Senin, 30 September 2019

Argenta, Inilah Cerita Yang Boleh Tidak Kau Simak

17 Agustus 2018, adalah pertama kalinya saya tidak ikut upacara buat kamu. Soalnya kamu terus mengetuk-ngetuk pintu duniamu yang 'dulu', jadinya Mami harus ke dokter. Setibanya saya dan Mami di rumah sakit, ternyata yang sedang jaga adalah dokter pemula. Dokter Amru saat itu sedang melaksanakan operasi untuk menyambut 'temanmu' yang lain.






Kita harus mengantri cukup lama saat itu, lantaran dokter jaga sedang cukup repot menangani 3 pasien yang lain. Setelah berlalu 1 jam, Dokter Amru tiba, lalu memeriksa 'tempatmu berdiam'. Saya tercengang, rambutmu begitu lebat dan hitam. Dokter Amru kemudian berpesan, bahwa jika kamu tidak segera pindah sendiri, beliau terpaksa harus membuka 'pintu rumah'-mu lewat sayatan pisau. Saya dan Mami tidak mau hal seperti itu, maka Mami kembali menjalankan jurus-jurus senam supaya kamu bisa bergerak.

Saat itu, saya sudah siaga. Takutnya setelah hari itu  kamu bersiap untuk membuka pintumu, bisa jadi karena sudah hampir 300 hari kamu berdiam di dalamnya. Benar saja, setengah 3 pagi hari Senin kulihat Mami sulit untuk tidur. Mulas mulai agak tidak tertahankan. Saya menduga kamu sedang mengetuk pintu dengan cara halus.




Saya masih sempat pergi ke kantor hingga setengah 4 sore. Entah apa yang kamu lakukan di dalam sana. Yang saya ingat, nama Argenta kelak akan menjadi nama pertamamu, mengiringi 3 nama lain yang sudah ditetapkan semenjak dirimu telah menetap 120 hari di dalam tubuh Mami.

Mungkin, kamu bertanya, atas dasar apa saya mencetuskan Argenta? Saya ingat pernah berjibaku dengan rumus kimia, menonton serial kartun kepahlawanan, lalu menghafal nama logam. Saya kira, nama Argenta takkan terlalu berat untuk dirimu emban sebagai doa kami seumur hidup. Meminta kepada-Nya supaya keteguhan hati dan pikiranmu lebih perkasa dari logam, agar imanmu lebih tajam melebihi besi yang ditempa, hingga nuranimu bercahaya lebih memukau dari perak-perak yang mengkilat. 

Setelah malam tiba, tanda tangan saya telah terbubuh di surat keputusan dokter. Supaya kamu lebih mudah membuka pintumu. Berat rasanya untuk merelakan Mami harus tertatih beberapa Minggu sebelum kamu bisa digenggamnya dengan bebas. Tetapi air dalam rumahmu semakin menipis, begitu kata Dokter Amru. Tak ada pilihan lain, selain membuka pintu rumahmu dengan sayatan pisau. 




Tanggal 20 Agustus 2018 pukul 21.39 WIB, engkau resmi menjejakkan kakimu di dunia ini. Saya tergugah, sulit lepas kendali, hingga mengadzankanmu dengan volume stereo. Para dokter yang membukakan pintu untukmu mengira adzan Shubuh sudah tiba. Dasar memang saya orang yang emosional, Argenta. Mungkin, saat itu sulit kucari kosakata terbaik untuk melukiskan perasaan saat menyambutmu hadir ke dunia.

Puluhan purnama sudah berlalu sejak saat itu.  Kini engkau sanggup melangkah dengan kedua kakimu, terkadang tanpa tuntunan tangan. Tak mengapa bila lidahmu hanya bisa berucap "Ma..ma,..A,...bah...", karena memang manusia terus berproses. Saya dan Mami akan terus mengawal dan membekalimu segala macam tentang dunia ini.






Pintaku, Argenta Qianu Muqsith Fatahillah,  semoga engkau bisa memboyong kami ke pintu surga-Nya. 


(Jakarta, 30 September 2019)




Minggu, 29 September 2019

1992: 100 Hari Menuju London

"Jika tidak didampingi suamimu, Bapak sulit untuk mengijinkanmu sekolah magister di luar negeri. Lagipula, anakmu masih kecil. Tunda saja dulu sampai umurnya lebih dari 5 tahun." pungkas Eyang saat mendengar keberhasilan Mama mendapatkan beasiswa Imperial College dari kantornya. Mama hanya tertunduk lesu, lalu mengiyakan.

3 minggu berselang, Bapak mengumumkan bahwa dirinya juga mendapatkan beasiswa Imperial College. Maklum, di kantornya Bapak merupakan salah satu karyawan berprestasi. Maka, sontak Bapak dan Mama mengurus segala atribut dan perlengkapan untuk terbang ke jantung Eropa itu. Semua Eyangku selalu mengingatkan mereka agar aku diajak.

Pada awalnya, aku siap untuk langsung ikut mereka. Namun,

"Sepertinya kami butuh sekitar 3 bulan untuk beradaptasi di sana, Pak. Jadi dia belum bisa dibawa dulu sampai kami mendapatkan pramusiwi. Mohon maaf, ya Pak, Bu. Kami titip dia dulu."

Terang mamaku setelah menyadari beban kuliah dan penyesuaian kehidupan di negeri yang berjarak 11 jam dari Indonesia tersebut. Jika saat itu aku sudah remaja, mungkin saja kumaklumi bahwa seorang pelajar luar negeri butuh untuk menaklukkan kegetiran soal tempat bernaung di hari-hari pertama menapaki dunia baru. Tapi apa yang bisa dipahami diriku yang berumur 1000 hari saat itu?

Tibalah hari keberangkatan itu. Aku diboyong hingga stasiun, hendak mengantar Bapak dan Mama naik kereta. Yang kutahu saat itu, mereka pergi ke suatu tempat. Tapi, mengapa Mama meneteskan air mata di depanku bila hanya pergi sementara?

Berbulan-bulan semua Eyangku berikhtiar mengasuh dan menghiburku. Seminggu aku tinggal di rumah keluarga besar Mama, seminggu pindah ke rumah keluarga besar Bapak. Setiap kali makan kuminta mereka memasang kartun untuk jadi selingan penghibur.

Masih kuingat bahwa aku begitu senang tidur di atas sampan karet milik Eyang Kakung, seorang purnawirawan marinir. Di lain waktu, pernah kujamah ruang gambar milik Eyang dari Mamaku.

"Brian, hati-hati sama penggaris besi. Nanti kalau kamu luka, Mamamu sedih.", terang Eyang saat melihat cucunya mencoba merogoh penggaris besi. Sudah berlalu 5 tahun semenjak masa pensiunnya, Eyang masih aktif mendesain bangunan. Berawal dari ruang kerja itu, nostalgia yang mengantarkan cintaku pada jurusan teknik itu tumbuh.

Selain Eyang-Eyang: Tante, Pakde, dan Om turut menjadi saksi kejahilan dan tingkahku selama ditinggal Bapak dan Mama. Saat Eyang dari Mamaku mengajakku berkunjung ke Negeri Paman Sam, seringkali meja makan jadi kotor. Pakde dan Bude yang baru pulang kuliah magister turut mengurusku dan mengenalkanku pada beragam makanan fast food. Tak lupa diajak pula aku menikmati macam-macam wahana di Las Vegas, yang cocok dinikmati balita.

Suatu ketika, aku terserang penyakit kencing darah. Kebanyakan minum sirop. Ternyata Mama yang sedang di jantung Eropa  mengalami hal serupa.

"Tolong bawa dia ke sini, udah kangen..." , pinta Mama dengan nada terisak dan menahan sakit. Bapak turut menimpali, bahwa calon pramusiwi untuk menemaniku sudah ada, seorang ibu dari Madiun.

Seusai badanku pulih, Eyang segera memboyongku naik pesawat menuju London. Disanalah aku merasakan pindah rumah tujuh kali.

Bersambung ke judul "Terlatih Nomaden".

Jumat, 27 September 2019

Memaknai Ulang "Cinta Tanah Air"

Ketika anak saya yang berumur 7 bulan saat itu mendengar lagu Indonesia Raya, Indonesia tanah air beta, hingga rayuan Pulau Kelapa, wajahnya tertegun menyimak. Matanya menatap dalam tayangan lagu yang ada di televisi, sampai ia turut sesekali bertepuk tangan. Di titik itu, saya merasa bahwa mengajarkan anak cinta tanah air adalah suatu hal esensial.

Supaya timbul sense of belongingnya terhadap kebangsaan. Supaya semangat bela negara meresap ke sanubarinya.

Tetapi, sebagai orang tua, saya pun sadar bahwa menentukan batas dan rambu-rambu dalam mencintai tanah air pun tak kalah pentingnya. Sejak beberapa tahun silam, saya menyadari bahwa nasionalisme itu hampir mirip  sebilah tombak pusaka. Ketika dia dipakai pada situasi yang tepat, maka cinta itu akan berbuah harum dan membuat diri selalu mawas . Ketika disalahgunakan, maka nasionalisme adalah topeng yang menutupi niat eksploitasi, keangkuhan, dan penjajahan.

Jadi, dalam banyak sisi kita harus bisa mengelola prioritas antara cinta tanah air, dan cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya. Dalam sejarah, perang antara suku Minang dan suku Paderi adalah bukti bahwa nasionalisme dan tauhid pernah terbentur keras.

"Dasar kalian Paderi bawa-bawa budaya Arab, apa sudah lupa bahwa nenek moyang kita selalu menenggak tuak" demikian ejek kaum Minang lama pada kaum Paderi, lantaran mereka dilarang minum tuak yang memabukkan.

Tetapi ketika penjajahan datang, kaum Paderi berhasil meyakinkan kaum Minang bahwa tidak setiap budaya turun-temurun yang mereka proklamirkan sebagai kecintaan terhadap nenek moyang, adalah sesuatu yang menyehatkan akal budi. Ketika mereka punya musuh bersama, kompeni Belanda, kaum Paderi dan kaum Minang bersatu-padu, lalu mereka mengikat janji dan persekutuan di sebuah bukit:

Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Di titik itu, kedua kaum bersepakat bahwa bentuk kecintaan pada adat, harus berlandaskan pada tuntunan Kitab Allah.

Jadi, apa hubungannya dengan nasionalisme?

Sebagaimana kita memiliki rasa cinta pada kekasih, pada suatu saat harus diwadahi dengan kesakralan,logika dan kerja keras, supaya kehidupan setelah menikah tetap terjalin hubungan sehat. Demikian pula halnya dengan nasionalisme, ketika kita hanya mendefinisikannya dengan cinta buta dan sekedar membanggakan bangsa sendiri lalu merendahkan bangsa lain tanpa sebab yang masuk akal, di saat itu kita terperangkap dalam keegoisan yang bernama Chauvinisme.

Ada pula saatnya kita selayaknya menjadikan cinta tanah air sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa,  bukan justru malah menjadi pelampiasan untuk meninggalkan ajaran agama.

Dulu sempat ada kasus, dimana peserta lomba debat antar bangsa, salah seorang peserta asal negeri kita memakai baju yang terbuka di bagian dada. Dia seorang wanita. Kontan, cara berpakaian itu memanen hujatan.

