat. Anak-anak dan keponakan kita yang mendambakan
jadi dirimu, atau mencari suami sepertimu. Kamu adalah pejuang lautan yang tak
pernah berhenti berpikir dan mencari peluang untuk masa depan. Kini kamu sudah
istirahat dengan tenang.
Aku bukanlah Rukmini yang dulu,
yang bisa dengan tegas berbicara lantang dan beretorika. Aku pun tak kuasa
melawan misteri yang bersembunyi di balik waktu yang terus bergulir. Aku telah menua seperti
dirimu, Satyo. Di tempat ini, terkadang aku bisa melihatmu, siap menjemput dan
membawaku berpetualang. Barangkali demikian adanya ruangan ini dinamai, I
see you, supaya siapapun yang berdiam di dalamnya bisa melihat siapa yang dikasihi sepenuh hati.
Engkau lenyap, berpetualang ke
tempatmu yang abadi, diiringi salvo
syahdu menyelimuti udara di kala senja. Hari ini aku sudah tidur lebih pulas.
Nafasku pun lebih lega. Kasur putih tempat berbaring ini rasanya tepat untuk
melambangkan kedamaian. Sudah lama rasanya berbaring tak pernah senikmat ini.
Aku memang tidak sendiri di sini.
Berbagai macam orang kutemui, meski jarang kulihat mereka terbangun menyapa.
Aku takkan bosan mengulangi, bahwa di sini adalah tempat yang paling nyaman
untuk melampiaskan tidur yang tertunda lantaran serbuan beragam kesibukan.
Kesibukan yang merampas waktu, perasaan, dan juga energi tak kasat mata yang
menyangga tubuh ini.
Banyak yang mau membantuku, meski
mereka bukan manusia. Tapi, aku tetap menghargai bantuan mereka, kendati mereka
adalah benda mati yang sudah diprogram. Pipa-pipa yang mereka susun di sekitar
lubang bernafas, membuatku nyaman dan lupa akan luka yang aku goreskan sendiri
pada tubuh ini. Ya, luka yang membuatku berbaring tidak berdaya, melampiaskan
rasa kantuk sekaligus rasa sakit yang sering menjangkiti sekujur paru-paruku.
Tetapi, entah mengapa sunyi tetap
terasa, meski berlalu lalang orang di sini. Baik orang yang datang dengan
berjalan, maupun yang berjalan terpapah dan yang sudah 'berjalan' ke alam lain.
Aku masih ingat, sore hari kemarin kudengar tangisan di ranjang sebelahku. Tak
henti-hentinya tetanggaku yang sedang berbaring diratapi oleh putrinya.
Sesekali, putrinya meminta bantuan untuk meyakinkan bahwa ayahnya yang terbaring
itu masih bisa bangun.
Duhai adikku, apa kau saat ini
sedang tersenyum? Bila demikian, berikanlah tatapmu yang hangat dan pancaran
matamu. Aku tak peduli seperti apa wajahmu kini, karena engkau masih sama
seperti puluhan tahun lalu. Saat pertama kali aku datang pada orang tuamu untuk
niat memulai hidup bersama.
Tapi aku tahu, kau sudah beberapa
langkah di depan, Satyo. Aku terbaring di sini, setiap hari menanti kabar akan
seisi badan yang bisa diajak damai. Meskipun sebaik-baik definisi perdamaian
hanya diketahui oleh Yang Maha Kuasa.
Nyatanya, meskipun di sini tenang
dan sunyi, dengan hanya sesekali diiringi isak tangis, tetap cemas dan risau
menyambangi. Anak-anak mulai sibuk kembali, begitu pula dengan para keponakan,
sementara cucu-cucu kita masih kecil
sehingga tidak boleh masuk kamar tidur ini. Nilam yang kini berkursi roda ingin
menjengukku disini, tapi apa daya ia tak punya seorang pun menemani. Putri
tunggalnya, Miranti, telah pergi mendahului, mengikuti dirimu dan Galih ,
sementara suaminya terbaring lemah di ranjang rumahnya.
Kalaupun anak-anak berkunjung,
hanya satu atau dua orang yang bisa masuk. Jika boleh meminta, ingin sekali aku
berjalan barang sebentar. Dulu aku merasa sangat butuh tidur, di sela-sela
kesibukan dan kepentingan yang tidak pernah berakhir. Sekarang aku leluasa
untuk tidur, namun aku bosan, Satyo.
Kamar tempatku berada ini memang
terdengar sangat menggambarkan kerinduan akan seseorang. Paling tidak bagiku
saja, Satyo. Jika kueja kembali nama kamar ini, terasa seperti 'aku melihatmu'.
I see you. Aku berharap semoga 'kamu' yang dimaksud kamar ini adalah orang yang
tersayang. Termasuk kamu, Galih, yang
sudah berkemas beberapa tahun lalu.
Maka, Satyo, izinkan aku menutup mata
setelah berbagi beberapa tulisan tentang kamar ini kepada dirimu. Kapanpun
engkau hendak membacanya, dari sudut manapun, dibaca selama apapun, sungguh
hatiku akan senang. Karena aku tidak bisa melihat kehadiran dirimu saat ini.
Tetapi, bisa saja aku mengetuk pintu rumahmu besok pagi ataupun sore ini. Tepat
ketika sinyal dalam kotak yang terhubung kawat dengan jantungku ini membentuk
garis lurus.
(Jakarta,
Maret 2021)