Sebagian orang menyayangkan, lantaran prestasi yang dibawa oleh tim debat tersebut memang tidak main-main, tapi saya memilih di barisan yang kecewa dengan pakaian peserta wanita tersebut. Sudut pandang yang saya gunakan mengandaikan bahwa diri saya adalah orang tua anak tersebut yang sudah mengajarkan mematut diri selayaknya dengan etika kesantunan sesuai agama. Jadi saya tidak sedang mabok agama, malah justru khawatir dengan mereka yang tidak menghujat ataupun memperingatkan, malah diam lalu menikmati bagian tubuh yang terbuka lalu dijadikan perangsang untuk hal-hal tidak senonoh.

Jadi seperti apa nasionalisme yang sehat itu?

Bagi saya tidak bisa dibandingkan kondisi ketaqwaan yang utuh kepada Allah. Nasionalisme lebih terkait dengan tingkat kesadaran kita menyadari asal usul, menjaga sumber daya alamnya, hingga menerapkan prinsip hukum etika manusia yang sehat jiwa raganya, lalu siap berprestasi mewakili bangsanya. Ketimbang menjatuhkan cinta pada sosok pemimpin tertentu, birokrasi tertentu, ataupun ras suku tertentu.

"Cinta kepada tanah air itu sebaiknya dua arah. Kita mencintai dan tanah air itu membalas cinta kita."
(Henry Manampiring- Pegiat Sosial dan Motivator)

Tapi eh tapi, Bri. Kalau misalkan dia udah berkarya lalu tidak dihargai pemangku negaranya gimana? Katakanlah yang kemarin mempelopori swasemba padi malah dipenjara bukan diajak dialog, atau seperti dulu penemu alat anti kanker?

Nah, seperti yang saya bilang barusan, taruhlah kecintaan itu pada prinsip berperilaku sadar etika dan sumber daya alam. Ibarat begini, kamu cinta dan sayang pada suami atau istrimu, tapi  suami atau istrimu malah selingkuh dan kelakuan buruknya bikin kamu cemas bakal dicontoh, ya otomatis wajar kalau kamu pilih pisah rumah. Tapi kamu tetap mencintai dengan memberinya nafkah walau tidak serumah. Demikian pula halnya orang yang tinggal di luar negeri tapi tetap bantuin negaranya sekalipun dia sudah (maaf) gunting KTP negaranya. Bagi saya itu bentuk kecintaan buat negaranya. Saya bukan pro perceraian, tapi saya pro akal sehat dalam bercinta.

Apakah mungkin kita bisa hidup tanpa nasionalisme?

Dengan terus terang dan memahami risikonya, saya katakan itu mungkin saja. Tapi tetap pada suatu waktu, katakanlah saat remaja, lagi puber, kita berlomba-lomba mencari identitas. Kalaupun bukan negara kita yang jadi pilihan, barangkali negara lain. 

Bagi sebagian orang dewasa, saya cukup salut dengan mereka yang bisa tetap berperilaku baik tanpa mengkultuskan  atau menghujat bangsanya sendiri di saat mereka memilih untuk tidak memusuhi ataupun terlena dengan budaya bangsa luar. Karena kemanusiaan yang baik adakalanya terlepas dari identitas kebangsaan tertentu.

Di lain sisi, profesi jurnalis ideal adakalanya menempatkan diri untuk tidak memihak bangsa manapun, saat membuat liputan yang adil dan seimbang.

Sebagai contoh, saat ada kasus TKI dipancung atau dihukum di luar kalau jurnalisnya memihak bangsa kita, tentu dia akan memuat segala sisi negatif dari hukuman bangsa negara lain. Tapi kalau netral bin ideal, fakta pembanding dan asbabun nuzul dari suatu masalah pasti akan digali, semisal ternyata TKI tersebut (amit-amit jangan kejadian) bersekongkol bikin santet buat majikannya atau malah menyiksa anak majikan.

Intinya, demi keadilan kadang memang kita harus lepaskan atribut identitas, utamakan akal sehat dan nurani yang terbina iman taqwa.

Ada saatnya kita bina cinta pada negara, hadirkan dalam sikap dan etika.
Ada saatnya kita dahulukan akal sehat dan perilaku adil diatas identitas dan segala kecintaan tentangnya. Adil adalah sebaik-baik parameter kematangan sosial.

Berawal dari Radio, Lalu ke Buku: Resensi City-Lite "Secangkir Kopi dan Pencakar Langit."

Setelah beberapa tahun saya lebih menyukai novel fantasi, sejarah, dan non-fiksi, tatkala mendengar teman seangkatan 'lulus' jadi penulis novel laris, mata ini mulai mencari-cari genre "City-Lite".

Apa itu City-Lite? Kalau menurut penafsiran saya yang masih belajar menulis fiksi ini, adalah rangkaian cerita yang mengetengahkan situasi kehidupan kota, perkantoran, perbandingan kehidupan antar negara, ataupun skema jalan raya. Dewasa ini, yang biasanya disorot pada City-Lite antara lain kehidupan kantor ataupun drama para pelancong dan pelajar negeri. Khusus untuk teman saya, dia mengangkat 2 tema ini dalam novelnya yang cukup laris , "Resign" dan "Melbourne Wedding Marathon" .

Tapi, saya memilih menikmati novel city-lite yang lain dulu, ketimbang karyanya. (YAH BRI KO GITU SAMA TEMEEEENNN >:(). Bisa jadi, apa yang membuat diri ini jatuh cinta dengan sebuah buku bukan karena cover, resensi singka, ataupun siapa penulisnya belaka. 

Saya memilih  karya Aqessa Aninda sebagai salah sar City-Lite untuk dikunyah sampai habis. Sebenarnya Resign dan Wedding Marathon udah kubeli, cuman belum kubaca.  

"Secangkir Kopi dan Pencakar Langit",  demikian judul novel city-lite tersebut disiarkan di radio JAKFM, setiap Kamis.  Berawal dari siaran radio tersebut, saya pun sudah berkenalan dengan karakter-karakter utama dalam City-Lite ini.

Siapa saja karakter utama dalam novel ini? Saya jelaskan seadanya saja, supaya para pembaca tetap membeli novelnya yang seharga 1 kali makan spagheti di Pizza Marzanno. :)).

Baik, kita buka tirai layarnya. Inilah tokoh-tokoh dalam "Secangkir Kopi dan Pencakar Langit" :

1. Attaya. Gadis berusia 24 tahun, berkacamata tipis, dan bekerja di bagian IT perusahaan.  Dia menjadi tulang punggung keluarga lantaran ayahnya terkena stroke. Attaya punya perasaan cukup dalam pada Ghilman, namun mengakui bahwa Satria itu tampan.

2. Satria Danang Hadinata: Awalnya kukira Attaya yang akan jadi karakter utama, namun ternyata dia tokoh yang masih dilanjutkan fokus ceritanya hingga "Satu Ruang" (sekuelnya Secangkir Kopi dan Pencakar Langit). Seorang karyawan unit Marketing yang digilai banyak wanita di kantor, namun dia memendam rasa pada Attaya.

3. Ghilman: Karyawan senior berambut cepak jabrik, tinggi, dan berwatak kalem. Selama setengah perjalanan novel, dia sudah dalam status bertunangan dengan Divanda setelah 6 tahun pacaran. Tapi, akhirnya dia dengan sangat kecewa memutuskan hubungan dengan Divanda karena 1 hal yang tidak termaafkan. Kenapa? Mari baca novelnya ya. :D

Ada pula karakter lain seperti ayah, ibu Attaya beserta dua adik lelakinya, Divanda, atasan kantor, dan deretan pemain lainnya. Fokus cerita tentang mereka akan bermunculan setelah seperempat novel sudah dibaca. Berikut gambar buku terlampir,

Saudara-saudara, inilah novelnya!

Jadi, saya tertarik membaca novel ini setelah 2 kali mendengar siaran drama radio JakFM tepat saat mengetengahkan bagian soal Ghilman, Satria, dan Attaya sedang bermain 'berbagi cerita' soal kekasih dan mantan mereka. Episode berikutnya mulai memantik rasa penasaran saya akan novel ini, tepat pada episode saat Ghilman dan Attaya sedang bertugas ke luar negeri. Tentu saja, halaman pertama novel ini berawal dari perkenalan terlebih dahulu.

Begini sinopsis ceritanya secara garis besar:

Attaya menjadi karyawati baru di sebuah perusahaan IT. Penampilannya yang cukup menarik dan tangkas dalam bekerja membuat jantung beberapa pria di kantornya berdegup kencang. Salah satunya, Satria yang merupakan seorang womanizer (pria yang bisa membuat wanita cepat tertarik padanya). Dia tertarik dengan Attaya, lantaran wanita muda tersebut menunjukan hasrat yang tinggi dan profesional pada pekerjaannya.  Di lain sisi, ada karyawan senior yang bernama Ghilman, turut naksir Attaya. Attaya pun kagum padanya.  Tapi dia tipe pria setia, jadi dia tepis perasaan suka itu, demi setia kepada tunangannya, Divanda.

Isi cerita berubah, tepat ketika Satria cemburu saat Ghilman dan Attaya dinas bersama ke luar negeri, hingga Ghilman yang tersentak akan suatu rahasia Divanda yang menurutnya keterlaluan. Di titik klimaks, baik Satria maupun Ghilman sama-sama mengenal lebih jauh kehidupan Attaya sebagai tulang punggung keluarga. Dua per lima isi novel lebih terfokus membahas seluk-beluk kehidupan Attaya dan ekspektasi cintanya, sekaligus lebih mendalam soal keluarganya Ghilman.

Sedikit spoiler, ada 1 tokoh figuran yang menjadi kunci merekatnya hubungan Ghilman dengan Attaya. Dia orang terdekatnya Ghilman. Siapakah dia?

Bagaimana dengan gaya bahasanya?

Gaya bahasa gaul kontemporer, beserta skema hidup di era Whatsapp dipaparkan dengan gamblang pada novel 300 halaman ini. Di dalam novel ini pula diberikan 'screenshot'  WA Grup fiksi. Inilah fitur yang membuat novel ini cukup relevan dengan era pasca 2010.

Alurnya bagaimana?

Mengkaji 40% isi novel di awal, mungkin pembaca akan mengira Aqessa Aninda ingin kita merasa bosan pada dialog yang sudah rutin, disajikan dengan santai pula. Setelah ada kata kunci 'dinas luar negeri', "perjodohan mas lalu", "mantan taksiran", hingga "pacar jadi mantan" barulah novel ini terasa membuat penasaran.

Jadi, para penikmat novel. bila anda adalah karyawan kantor mungkin akan mafhum dengan beberapa rutinitas yang diekspos pada awal novel, yang bisa menimbulkan roaming buat pembaca awam.  Namun setelah melewati suspense-suspense dengan kata kunci yang disebutkan id atas, novel ini sangat renyah dan memenuhi kebutuhan romantisme kita semua.

Siapa tokoh favorit  di sini? 

Ghilman. Dewasa, kalem, dan mirip sifat saya, introvert. Cerita tentang dia punya banyak kejutan, selain soal Divanda. 

Jadi, sudah cukup tertarik setelah menyimak ulasan saya? 

Kalau ya, alhamdulillah. Mudah-mudahan saya semakin jeli dan komprehensif dalam mengulas.

Kalapun belum, memang tidak semua orang langsung tertarik mendalami buku hanya karena ulasan. Siapa tahu, setelah novel ini dikonversi jadi drama di Teater Ismail Marzuki, barulah anda ambil langkah seribu untuk menyerbu bukunya. 


Oke, sekian dulu resensi kali ini. Berikut data pendukung buku novel ini: 

Penulis: Aqessa Aninda, bukan teman seangkatan saya dan baru kenal setelah menikmati 1 buku ini

Terbit: 2016, karena yang terbit di timur itu Matahari. 

Penerbit: Elex Media Komputindo, cabang bisnis utamanya Gramedia lohhh....

ISBN: 9786020287591 (nomor ajaib ini harus di-copy-paste, supaya tidak salah kira dengan nomor rekening transferan gaji)

Halaman:  352, lumayan bisa jadi bantal. 

Bahasa: Indonesia Gaul Sehari-hari. 














Kamis, 26 September 2019

2 Dimensi Meresensi Kumpulan Cerpen

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Pada sesi kali ini saya kira merupakan momen yang tepat untuk kembali membedah teknik-teknik resensi sastra tulisan. Salah satu bentuk sastra tulisan yang paling umum adalah cerita pendek. Cerita pendek, meskipun singkat dan padat, adakalanya punya muatan yang lebih komprehensif dibanding puisi bahkan novel tersebut.

Salah satu begawan cerpen Indonesia yang kini adalah satu founder Mojok, berpendapat bahwa cerpen adalah gerbang masuk bagi sastrawan pemula.

"Dibandingkan puisi yang harus menuruti struktur dan pola yang sangat tertata, ataupun novel yang harus disusun dari sekian suspensi agar menjaga ketertarikan pembaca, para sastrawan pemula bisa mencoba menulis cerita pendek terlebih dahulu." (Puthut Ea, kata pengantar kumpulan cerpen Kitab Rasa)

Kalau menurut saya pribadi, lebih mudah untuk menyusun puisi selama bisa cermat menggunakan diksi. Soalnya untuk menjaga kualitas cerpen, kadang butuh siraman 'suspensi' dan 'pendalaman linear' konflik. Acapkali saya juga termuka beberapa cerpen yang punya karakter jauh lebih unik ketimbang karakter yang ada di novel. Salah satunya pada kompilasi cerpen milik Eyang Budi Darma dan Almarhum Eyang Hamsad Rangkuti. Karakternya tidak ada yang mutlak hitam-putih, bahkan lebih aneh dari tokoh fiksi yang biasa kita jumpai.

Selain itu, dalam kumpulan cerpen biasanya ditemukan karakter yang lebih beragam. Ketika format cerpen ini tidak disusun dengan benang merah tema ataupun kesamaan karakter, cerita, hingga kejiwaan karakternya, rasanya agak kurang pas jika menerapkan pola resensi yang umum diterapkan pada buku 1 tema.

Saya kira, ketimbang sekedar mengulas garis besar isi buku, yang kemungkinan besar lebih bercerita soal gaya penulisnya, beberapa teknik resensi memungkinkan kita 'mengulik' muatan cerpen untuk menulis ulang cerpen baru.  Setelah pernah kursus 'cerpen media', ada 2 sudut pandang yang digunakan dalam meresensi cerpen:

A. Sudut pandang pembaca, penikmat, dan kritikus. 

Dengan menggunakan pendekatan ini, biasanya yang kita nilai adalah soal pengemasan substansi cerita, kutipan yang enak dicuplik, hingga penilaian cerita sesuai dengan apa yang kita baca.

Meresensi cerpen dengan sudut pandang pembaca, ada 5 hal yang dinilai:

1. Kutipan Menarik: merupakan salah satu penentu daya tarik cerita: inspiratif,manipulatif, ataupun konservatif. Faktor ini juga yang menentukan seberapa mampu suatu cerita membawa impact untuk pembaca. Akan tetapi, tanpa alur penyusunan yang relevan, kutipan bisa jadi menghambarkan esensi cerita.

2. Paragraf kunci: Setiap cerita punya judul, tema, dan latar. Paragraf kunci merupakan faktor penentu kesinambungan antara tema dan isi. Sebagai pembaca yang kritis, menemukan paragraf kunci merupakan faktor penentu utama untuk memahami 'otak dari cerita' hingga mendalami garis besar konflik yang terlibat di dalamnya.

3. Pesan moral: kadangkala tersurat, adakalanya tersirat. Faktor penentu ini adalah tentang seberapa bermanfaatkah suatu cerita pendek bagi pembacanya. Ada banyak cerita yang punya estetika penulisan dan konflik, tapi tak semua bisa diambil hikmahnya.

4. Pendapat mengenai cerpen: Kelas kursus cerpen saya pernah berkata: semakin terbuka tafsir suatu kejadian yang ada dalam cerita pendek, semakin bagus ceritanya. Penulis yang matang biasanya piawai untuk memandu pembaca untuk terlibat di dalam cerita tanpa mengungkap "isi sebenarnya" dari suatu cerita. Cerpen yang sukses adalah cerita pendek yang menenggelamkan pembacanya pada masalah dan situasi, hingga membuat pembacanya menghubungkan dengan suatu kejadian di dunia nyata.

5. Kritik terhadap cerpen: sebagus apapun suatu cerita, pasti ada celahnya. Kritik yang membangun bukan hanya tentang kemampuan kita menangkap typo dan spasi di balik cerita, namun juga memperhatikan 4 unsur yang ada di atas. Beberapa kritik yang menurut saya substansial, adalah yang bisa melihat kesinambungan alur dan konsistensi cerita, hingga mengkritisi pola karakter dalam cerita.

5 faktor ini adalah tumpuan kita sebagai pembaca untuk melihat lebih jauh 'daya evolusi' dan ' pengaruh' dari suatu cerita. Di antara cerita pendek yang kini banyaknya sudah seperti semut, membekali pandangan menafsirkan cerita adalah bekal berharga bagi seorang pembaca.


2 pendekatan ;mengulik' kumpulan cerpen
                             

Selain itu, jika tujuan kita membaca cerita adalah 'menyalurkannya' ke bentuk tulisan yang baru, maka ada 5 faktor yang bisa digali:

B. Sudut pandang pencerita ulang/ penulis

Seperti halnya kita membeli semen untuk memahat dan menyusun bangunan, beberapa isi dari cerita pendek bisa mendorong kita untuk menulis materi baru. Berikut ada 5 faktor utama dari cerita pendek  yang bisa diulas untuk menajamkan intuisi menulis:

1. Situasi: memahami pergerakan situasi dalam suatu cerita merupakan hal penting untuk membangun maupun sekedar mengkritisi alur cerita.  Cerita pendek yang bagus membawa pembaca untuk tenggelam dalam situasi yang dibangun lewat pemaparan soal penginderaan, ketimbang membawa pembaca pada informasi eksak dari isi cerita.

Sebagai contoh:

i. Anak tetangga dibawa ke RS karena terjatuh saat naik motor.
ii. "Kepalanya bersimbah darah, kaca spionnya terlepas dari badannya, hingga aku lari membaur bersama warga mengangkatnya. "

ii. kalimat ini memang sebuah cerita, namun salah satunya hanya bermanfaat sebagai informasi, selama tidak membuat pembaca terikat pada situasi.

2. Perawakan: Setiap karakter yang ada dalam cerita pasti punya ciri khusus. Semakin bagus perawakan suatu karakter, biasanya ciri-ciri fisiknya  bisa  diingat pembaca dalam waktu lama.  Sebagai contoh kasus, kira-kira anda lebih hafal yang mana:

, perawakan Joker dalam Batman ?
- perawakan Badut Mc Donald.

Bagaimana perawakan ini bisa diingat dengan baik ini juga tergantung dari situasi cerita yang disusun, dan seberapa jauh keterlibatan watak karakter tersebut membangun cerita.

3. Perwatakan: merupakan unsur intrinsik utama suatu cerita. Watak karakter yang hambar adalah karakter superhero yang baik rajin menabung hafal pancasila dna tidak sombong, serta ibu tiri kejam penuh konspirasi tidak pernah senyum.  Watak karakter yang menarik memang agak sulit untuk disusun, karena cukup tergantung pada situasi dan perawakan si karakter.

Bukankah hal menarik, jika anda menjumpai karakter mahasiswi terpelajar dan lugu, ternyata punya hobi menyiksa binatang.

Perwatakan yang bagus adalah yang bisa membuat pembaca segera mengindetifkasi ciri fisiknya serta situasi yang akan dibangun dengan kehadiran karakter tersebut. 

4, Percakapan/interaksi: kadangkala unsur percakapan ini tidak tecantum dengan jelas di sebuah cerita. Percakapan seorang tokoh dengan dirinya sendiri pun sebenarnya sudah bernilai sebagai interaksi. Percakapan yang hambar dalam cerita biasanya yang mengangkat topik yang membuat situasi cerita terdistraksi, sementara contoh dialog yang baik adalah membangun suspensi konflik dan situasi cerita.

5. Alur logika cerita:  Salah seorang sastrawan latin pernah berpesan: bahwa sefantasi-fantasinya tetap harus ada alur logika yang bisa dipahami pembaca. Penulis yang baik akan menganalisa dan merangkum sebab-akibat, serta faktor-faktor penyusun muatan cerita. Sungguh bukan cerita yang bisa ditangkap otak dengan cepat, ketika sedang cerita tragedi unggas tiba-tiba malah tenggelam dalam pembahasan mie telor bebek.



Soal bagaimana kedua teknik ini diterapkan, saya persilakan teman-teman untuk menyimak resensi kumpulan cerpen yang akan tersaji besok.


Dengan hormat,

Briantono MR



Rabu, 25 September 2019

Terlalu Banyak Copy Paste Bisa Membunuhmu Pelan-Pelan

Semua orang, termasuk saya sendiri, kiranya sulit lepas dari kebiasaan salin tempel. Lebih-lebih ketika smartphone menjadi kebutuhan sekunder yang sudah lazim, mengambil tulisan-tulisan seisi buku utuh -tanpa kurang ataupun lebih- bisa dimungkinkan dengan ujung jari ini. Akan tetapi, beberapa pengalaman yang terjadi dalam percakapan maupun pekerjaan yang menjadi rutinitas sehari-hari semakin meyakinkan bahwa copy paste punya daya rusak akan integritas pekerjaan dan etika komunikasi kita. 

Bagaimana bisa?

Dulu pun saya meremehkan premis di atas. Setiapkali dosen-dosen zaman masih anak kuliah  kerap menyindir para mahasiswa yang senang menyalin-tempelkan tugas, saya lebih memilih tertawa kecil lalu tetap terpaku dengan cara demikian. Praktis, tidak perlu berpikir keras, hanya tinggal poles sana-sini. Tapi saya naif, sungguh copy paste itu telah merampas daya serap kognitif untuk mengenali pola penyelesaian tugas. Akhirnya beberapa kali jadi malah kerja dua kali, terutama saat dulu menyusun tugas laporan pencemaran udara, hingga menuai beragam masalah dalam penyusunan laporan kerja praktek. Menyunting ulang sana-sini supaya data konsisten dengan narasi. Saya yakin sebagian pembaca juga pernah melalui 'tahap' ini.

Titik mulai mengurangi copy paste secara signifikan adalah ketika dosen pembimbing tugas akhir mengancam 'memulangkan' saya pada kordinator TA. Mata beliau menangkap beberapa tulisan 'bekas laporan' bertaburan menghiasi tugas akhir saya.  Awalnya saya keringat dingin, terlebih ketika melihat beliau mengernyitkan dahi.  Tetapi dosen pembimbing saya cukup baik, beliau mengajarkan bahwa memang wajar kalau mengerjakan tugas butuh referensi, tetapi tidak untuk langsung dicuplik begitu saja.

"Coba buka tab windows lagi, belah layar laptopmu jadi dua, lalu susun dengan  dengan bahasa dan ketikanmu sendiri. Biar saya tidak bertemu lagi laporan soal Purwakarta, malah ketemu kata Karawang."

Usai lulus program sarjana, saya melanjutkan jenjang magister setelah 8 bulan lebih 'mikir-mikir'. Karena mengambil jurusan di luar negeri, sudah barang tentu saya berhadapan dengan kultur pendidikan yang berbeda dengan nusantara.  Jika bertemu sisa-sisa 'salin-tempel' dalam dokumen, di Indonesia paling-paling kertas kita dicoret atau disobek. Sementara di negara-negara persemakmuran Inggris, salah satunya Australia yang menjadi tempat berkuliah saya, menerapkan situs pengecekan yang cukup sadis.

Namanya Turnitin. Situs ini bisa jadi salah satu algojo yang cukup destruktif bagi para pegiat salin tempel yang hanya kejar selesai tapi enggan membaca ulang tugas. Lebih-lebih, universitas tempat saya berkuliah punya kebijakan yang bikin berkeringat: apabila mahasiswa terindikasi melakukan salin tempel dengan tingkat kemiripan 40% sebanyak 2 kali, maka dosen berhak mencabut SKS yang telah diambil mahasiswa tersebut. 

Bagaimana, apakah anda sudah cukup merinding mendengarnya?

Alhamdulillah, selama menjalani kuliah magister, rekor angka kemiripan salin tempel saya hanya mencapai 15%. Beberapa cara ampuh menghindari salin tempel telah terbekali dengan baik di kursus academic english yang dijalani selama 10 minggu. Tetapi nasib berkata lain untuk teman sekelas saya, itupun bukan hal yang disengaja. Situs turnitin menstempel makalahnya 'terjangkit' salin tempel sebesar 40%! Setelah klarifikasi, ternyata makalah buatan teman saya itu copy paste 2 halaman dari makalah tugas buatannya sendiri di masa lalu. 

"Bri, kalau udah lulus kuliah, berarti enak dong bisa lanjutin salin-tempel?Kan udah ga ada tugas kuliah lagi." 

Kenyataannya, lingkungan bisnis dan usaha menuntut integritas lebih pada setiap hal yang kita susun. Beberapa teman saya yang sudah jadi petinggi toko kerap mengeluhkan budaya salin-tempel yang dilakukan mitra dan karyawan mereka.

"Saya ga akan pernah balas ajakan sponsorship dari mitra yang langsung salin tempel proposal di chat whatsapp. Basa-basi dulu kek, jelasin niatnya gimana. Kalau gini sih dia ga serius, cuma pengennya cepet beres doang!"(M manajer toko salah satu retail hijab terkemuka di Indonesia)

"Bri, coba kamu baca ulang 5 slide pertama. Apa yang kamu temukan? Sesuai?  BISA MISLEADING ORANG YANG BACA KALAU BIKIN SLIDE CONTEKAN GA DIBACA ULANG!" (manajer saya)

Nyatanya, memang kadang kemalasan dan keinginan kita untuk praktis dalam bekerja harus dipikir ulang secara adab dan logika. Copy-Paste dalam bekerja itu masih relevan dalam hal memudahkan template, namun kalau sudah soal narasi memang kita diharapkan membaca dan mengkaji ulang. 

Di sisi lain, dengan kemudahan teknologi yang ditawarkan aplikasi obrolan dan komunikasi semacam whatsapp, line, dan WeChat, budaya copy-paste ini seolah begitu menggoda iman.

Ada teman ulang tahun, 1 teman kita kasih ucapan "Selamat ulang tahun sahabatku semoga panjang umur dan bla bla bla". Lantas karena kita melihatnya dalam grup WA, serta-merta tulisan kalimat utuh itu disalin-tempel ulang tanpa perbedaan diksi maupun kata.  

"Biar meriah dan cepat kalau diramein 1 grup, Lagian malas ngetik, Bri" (kata teman saya).

Saya sendiri yang melihatnya, justru malah bikin geleng-geleng kepala dan mulai mikir : "apa lebih baik grup WA ini diisi chatbot aja ya? Bosen saya lihat pesan disalin-tempel puluhan kali, padahal penghuni grup beda adat beda budayanya.

Di tahap ini, kamu pasti setuju dengan saya, bahwa hidup terasa lebih natural ketika kita melihat perbedaan gaya bicara dan narasi. 

Untungnya, momen yang melancarkan budaya copy paste hanya untuk perayaan yang bersifat bahagia.

Bagaimana kalau salin-tempel itu diterapkan dalam momen duka cita?

Kalau saya jadi resipien ucapan duka cita, takkan sanggup saya bendung air mata. Selain karena duka citanya, saya pun turut prihatin karena teman-teman 1 wadah komunikasi hanya menjalankan formalitas di saat terhimpit suatu musibah yang serius. 

Meskipun saya tetap positive thinking kalau-kalau para penyalin tempel ini sibuk dan ingin tetap memberi perhatian, bukan berarti budaya salin-tempel itu tidak akan jadi bencana kalau jadi kebiasaan.

Lalu, bagaimana supaya budaya salin-tempel ini bisa dijinakkan?

Tunggu ulasan berikutnya. 












Senin, 23 September 2019

Membedah "Dewasa dan Kekanakan" Sebagai Kriteria.

Banyak orang zaman sekarang meletakkan kriteria mereka dalam mencari pasangan, salah satunya adalah persoalan 'Dewasa atau Kekanakan?' Tidak bisa dipungkiri, seringkali pilihan akan diletakkan pada definisi "Dewasa". Kemungkinan besar karena kebanyakan orang masih percaya slogan umum: "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan".
Tapi benarkah menjadi kekanakan itu suatu pilihan buruk? Pada awalnya saya pikir iya. Lantas ketika dulu berinteraksi dengan anak SMP saat masa kuliah, kucoba jadi orang kalem dan bicaranya pun irit-irit milih-milih. Ternyata itu salah tempat, teman saya mengingatkan; 

"Anak-anak biasanya senang bicara dengan orang dewasa yang ekspresif dan bisa meniru mereka". 
Hal ini terbukti ketika saya mengajar kelas inspirasi; anak-anak jauh lebih responsif kalau saya ajak adu yel-yel, teriak-teriak, lalu tertawa puas.

Di kemudian hari, saya merasa adalah suatu hal yang irasional; bila orang lebih rela selingkuh karena merasa pasangan selingkuhnya lebih 'dewasa', lantas ia meninggalkan pasangan halalnya yang dianggapnya "anak mami papi". Tidak sepenuhnya benar, karena ada saatnya sifat manja itu dibutuhkan kalau kita bekerja sama: yaitu 'realistis tentang hal yang kita belum mampu laksanakan',  meskipun manja itu menyebalkan.

Berarti apakah jadi dewasa itu salah juga? Tidak, yang mungkin patut dibenahi adalah pengertian dan ekspektasi kita soal "kekanakan" dan "dewasa" dalam membina hubungan, Kita sering lupa bahwa  standar "halal" dan "haram" dalam suatu hubungan juga harusnya jadi pertimbangan utama, sebagaimana kekanakan dan kedewasaan ada tempatnya sendiri, dengan konteks yang relevan. 

Apa maksudnya tempatnya masing-masing? Apakah akan ditempatkan di tupperware atau di gudang yang bau apek karena belum dipel karbol? Tidak, maksud saya antara kekanakan dan kedewasaan bukan berarti lebih penting salah satunya. 

Ada kalanya  menjadi anak-anak itu tepat, dan ada saat di mana kedewasaan itu diperlukan. Jangan lupa, semakin tua kita, kita ga bisa memungkiri bahwa kemampuan berpikir bisa jadi menurun; sehingga kalau dijumpai orang tua uzur yang berpikir kekanakan, itu masih fenomena manusiawi!. 

Bukankah telah digaungkan dalam surat At Tin ayat 5: 
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya". Jadi tidak ada pula kedewasaan permanen, karena sifat dewasa, kemampuan berpikir, kemampuan bergerak, bergerak eksponensial seringkali beririsan dengan kapabilitas biologis kita selaku makhluk hidup.

Bagaimana dengan sifat anak-anak? Apa saja yang patut dicontoh dari mereka?

Mereka punya 3 keunggulan : berbuat salah langsung baikan, punya mimpi dan imajinasi tanpa batas, dan mereka tanpa menyerah melakukan sesuatu. Ini justru kapabilitas yang kadang diperlukan dalam menghadapi fenomena global yang penuh ketidakpastian: dimana kita harus belajar memilah relasi, belajar memuntahkan ide-ide brilian, dan sesekali menaklukkan lelah untuk mencapai tujuan. 

Tapi jadi orang dewasa pun juga punya kelebihan : bertanggung jawab atas pilihan yang telah ditekadkan, tahu kapan harus berhenti, serta tahu kapan harus membalas, kapan harus memaklumi ; ini pula sifat yang bisa membangun wibawa dan kehormatan. Tapi bagaimana memicu dua sifat yang kadang bertentangan ini agar tepat sasaran? Pergunakanlah nalar kita yang masih terus tumbuh ini untuk sadar diri dimana kita berada, meskipun kondisi tidak langsung bisa diperkirakan.

Maka kalau menjadi kanak-kanak adalah sesuatu yang salah: mengapa manusia diciptakan dari bayi, ga langsung dewasa? 

Kita boleh mengira bahwa orang sukses biasanya adalah orang dewasa; tapi jangan lupa bahwa di satu sisi dewasa pun butuh belajar dari anak kecil yang enggan menyerah penuh imajinasi, sebagaimana anak kecil butuh teladan dari orang dewasa. 

Tulisan ini kembali saya persembahkan, setelah meninjau kutipan dari seorang teman: 

"Kita mengajari anak cara-cara bertahan dalam kehidupan, sementara dia mengenalkan kita tentang cara baru mengenal dunia."

Minggu, 22 September 2019

'Barangsiapa Berinvestasi untuk Penutup Telinga, Sesungguhnya Ia Tidak Pernah Merugi."

Saya tumbuh besar dengan memiliki hobi memukul beduk Inggris. Sebagai konsekuensi, membeli pelindung telinga adalah keharusan, supaya gendang telinga tidak terjajah suspensi bunyi yang tajam menusuk-nusuk. Selain itu, menjaga telinga hingga rambut beruban kulit keriput adalah kunci penting dalam menjaga siklus komunikasi yang baik dalam segala bidang terutama pernikahan.  Di sisi lain, membeli earplug berarti mengamankan gendang telinga saat air dan benda asing nekad bertamu ke telinga pada waktu dan tempat yang salah. 

Ketika saya menapaki masa kerja praktek, earplug dibagikan dengan gratis oleh mentor kerja praktek. Maklum, tempat kerja saya adalah sebuah unit pembangkitan tenaga listrik, dimana setiap hari turbin dan generator berpesta dan bernyanyi. Jangankan saya sebagai anak PKL, manajer pun dibekali dengan earplug untuk menjaga keamanan telinganya.

Sebenarnya, lewat tulisan kali ini saya tidak ingin mempromosikan earplug sebagai sebuah keharusan. Akan tetapi, kadang kita sulit untuk menghitung kebisingan-kebisingan yang kadang tidak terhindari dan sulit dimaafkan.  Kebisingan itu tak hanya ada di jalan raya, jalan tol, pembangkit listrik, bahkan tempatmu bekerja kantoran adem di atas meja pun ada meskipun sedang tidak ada proyek. Termasuk bising temanmu dibelakang yang senang membicarakan keburukanmu. 

Tahun 2015, saya ditempatkan on the job training di kantor cabang Bandung. Dengan penampakan kantor berupa meja-meja bersekat dan ruang merokok, bukankah menurut asumsi kita yang polos, kantor ini penuh 'ketenangan'? Nyatanya tidak, pada suatu ketika bermunculanlah beragam event dan perayaan menyambut maulid Nabi SAW. Ruangan tempat saya bekerja berada dekat balkon utama yang cukup luas, dimana kita bisa terperangah melihat ketinggian   mengamati 6 lantai ke bawah,

Tepat pada hari Maulid Nabi SAW, kantor saya jadi latar sunatan massal  menyemarakkan sunnah Rasul.  Masya Allah, tabarakallah. Maka ketika terdengar jeritan merdu dan isak tangis mellow dari bawah, sungguh saya ingin migrain larut di dalam keharuan hari itu. Teriakan-teriakan lantang itu sungguh memecah gendang telinga  kesunyian yang ada dalam ruang kantor saya, berganti menjadi semangat menyemarakkan hari kelahiran Rasul SAW. Luar biasa :(.

Beberapa bulan kemudian, saya ditempatkan di lantai 12 sebuah kantor Jakarta, tanpa balkon dalam terbuka. Semua tersekat oleh lift 6 bilik. Tentu, para pembaca mungkin berasumsi : "Ah bri, sudah cukup tenang kayaknya di sana." Tapi pada suatu ketika, kenyataan berkata lain: bising harus tetap bertamu. Tepat pada suatu pagi, ayah menyuruh saya segera ke kantor sebelum pukul 7 pagi.

Saya tidak mengerti mengapa sarapan pagi itu harus dikebut. Ternyata pada jam 8 pagi, para supir taksi mengadakan demonstrasi menolak transportasi dalam jaringan (online). Saya bukan orang yang membenci demonstrasi, selama memang dipicu oleh suatu kekecewaan yang diamini bersama. Tapi saya tidak pernah setuju dengan ajakan demonstrasi yang memaksa, hingga solidaritas dibentuk melalui kekerasan. Saya pada saat itu terperangah, melihat ulah beberapa pendemo berseragam yang mencegat teman mereka satu perusahaan yang sedang membawa penumpang. Penumpangnya pun dipaksa keluar tanpa ada kompensasi. 

Sepertinya, earplug bukan hanya dibutuhkan untuk melindungi telinga dari bising luar. Tetapi juga dari bisikan setan terkutuk.  Sebagai  ikhtiar pelengkap doa "audzubillahiminasyaitannirrajiim" yang berulang-ulang kita panjatkan di sela-sela waktu.  

Bukannya konflik semakin kelar, para supir pendemo pun terjebak perkelahian dengan para supir ojek online yang saling bersekutu. Duh, mengapa jadi ajang turnamen begini sih? Kemudian saya menyesal, mengapa hari itu tidak membawa penutup telinga? Jadilah arena perkelahian di jalan raya hari itu membuat saya berandai-andai: "Gimana ya perasaan orang yang kantornya punya gelanggang olahraga atau dojo di lantai dasarnya? Pasti setiap hari ribut adu suporter atau penuh dengan yel-yel yang menggema sepanjang hari."

2 tahun kemudian, tepatnya 2017, di kantor baru tempat diangkat jadi pegawai tetap saya bertemu dengan seorang manager. Menurut penuturan bawahan dan koleganya, manager ini bekerja cukup serius dan jarang terlihat mangkir ataupun keluar kantor begitu lama.

"Di antara karyawan atau manager lain, kami sering kagum lihat Mas A bisa tahan memantau laptop dan mengetik berjam-jam tanpa bolak-balik ke belakang atau sekedar ngaso minum kopi. "
pengakuan salah satu teman kantor saya yang bekerja di unit perencanaan perusahaan.

Ciri khas manager tersebut sedang khusyuk bekerja, antara lain adalah tentang kebiasaannya memakai headset berwarna kuning, dengan mata menatap tajam seisi layar. Saya penasaran, lagu atau broadcast apa yang dia dengarkan supaya tetap khusyuk?

Di lain waktu, saya mencoba memakai headset besar, tanpa memutar musik ataupun siaran seminar.  Meski tidak bisa mendengar jelas sekeliling, beberapa kenikmatan yang bisa dirasakan adalah mendengar getaran dari pantulan suara orang yang sedang mengobrol di sekitar kita. Selain itu, memasang earplug memungkinkan untuk mendengar suara jantung dan organ tubuh yang sedang bergerak.  Bukan tidak mungkin, di suatu kesempatan kita memakai earplug, ...


....kita mampu mendengar suara hati nurani, dalam kesunyian yang disemarakkan oleh detak jantung yang tidak pernah berhenti bekerja....


#ODOPbatch7
#earplug
#listentoyourheart
#noiseprotection





Sabtu, 21 September 2019

Episode 2- Surat Untuk Pakde dan Mas Fajar.

Kepada
Yth. Pakde dan Mas Fajar.

Assalamu alaikum warramatullahi wabarakatuh. Apa kabar Pakde dan Mas? Sudah lama saya tidak menjumpai guratan pena pakde dan mas. Mungkin pakde dan mas sudah begitu sering menulis di berbagai lama media, namun saya yang mungkin sering lupa untuk membaca dan mengulas tulisan pakde dan Mas.

Pakde dan Mas mudah-mudahan masih ingat, bagaimana saya dulu mulai menggemari buku tulisan sebagaimana komik digeluti. Berhari-hari di rumah sakit mendekam karena penanganan inhaler untuk memupus asma membuat saya bosan. Kemudian saya yang waktu itu masih berusia 9 tahun akhirnya mendalami buku kompilasi humor madura , dipinjam dari pamanku seorang dokter anak.

Meskipun membawa belasan komik doraemon dan magic knight rayearth untuk memupus kebosanan, entah mengapa 5 hari terbaring lemas di pesakitan saya lebih senang mengupas buku humor tersebut. Barangkali, karena anak umur 9 tahun seperti saya mulai memahami sisi positif dari setiap keganjilan hidup yang dikemas dalam lelucon.

"Te, sate, sate..."

"Tak, ye"

Logat-logat yang tersebar dalam kalimat yang bertaburan di buku tersebut begitu menghidupkan hari-hari di ranjang. Entah ini positif atau tidak, saya merasa bahwa ragam budaya indonesia ternyata punya daya tarik luar biasa. Semenjak buku itu dikembalikan pada paman, saya mulai memprioritaskan buku humor sebagaimana komik lain yang menarik. Kalaupun ayah saya sudah punya, saya pinjem untuk diresapi.  Di akhir kelas 1 SMP, saya belanja buku humornya Edwin dan Jody, yang sampai sekarang bikin ngekek ndak karuan.

Di tingkat 2 kuliah, lantaran jadi aktivis, saya mulai membaca karya-karya Pakde. Beberapa yang isinya saya ingat adalah Republik Jancoekers dan Berani Ngawur Karena Benar. Lantaran dulu sering diingatkan ayah supaya hati-hati dalam berkomentar di medsos, mengulas kedua karya pakde tersebut membuat saya paham apa arti fiksi untuk menyusun "sindiran yang berseni".

"Normalnya, ngawur itu identik dengan keliru. Namun bila zaman sekarang standar yang benar justru malah membuat kita pusing, terus kita mau apa?"

Begitu tagline 'Ngawur Karena Benar' karangan Pakde yang masih saya ingat. Terutama di hari-hari saya ikut turun berdemonstrasi membela hak-hak adik mahasiswa yang terancam kelabakan dengan uang kuliah yang setinggi gunung.

Kepada Pakde, teruslah berkarya dan menyentil nurani kita dengan wayang dan lakon. Saya masih ingat betul watak pakde yang sering bicara agak nyeleneh tapi ndak pernah nrimo kekerasan dan persekusi.  Jujur, saya cukup kagum dengan kiprah salah satu teman SMA yang memilih jadi penari latar di salah satu lakon buatan pakde.

Barangkali, bila saya harus menyebut siapa nama dibalik kecintaan menulis budaya jawa dalam setiap karya dan narasi yang nyentil, Pakde Sujiwo Tedjolah sang dalangnya.

Lalu Mas Fajar, semoga engkau masih terjaga dari lelap setelah 'menyantap' sebagian besar isi surat yang ngalor-ngidul yang berisi kekaguman pada Pakde Jiwo. Rinduku padamu rasanya juga hampir sulit untuk dilukiskan. Minimal yang mampu saya ungkapkan: Setiap kali login facebook, nama Mas pasti saya sempatkan untuk dipelototi. Baik isinya maupun orangnya.

Awal saya bertemu dengan Mas, saya cukup terkesima. Mas adalah salah sekian penduduk Indonesia yang memfavoritkan Jokernya Batman setiap kali ada perhelatan kostum. Saya mulai menggali, apakah yang membuat Joker bisa jadi tokoh idaman. Padahal secara empiris, kita tahu dia adalah antagonis.

Setelah saya menapaki sekian meme dan lelucon lalu lalang di google, mulailah paham bahwa beberapa perwatakan Joker mewakili kegundahan dan kegetiran hidup manusia di masa dewasa. Hal tersebut sepertinya saya temukan dalam ilustrasi dan tulisan yang mas biasa unggah di laman facebook.

Ada belasan uraian mengenai kegetiran dan kepahitan hidup yang kadang berpotensi mendorong orang untuk bunuh diri, hingga dilema harus memilih satu diantara dua orang yang sedang dihimpit maut. Maka, bolehkan kalau sampai saat ini saya mengagumi mas dengan kompleksitas pemikiran mas?

Mas Fajar Sahrul, saya masih terpingkal dengan komik miniseri mas bertajuk "pertaubatan Mulyono". Betapa sebuah kisah fiksi bisa dibalut dengan narasi nakal dan menohok. Berangkat dari mas, rasanya saya mulai mengerti bagamana menaruh lelucon "cap lada hitam" dalam tulisan kita.

Mudah-mudahan, mas juga sudah lupa pertengkaran terakhir kita? Eh, kok saya malah ingetin?

Ya, kita sempat berbeda pendapat saat menyikap kasus penistaan agama tahun 2016, berikut juga kasus Aleppo tahun 2017. Meski demikian, mas sempat mengomentari positif beberapa kiriman saya di medsos.

Mas Fajar, kalau ada waktu mengunjungi akun sampeyan, saya ingin kembali mengulik narasi dan ilustrasi mas. Biar buku fiksi dan non-fiksi saya nanti bisa berasa "spicy" bilamana mampu disusun dalam bahasa santai dan jenaka. Karena saya tahu, setiap yang ditulis sebisa mungkin mengandung impact. Karena kalau mengandung umpan itu lagunya Meggy Z.

Mas Fajar, udah tahu belum kalau mas Agus Mulyadi sekarang bikin ensiklopedia nabati dan hewani sekadarnya dan semampunya? Saya juga tertarik untuk menyusun buku semacam itu, mungkin di bidang lain, salah beberapanya adalah yang pernah digeluti saat kuliah.

Jikalau mas fajar sudah membaca bukunya, mohon resensi anti mainstreamnya ya. Saya sudah agak jenuh membuat resensi buku dengan pola 'itu-itu' lagi. Ya ada judul, jumlah halaman, terbit tahun berapa, berikut sesi inspirasi dari buku. Saya berharap, kalau sudah belajar resensi dari Mas Fajar, model resensi buku akan berkembang lebih pesat ketimbang anak lepas balita kehilangan kancing karena baju tidak muat di pusernya. Seperti iklan Scott Emulsion itu lho.

Ya sampai di sini dulu surat rinduku untuk Pakde Jiwo dan Mas Fajar.

Jika suatu hari ditakdirkan jadi diaspora, tulisan-tulisan saya akan terus disusun dalam bahasa indonesia. Karena saya akan ingat betapa Pakde dan Mas adalah bukti bahwa betapa banyak budaya indonesia yang masih patut dikagumi, dilakoni, dan dihayati. Baik dalam buku satir, buku nikah (eits), hingga buku jari.

Selamat siang,

Salam sejahtera

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

#tantanganpekan2
#ODOP
#bagaimanasayacintasatirdanhumor

Geret Koper Sendiri, Ngorok Happy di Stasiun

"Bri, maaf saya ga bisa nganter kalau tanggal segitu. Ada kerjaan" respon teman satu flatku saat kutanya soal bantuan transport untuk ke bandara demi pulang akhir tahun 2014. Ya saat itu sejak April memang kubela2in beli tiket garuda agar libur di indonesia tidak terlewatkan manakala semester 1 S2 sudah usai hanya tunggu rapot.

Sial, saat itu saya gak pede naik taksi, parno dijahilin sama sopir yang mungkin senang memperdaya orang yang naif lokasi perjalanan. Kutanya teman flatku yang lain, Nabely, soal alternatif antaran bandara. Dia pun menyarankan ambil sky bus yang hanya kuras 18 AUD /keberangkatan.

Untuk menjangkau pool sky bus, perlu sedikit usaha berkereta menuju Stasiun Southern Cross. Keberangkatan pesawat jam 9 pagi hari sabtu, membuat saya ndak mikir 2 kali untuk geret koper berlelah-lelah naik kereta hingga ke Southern Cross.

Tibalah saya disana pukul 10 malam, lalu  karena di ruang tunggu ada sofa kuputuskan jajan lalu bermalam agar bisa mengejar bus dini hari jam 3. Di jalan macam-macam orang kutemui, salah duanya adalah anak kuliahan bule yang sok asik ngajak "give me 5" sampai bapak setengah baya yang mau minjem handphoneku karena pulsanya habis buat nelpon istrinya.

Awalnya agak keringat dingin, si bapak tua gak segan-segan bayar 2 dollar setelah puas nelpon dengan nada agak marah ke bininya. Dia berlalu, saya tukar itu 2 dollar dengan air putih sebotol. Wkwkwkwk.

Setelah lelah mendera, langsung saja ku bersiap bobo di ruang tunggu yang ada kursi pijatnya. Alamak, 2 kursi pijatnya udah dipakai bobo emak-emak berparas tiongkok. Jadi aja bobo ayam di kursi keras.

Jam setengah 4 pagi terlewati, yak kuikuti saja antrian tukar karcis sky bus biar dapat tempat duduk. Wah untung pak supir suport penumpang buat menata koper. 45 menit sampailah aku ke gerbang tulla marine keberangkatan inter nasional. Hmm, masih dingin dan dikursi ruang tunggu airport ga sedikit yang tidur selimutan.

Tapi karena banyak waktu luang, jadilah saya udah di antrian gerbang pesawat jam 8 pagi. Ya masih bisa main game dulu lah.
Sejak saat itu, saya lebih suka lihat rute transport lalu bertualang sendiri buat pulkam. Wkwkwkw the flavor of adventure, comes from bravery of lone soul.

Jumat, 20 September 2019

Apa Rasanya Jika Dunia Berhasil Digenggam?

Salah satu jawaban yang terbaik: "Kita takkan pernah puas". Inginnya punya kapling di planet mars, hotel di planet mercury, hingga buka apartmen di bintang nebula. Tapi, belum tentu kita sanggup terus merawat segala aset dunia yang sudah kita genggam. Pohon harus ditata, jangan buang sampah di gunung, hutan jaga hutan tetap lebat, dan laut jangan dicemari. Jadi tak sesimpel rumus penguasaan produk telekomunikasi, atau jargon promosi lainnya.

Namun, junjungan kita Rasul SAW telah mendefinisikan rasanya menggenggam dunia lewat petuahnya:  Dunia terkuasai bila kita punya 3 hal : tempat tinggal yang aman, nafkah yang menghidupi urat syaraf  keluargamu, dan kendaraan yang tangguh. Semua adalah aset berharga yang membuat kita mencapai sisi-sisi dunia dari multi perspektif dengan modal tekad, penasaran, dan tafakur.
___
Kalau belum punya salah satu atau 3 hal itu, bukan berarti hidup jadi serba pesimis. Bukan masalah besar ataupun bencana ketika rumah masih ngontrak atau numpang, yang penting siklus berkeluarga bertetangga sosialisasi masih lancar. Belum kerja di tempat bonafit, bersyukurlah masih ada atasan dan teman yang siap mendukung aktualisasi diri mencari makna dalam nafkah yang nyerempet UMR. Seandainya angkutan kita  masih bertumpu pada gojek, angkot, atau bus, interaksi dengan supir dan penumpang adalah warna yang akan menumbuhkan pengalaman baru.
__
Bahagianya setiap individu tidak ada definisi ataupun tolok ukur mutlak. Boleh saja bangga kita punya hotel dan anak remaja berlari riang di lahan kosong berhampar sawah.  Bisa jadi bahagiamu adalah punya fortuner, disaat seorang supir angkot bahagia bisa sekolahkan anaknya hingga STM dengan skill ngetreknya. Maka bisa jadi definisi makmur bagi seseorang adalah bila punya multi bisnis profit lancar, disaat seorang bapak paruh baya ikhlas menjaga senyum belasan cucunya dari modal toko kelontong depan rumahnya.
__
Sebesar apa yang saat ini kita genggam, aku cuma ingin bilang, jangan lupa bahagia. Rumput tetangga boleh jadi lebih hijau, tapi sesekali ajak tanganmu merawat rumputmu sendiri agar dia tidak jadi kering dan kuning. Cukup rumput aja yang kuning, bilirubin dan gigi jangan sampai.

Jakarta, Catatan Diri semenjak 2018

Rabu, 18 September 2019

Dilarang Membaca Sailor -M@@@ Tak Berarti Pensiun Membaca Komik Cewek

Komik dan kartun adalah salah satu hiburan penting yang membentuk jiwa saya sejak usia 5 tahun. Setelah berkutat dengan plot, alur, dan tokoh-tokoh Doraemon, saya punya kecenderungan untuk membaca cerita dengan latar superhero. Sungguh menakjubkan sekali melihat manusia memiliki kekuatan supranatural dan bisa berubah wujud.

Beberapa selera komik saya saat itu antara lain: Kobo-Chan, Sailor-Moon, Land Before Time, Satria Baja Hitam atau Power Ranger. Sailor Moon saya geluti habis-habisan, hingga beberapa dialognya saya hafalkan. Namun bagi orangtua saya, bukan hal yang membuat tenang saat melihat anak yang baru melewati masa balita begitu latah mengucapkan panggilan-panggilan atau julukan yang ada dalam komik (maaf) wanita. Jadilah saat itu saya diminta berhenti membacanya. "Gakkan mama beliin Sailor Moon lagi!"

Waktu berganti, kebiasaan membaca konik saya tidak serta merta tamat. Begitu kartun "Magic Knight Rayearth" tayang di RCTI, tepat saat menginjak kelas 1 SD, saya lalu memburu komiknya. Dikoleksilah sampai tamat 2 season. Sampai saat ini, saya masih menjadikan 'dunia alternatif' dalam MKR sebagai rujukan pola mengarang dunia dalam karangan tulisan.

"Pokoknya tokoh harus bisa sihir dan pedang!"

"Masing-masing bisa menunggangi robot raksasa."

"Ending tidak harus happy, tapi jagoan harus terus hidup".

"Musuhnya harus datang dari manca-negara."

Maka, rasanya tidak berlebihan bila dikatakan setelah membaca MKR (Magic Knight Rayearth), saya juga kerajingan Cardcaptor Sakura, Wedding Peach, Sky Dancers, Tokyo Mew-Mew, Sakura Wars, hingga Danger Girl.

"Berarti kamu sekarang jadi ke-wanita-wanitaan dong, Bri? Kok idola hero cewek kamu banyak banget?"

Mungkin anda jadi berasumsi demikian, tetapi saya juga tetap menyeimbangkan dengan menikmati tayangan superhero masculin. Menikmati dunia hero wanita adalah sebuah paket yang lengkap. Pertempuran, duka cita, air mata, dan asmara.

Entah mengapa, sekuat apapun tokoh superhero wanita, mereka pasti punya pria idaman yang kadang seolah tak bisa hidup tanpanya. Dunia superhero lelaki pun tak kalah seru, hanya saja fokus cerita jadi lebih to the point ke eksekusi, dibanding intimasi emosi antar karakter dan petualangan batinnya.

Dengan pemikiran seperti ini, selama bertahun-tahun saya kerap memasukkan komik dengan tokoh wanita luar biasa sebagai daftar belanjaan komik mingguan saya. Kemudian saya menemukan judul komik cukup menarik, mengetengahkan kisah empat bersaudara dalam genre cerita yang berbeda.

Apa nama komiknya ?

FOUR DAUGHTERS OF ARMIAN (FDA)

Komik buatan korea ini mulai mematahkan stigma yang tumbuh dalam benak saya, bahwa bahasan komik adalah hal yang ringan dan praktis. Karya dari Il Sook Shin ini memotret kehidupan 4 orang bersaudara dengan watak yang berbeda. Di kemudian hari, FDA menjadi  salah satu 'bekal dasar' saya menyusun perawakan dan perwatakan tokoh wanita, setiap kali hendak membuat cerita baru.

Yang membuat saya selalu mengulang cerita FDA setiap kali membuka lemari komik, adalah bahwa setiap karakter utama yang ada dalam komik ini mewakili satu genre atau aspek bahasan substansi cerita. Setting cerita ini mengambil durasi 25 tahun dari awal hingga akhir.

Siapa sajakah karakter FDA?

1. Manufor. Saudara tertua yang sinis, haus kekuasaan, dan sering menzalimi adik bungsu lain ayahnya, Syarhina. Tatkala naik tahta menjadi penerus ibunya, dia makin ambisius dan hobi menuai dendam para pejabat beserta sekutu negara tetangga, hingga tega mengadopsi keponakannya tanpa sepersetujuan adik keduanya, Aspasya. Kendati demikian, Manufor yang biasa dipanggil manua ini adalah panglima perang yang hebat serta ahli strategi yang cermat. Perubahan sifatnya mulai terlihat saat keponakan yang diadopsinya mulai tumbuh besar, dia mulai menampakkan sisi keibuannya, bahkan sampai mengorbankan dirinya terkena panah beracun.  Menjelang ajalnya --karena racun panah yang menjalar --, Il Sook Shin memberikan sebuah ending yang bahagia untuk dia: kembali memeluk putra kandungnya yang harus dikorbankan karena aturan kerajaan, mengakui pada keponakannya bahwa ia bukan ibu kandungnya, memberikan Syahrina tahta kekuasaan kerajaan Armian, hingga meninggal dalam damai di pelukan Khenes --pria yang mencintainya--. Hikmah dari karakter Manufor adalah sekejam-kejamnya seorang wanita, kalau sudah jadi ibu, biasanya akan mengorbankan segala hal untuk anaknya. Il Sook Shin menempatkan Manufor untuk mewakili genre politik, konspirasi, dan parenting (pengasuhan) dalam cerita ini.

2. Swarda, adik pertama Manufor yang konon wajahnya paling cantik diantara 4 bersaudara. Tak hanya itu, Swarda adalah wanita berhati lembut tanpa pilih-kasih. Sayangnya, dia adalah wanita yang mudah galau dan tertekan saat Rihal, pria pujaan hatinya direbut Mbak Manufor. Lalu Manufor malah memberi 'kompensasi' pada Swarda dengan menjadikannya selir kaisar Persia, Xerxes. Beberapa tahun, Swarda dan Xerxes hidup aman tentram hingga salah seorang madunya Swarda yang bernama Shimeya 'julid' lalu merampas liontin Swarda. Eng ing eng, Swarda pun mulai dijauhi Xerxes hingga harus divonis hukuman mati. Tapi il Sook Shin menjalankan perubahan sifat dengan cukup epik pada karakter Swarda. Di akhir hayatnya menuju algojo penjagal, Swarda sama sekali tidak menunjukkan rasa takut dengan mengeluarkan keberaniannya menentang perintah suaminya yang tidak senonoh. Sangat berbeda jauh dari sifat awalnya yang cenderung pasrah dan mudah galau.  Dari Swarda, saya belajar bahwa menjadi wanita galau dan pasrah adalah kondisi sementara, hingga muncul waktunya untuk menumpahkan semua keberanian menegakkan intuisi hati nurani. "Mohon maaf tolong katakan pada yang mulia, bahwa menari telanjang depan umum adalah hal yang tidak senonoh."

3. Aspasya-Pherel-Omesett. Digambarkan di awal cerita, wanita yang dianugerahi kekuatan penyembuh ini adalah seseorang remaja yang setia menemani saudari-saudarinya dan kelihatan tidak senang menyendiri. Suatu ketika, hatinya tertaut pada pemuda Yunani yang dipanggilnya Bahel, -padahal aslinya Perikles- . Lantaran apes jadi berstatus budak belian, Perikles lupa siapa asal-usulnya. Setelah setahun menikah, Perikles tewas dan membuat Aspasya  yang sedang hamil terpuruk. Setelah Perikles hidup kembali oleh perjuangan Syarhina, ingatannya kembali hingga melupakan memori bersama Aspasya. Aspasya yang awalnya tahu Perikles hidup kembali, semakin terpuruk saat tahu Perikles melupakan memori yang tersusun bersamanya, hingga hilang kesadaran saat melahirkan. Selama kurang lebih 20 tahun menurut waktu cerita, Il Sook Shin menempatkan Aspasya jadi wanita yang serba bingung dan selalu ingin asyik sendiri. Namun, Aspasya mendapatkan ending paling bahagia dibanding saudari-saudarinya : bertemu Perikles yang rambutnya sudah memutih lalu memulai kisah cinta hingga menikah kembali. Aspasya pun mendapatkan kehormatan menemani suaminya hingga keduanya meninggal secara natural. Aspasya mengajarkan saya, ada saat dimana kita kehilangan diri sendiri karena hilangnya seseorang  yang berharga, namun semua akan terobati dengan kesabaran dan cita-cita.

4. Re-Syarhina: bungsu diantara 4 bersaudara dan sebagian besar cerita FDA adalah soal dia. Dia mewakili genre fantasi dan dunia mitologi. Suatu ketika, karena dia membela guru privatnya yang memberontak terhadap kakak sulungnya, dia diusir dari Armian. Disitulah perjalanan panjang bermula, karena Manufor rela menerimanya pulang dengan syarat dibawakan pulang bulu burung api. Perjalanan Syarhina mencari bulu ajaib tersebut adalah kisah yang mendominasi komik 17 volume ini, diwarnai dengan adu sihir dan pedang, serta melawan pasukan gaib antar negara. Ketika mendekati akhir serial ini, pembaca seolah akan merasa bahwa Syarhina akan menjadi ratu Armian yang super power, lebih-lebih saat dia berhasil membawa pulang bulu burung api dan mendengarkan semua wejangan terakhir Mba Manufor. Sayang, Il Sook Shin rupanya ingin menekankan bahwa sifat dan kemampuan orang di satu bidang tak berarti dia mampu di bidang lain. Setelah belasan volume lebih  terpukau melihat betapa 'sakti' seorang Syarhina, ternyata saya harus mengakui bahwa cukup 2 volume komik membuktikan bahwa 'gadis superhero tak serta merta jadi ratu yang kompeten'. Syarina sering 'mabal' dari tahta, berkencan memadu kasih, seolah-olah membayar kesempatan pubertasnya yang tidak tercapai dalam beberapa tahun. Peran pamungkasnya di akhir cerita adalah mengajak dirinya dan rakyat mati bersama dalam menghadapi serbuan tentara Persia. Setelah sempat takjub, ternyata kemampuan Syarina  menghadapi perang sama sekali jauh dari ahli strategi yang pamungkas. Moral dari kisah Syarhina adalah "jangan terburu-buru kagum dengan kemampuan orang di banyak bidang. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh juga."

Dengan melihat susunan perwatakan di atas, saya selalu membayangkan bisa menyusun kisah fantasi yang karakternya punya beragam warna, kekuatan, dan  batu sandungan masing-masing. 

Yang terpenting, dari kisah komik wanita yang saya konsumsi, pembelajaran pamungkas adalah bahwa dalam setiap konflik ada intimasi emosi yang punya daya persuasi pemikiran yang memikat. Setiap karakter punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada saatnya tobat, ada waktunya terjerembab.

Terima kasih telah menjadi warna bagi fantasi yang membuat saya tenggelam bersastra ria.

#ODOPday11
#tantangan2
#mendalamifantasi

.

Bising Jam Enam Petang


-puisi ini diangkat dari insiden pilu semasa SMA-

Asap membumbung tinggi
Menyusupi aspal-aspal bercabang
Di antara roda-roda besi bergerigi
Terompet-terompetnya bergema mengerang

Pak tua berpeluh mandi keringat 
Menatap jalan terkekang aral. 
Terkepung sesak menyumbat
Membungkam pembuluh-pembuluh aspal. 

Matanya menembus sang senja
Kebisingan tak membuatnya tersekat
Dari hasrat bersua dalam sahaja.
Berjibaku dirinya lewati terik pekat

Pada keluarga pikirannya bertumpu.
Perjalanan memupus usia adalah biasa,
kepada tujuan tempatnya berpadu
demi tergenang dalam kehangatan asa

 Langit berotasi menjadi kelabu
Kian berjejal manusia-manusia sibuk
Menyesaki belantara aspal nan sembilu
Segenap usaha pak tua menahan kantuk.

Setengah jalan pun tak jua tergenggam,
meski kelopak mata pak tua memerah,
dan jantung berdegup kencang menghujam
Ia melaju dengan nafas terengah-engah

Bayangan rumah masih tersamar
Di kala hati berkalang rindu
Lelah menggamit mesra mengakar
Memaksa tubuh dan nalar beradu. 

Kaki pak tua teguh terpaku
Memacu moda dalam lautan aspal
Berarak dalam aral tak jua berlalu
Menahan perih tubuh yang kian kekal

Peluh pak tua semakin tak bertepi, 
siksa nanar kian meredam denyut nadi.
Bising-bising roda kian mustahil jadi sepi, 
aspal kini serupa lahan kerja rodi.

Setengah malam setengah jalan tergapai,
nafas pak tua menipis ke ambang batas.
Bergegas ia tembus kerumunan tak kentara
demi sejenak mengurai peluh yang menggilas.

“Semoga seusai lelapku sementara, 
sekejap mata pagar rumah terjamah”,
Asanya bergema dalam jalan padat tak terkira
Kiranya sisa puluhan kilo tenaga kembali merekah

Namun siapa insan mampu mengurai rahasia Tuhan?
dikala lelap, Pak Tua menjamah rumah terakhir.
musnahlah peluh, saat raga pamit pada kehidupan. 
Menuju kampung abadi, melayang jiwanya dalam angin semilir.

Gatot Subroto, 2019

Kompilasi Puisi Bikin Sakit Kepala

Latihan 7

*Melumuri tanganku*

"Kenshin, mengapa kamu berubah?"
Kaoru menatap kedua mataku yang menguning.
Mengkilat seperti macan tutul mencari mangsa

"Aku telah kembali mengotori tangan ini."
Kau tertunduk seakan gravitasi memaksa air matamu jatuh, Kaoru.
"Apa yang mengubahmu jadi hewan buas, Kenshin?"
Aku jawab santai, "Sesungguhnya tanganku ini berlumur, karena mencuci hajat tanpa sabun, Kaoru"

Senin, 16 September 2019

10 Hal Yang Bisa Ditulis di Blog Saat Tidak Ada Pembaca.

Pembaca kita adalah manusia, demikian juga kita. Perkara membaca lalu mengulas kembali saja sudah memakan energi dan fokus, apalagi menulis-menyusun-menyunting. Kendati tidak ada pembaca, secara naluriah manusia tetap butuh menulis dan mempublikasikan sesuatu.

Apa saja yang bisa ditulis? Beragam, dari mulai yang bermanfaat hingga hanya bernilai sambhat.

Di masa sebelum ada internet, baik kakek, nenek, ayah, ibu, ataupun ibu RT kita terbiasa menuliskan sesuatu dalam buku diari.

"Halah kalau cuma buku diari mah sekarang saya juga masih nulis. "

Eits, jangan salah. Buku diari itu meskipun remeh, tetapi bisa jadi pengingat dan perekam sejarah penting sebelum ada kamera HP.   Beberapa diari yang akhirnya berubah wujud jadi manuskrip sejarah antara lain adalah "Catatan Solferino" punya Henry Dunant dan "Diary of A Girl" goeresannya Anne Frank.

Era internet memungkinkan kita untuk menulis apapun, di luar media buku. Akan tetapi, seringkali karena orang zaman sekarang dimanjakan oleh hormon dophamine (efek rasa senang saat mendapat pengakuan orang lain), cenderung jadi malas untuk menulis saat tidak ada pembaca.  Padahal, beberapa hal yang kita lalui dalam sehari bisa jadi mengandung hikmah dan rumus penting, sehingga memerlukan catatan untuk mengawetkannya.

Pemirsa, berikut adalah 10 hal yang bisa ditulis di blog saat tidak ada 1 orang pun pembaca:

1. Resep Masakan Hari Ini.

"Ah kan sudah begitu banyak buku masakan, Bri. Ngapain nulis di blog?". Ya memang sekarang menu makanan pun sudah banyak tersaji di halaman google. Tapi soal kaidah mengulek dan cara menuangkan minyak, wijen yang berbeda, kadang kala tidak selalu tersaji oleh Mbah Google. Sehingga, jika dalam proses mengulek sambel ternyata ada trik pengadukan yang membuat pedasnya makin mantap, tidak ada salahnya dicantumkan di blog. Kalau tiba-tiba ada pengusaha rumah makan tiba-tiba baca blogmu dan mempraktekannya, terus warung rumah makannya makin laku, disitulah anda mendulang pahala dan duit honor karena berbagi resep.

2. Catatan Pertolongan Pertama dan Obat-obatan

Boleh saja tidak menulis hal ini di blog, lantaran yakin bahwa setiap obat punya aturan pakai. Akan tetapi, beberapa dokter ataupun pengobatan alternatif kadang meresepkan dengan rumus yang berbeda dari aturan pakai asalnya. Tergantung pada diagnosa soal penyakit ataupun kondisi tubuh anda. Tidak ada salahnya mencantumkan hal-hal demikian di blog, lengkap dengan implikasi dan efek sampingnya. Akan sangat menolong, disaat ga bisa buka hp, lupa resep aturan pakai obat, kita cuma tinggal buka laptop warnet terdekat ataupun minta teman membacakan blog di laptop asal jangan bagi-bagi password. 

Karena setaraf dengan obat-obatan, alur pertolongan pertama pada kecelakaan atau kedaruratan juga bisa dikirim di blog. Sekarang nusantara lagi rawan bencana, tidak ada salahnya menulis hasil pengamatan soal kejadian banjir yang menimpa di dekat rumah saat tidak bisa menghindari air bah di tempat dinas. Di lain sisi, orang-orang yang sedang terkena bencana, bisa jadi tertolong karena tidak sengaja browsing lalu ketemu blog kita.

3. Daftar nomor darurat dan (tersangka) penipu.

Zaman sekarang, modus orang berbuat jahat macam-macam. Di satu sisi, tidak semua instansi terpercaya dan aman memiliki jaringan internet.  Sayangnya, beberapa orang jahat zaman sekarang awalnya bermuka baik dulu baru merampok.

Awal 2015, saya menemukan bahwa catatan tentang Wedding Organizer cap PHP yang tersaji lewat blog orang cukup membuat waspada akan kelakuan-kelakuan wedding organizer yang berisiko menipu pelanggan. Di tahun 2016, catatan beberapa sikap vendor asuransi dengan skandal instransparansinya membuka mata saya soal tipe asuransi apa yang patut dipercaya.                           

Di lain sisi, ada beberapa instansi darurat yang belum mencantumkan internet, kadang-kadang tidak mencantumkan no telepon perseorangan ataupun kantornya. Salah satunya kantor usaha kecil yang baru berdiri di luar negeri yang tugasnya mengurus diaspora yang (inalillahi) terkena musibah. Meskipun telpon udah cukup untuk menyimpan nomor, jika HP mati, ga ada salahnya membuka blog di internet terdekat.

4. Kunci jawaban rumus dan teori hafalan.

Sehabis kuliah atau kursus, kadang ada beberapa hal yang lupa kita catat. Ga setiap dosen begitu dermawan untuk berbagi powerpoint kuliahnya. Kalau hanya bergantung pada buku, bisa jadi tercecer beberapa saat kemudian. Jadi, tidak ada salahnya membiasakan mencatat rumus ilmiah atau prosedur praktikum di blog masing-masing. Sangat menolong andaikata catatan tertinggal di rumah saat harus praktikum luar kuliah atau kursus

5. Katalog barang mau dibeli

Hampir sama dengan no. 4. Bisa jadi cadangan kalau catatan tulisan tangan tercecer.

6. Rumus pengelolaan uang rumah tangga (tanpa mengumbar nominal).

Katakanlah kita baru selesai mengikuti diskusi soal pengaturan uang dengan orang tertentu. Eh ternyata pas browsing, susah dicari materi lengkapnya.  Maka, apapun yang kita ingat di otak, segera tulis di blog.

7. Rancangan surat wasiat.

Saya ga ada niat bercanda untuk hal satu ini, karena kematian tidak menunggu keriput. Tidak ada salahnya bikin blog tertutup, untuk menyusun surat wasiat. Siapa tahu, ada perubahan cita-cita, blog ini bisa jadi reminder.

Bahkan, dengan kesempatan menulis surat wasiat, perlahan-lahan akan terasa bahwa blog tertutup bisa jadi sebuah warisan selama akun dan password dibagi. 

8. Puisi dengan struktur aneh.

Menulis itu tidak harus terikat dengan kebutuhan orang lain untuk membaca. Barangkali anda sedang jalan-jalan di taman, lalu tiba-tiba muncul buaya dari lubang golf, anda dapat inspirasi. Daripada hanya sekedar dicatat di kertas, tak ada salahnya dituangkan dalam blog.

9. Cerita aneh soal orang aneh.

Membuat cerpen tidak selalu harus ada pembacanya. Saya mengikuti ODOP dengan membuat sebuah tulisan di instagram tentang rancangan tulisan saya jaman SMP yang sampai sekarang belum pernah dipublikasikan. Belakangan ini saya pindah kisah itu ke Tumblr.

10. AKSHI

Ada yang tahu kepanjangannya??

"Ayo Kita Senyum Hari Ini!!"

Salah, kurang negatif jawabannya. Sedikit suudzan lagi, maka jawabannya akan tepat!

"Ayo Kita Sambhat Hari Ini"

"Hah, coba ulangi...jawabannya sudah bagus!!"

"AYO KITA SAMBHAAAT HARI INIIII"

Betul sekali, saat blogmu tidak ada pembaca, apa salahnya menuliskan hal-hal yang bikin sariawan, kesal, dan julid? Jangan lupa ubah blognya jadi private. Di kemudian hari, saat masalah selesai, tulisan AKSHI ini bisa ditertawakan habis-habisan buat jadi bahan kelakar. 



Demikian 10 hal yang saya sarankan untuk dituliskan di dalam blog yang tidak akan dibaca. Ini tidak mengandung rumus ilmiah, dan tidak ada paksaan bagi para blogger untuk menjalankannya. Tapi kalau sudah kadung nikmat menulis hal-hal di atas, mudah-mudahan manfaatnya terasa.


-Gatot Subroto, 17 September 2019- 




Minggu, 15 September 2019

Tenaga Robot, Apakah Perlu?



Saat pertama kali melihat hasil screenshot dari live report di bawah ini, hampir saja saya latah ikut barisan para pengejek ataupun yang tepok jidat karena mengingat kampus saya punya unit robotika. Tapi saya akhirnya urungkan jari ini dari latah mengejek adik- adik kita ini.

 Ada 3 hal dari diri yang mencegahnya:

A. Teringat lirik lagu "Dampak Teknologi" band Power Metal Indonesia: "...dimana gedung gedung kaca tinggi menjulang, disana mesin mesin robot mengancam, laut sungai sawah menjadi lahan, diterjang budak budak ambisi kerakusaann..." (album Power Mission, 1988)

B. Mengutip proses pembuatan nasi pecel, sambel dan beragam kuliner yang sulit bisa dibuat mesin, harus dengan ulekan tangan. Notabene usaha pake ulekan tangan ini jarang dijumpai dalam bentuk restoran, maka saya terbayang sulitnya mereka yang cari lahan kalau sedikit-sedikit digusur jadi bangunan semi modern atau gedung. Sayangnya, atas nama kekuasaan, para pelaku usaha ulekan dan pakai tangan manual yang didominasi UMKM ini seringkali tidak bisa melawan "label"2 yang melegalisasi penggusuran lahan-lahan kerja ini. 

C. Apakah para mahasiswa menyuarakan kepentingan mereka sendiri dan mereka kurang bersiap? Saya rasa tidak, hanya mungkin caranya harus  berimprovisasi. Toh, mahasiswa dan semua pelajar memang tempatnya berbuat salah.  Kalaupun aksi mereka dibenturkan dengan gagasan pamungkas bahwa "Kita itu harusnya sudah siap menyambut industri 4.0, ya kalau diganti robot atau automatisasi itu sudah resiko", maka izinkan aku mengajukan sebuah tanya: "apakah robot dan mesin automatisasi ini juga disiapkan agar mereka bisa berempati dan memiliki pemahaman emosi yang sama dengan manusia yang kita gantikan?". 
Saya rasa, dibukanya lapangan kerja tidak selalu harus disandingkan dengan kecepatan berlari dalam persaingan dunia. Dlam bekerja kita juga membawa naluri dasar makhluk hidup untuk bertahan hidup, serta melindungi kesejahteraan orang lain dalam usaha mencari nafkah (dalam hal ini keluarga utamanya). 

Kalaupun saya dinilai seperti tidak concern dengan kesiapan Industri 4.0 atau versi lainnya, boleh kan saya tanya balik: 

"Apakah industri 4.0 punya kesiapan untuk menghadapi global warming dan isu hilangnya kesejahteraan dunia ketiga?

Ujung-ujungnya yang membuat relevan antar 2 isu besar ini ya perlu campur tangan pemerintah. Entah berapa persen, yang jelas power paling menentukan lagi-lagi di tangan pemerintah. Apa daya masyarakat intelek secanggih apapun mewujudkan sinergi antara 2 hal tersebut tanpa penerbitan undang-undang dan perangkatnya? 

Dan untuk kalian para mahasiswa yang ada di foto ini, saya tidak berniat tersanjung dengan cara kalian berdemo. Tapi apa hak saya juga melarang kalian bersuara? Ya mungkin bila saya jadi kaka alumni mahasiswa, saya pun akan marah dan minta kalian tanggalkan jas almamater. Lalu, saya juga akan tanggalkan jas almamater saya lalu mengajak kalian tetap bersuara, bukan sebagai mahasiswa.  Melainkan sebagai manusia biasa yang perlu melindungi sesamanya. Lalu kita turun ke jalan bareng bikin demo soal kepedulian ruang usaha yang masih butuh sentuhan tangan tangan manual. Sambil kita bikin poster lebih kreatif semisal :"apakah kita rela bumbu pecel lele kita diaduk dan diracik robot yang ga paham rasa lidah?"  atau  yang lebih terus terang:" Apa anda siap nasi jagung dan singkong diganti semen dan apartmen?" 

Eits saya belum pikun2 amat loh soal isu petani Kendeng 2 tahun silam ðŸ¤‘🤑🤑.   Saya pun masih terkenang meliput isu-isu demonstrasi di negara maju yang kadang diisi kalimat2 lebih sadis dari retorika diatas.

Lalu kalau saya boleh mengutarakan lebih jauh, kalimat-kalimat dalam poster ini masih -jauh- lebih baik daripada "kami minta uang, upah kami dimana?". 

Maka, menurut saya keterlaluan kalau ada orang yang bisa berkomentar "mahasiswa macam gini gausah diterima kerja lah dimanapun, cengeng!", sementara di saat sisi lainnya kita bisa mengelu-elukan penyanyi yang menggemakan lirik "....berilah hambamu uang, beri hamba uang" bahkan kita ikut bernyanyi. Apa perlu para mahasiswa ini bawa perlengkapan ngamen sehingga sikap apatis bahkan agitatif destruktif tentang apa yang mereka suarakan ini terhenti?.

Kalau memang demikian, mungkin format demo berikutnya kita undang artis berbakat saja. Siapa tahu lebih banyak apresiasi ya dek, sekalian nyanyi menggema satu stadion. 

Dari saya, yang masih harus banyak belajar.
Hasil Potong Layar Saat Live