Minggu, 15 September 2019

Tenaga Robot, Apakah Perlu?



Saat pertama kali melihat hasil screenshot dari live report di bawah ini, hampir saja saya latah ikut barisan para pengejek ataupun yang tepok jidat karena mengingat kampus saya punya unit robotika. Tapi saya akhirnya urungkan jari ini dari latah mengejek adik- adik kita ini.

 Ada 3 hal dari diri yang mencegahnya:

A. Teringat lirik lagu "Dampak Teknologi" band Power Metal Indonesia: "...dimana gedung gedung kaca tinggi menjulang, disana mesin mesin robot mengancam, laut sungai sawah menjadi lahan, diterjang budak budak ambisi kerakusaann..." (album Power Mission, 1988)

B. Mengutip proses pembuatan nasi pecel, sambel dan beragam kuliner yang sulit bisa dibuat mesin, harus dengan ulekan tangan. Notabene usaha pake ulekan tangan ini jarang dijumpai dalam bentuk restoran, maka saya terbayang sulitnya mereka yang cari lahan kalau sedikit-sedikit digusur jadi bangunan semi modern atau gedung. Sayangnya, atas nama kekuasaan, para pelaku usaha ulekan dan pakai tangan manual yang didominasi UMKM ini seringkali tidak bisa melawan "label"2 yang melegalisasi penggusuran lahan-lahan kerja ini. 

C. Apakah para mahasiswa menyuarakan kepentingan mereka sendiri dan mereka kurang bersiap? Saya rasa tidak, hanya mungkin caranya harus  berimprovisasi. Toh, mahasiswa dan semua pelajar memang tempatnya berbuat salah.  Kalaupun aksi mereka dibenturkan dengan gagasan pamungkas bahwa "Kita itu harusnya sudah siap menyambut industri 4.0, ya kalau diganti robot atau automatisasi itu sudah resiko", maka izinkan aku mengajukan sebuah tanya: "apakah robot dan mesin automatisasi ini juga disiapkan agar mereka bisa berempati dan memiliki pemahaman emosi yang sama dengan manusia yang kita gantikan?". 
Saya rasa, dibukanya lapangan kerja tidak selalu harus disandingkan dengan kecepatan berlari dalam persaingan dunia. Dlam bekerja kita juga membawa naluri dasar makhluk hidup untuk bertahan hidup, serta melindungi kesejahteraan orang lain dalam usaha mencari nafkah (dalam hal ini keluarga utamanya). 

Kalaupun saya dinilai seperti tidak concern dengan kesiapan Industri 4.0 atau versi lainnya, boleh kan saya tanya balik: 

"Apakah industri 4.0 punya kesiapan untuk menghadapi global warming dan isu hilangnya kesejahteraan dunia ketiga?

Ujung-ujungnya yang membuat relevan antar 2 isu besar ini ya perlu campur tangan pemerintah. Entah berapa persen, yang jelas power paling menentukan lagi-lagi di tangan pemerintah. Apa daya masyarakat intelek secanggih apapun mewujudkan sinergi antara 2 hal tersebut tanpa penerbitan undang-undang dan perangkatnya? 

Dan untuk kalian para mahasiswa yang ada di foto ini, saya tidak berniat tersanjung dengan cara kalian berdemo. Tapi apa hak saya juga melarang kalian bersuara? Ya mungkin bila saya jadi kaka alumni mahasiswa, saya pun akan marah dan minta kalian tanggalkan jas almamater. Lalu, saya juga akan tanggalkan jas almamater saya lalu mengajak kalian tetap bersuara, bukan sebagai mahasiswa.  Melainkan sebagai manusia biasa yang perlu melindungi sesamanya. Lalu kita turun ke jalan bareng bikin demo soal kepedulian ruang usaha yang masih butuh sentuhan tangan tangan manual. Sambil kita bikin poster lebih kreatif semisal :"apakah kita rela bumbu pecel lele kita diaduk dan diracik robot yang ga paham rasa lidah?"  atau  yang lebih terus terang:" Apa anda siap nasi jagung dan singkong diganti semen dan apartmen?" 

Eits saya belum pikun2 amat loh soal isu petani Kendeng 2 tahun silam 🤑🤑🤑.   Saya pun masih terkenang meliput isu-isu demonstrasi di negara maju yang kadang diisi kalimat2 lebih sadis dari retorika diatas.

Lalu kalau saya boleh mengutarakan lebih jauh, kalimat-kalimat dalam poster ini masih -jauh- lebih baik daripada "kami minta uang, upah kami dimana?". 

Maka, menurut saya keterlaluan kalau ada orang yang bisa berkomentar "mahasiswa macam gini gausah diterima kerja lah dimanapun, cengeng!", sementara di saat sisi lainnya kita bisa mengelu-elukan penyanyi yang menggemakan lirik "....berilah hambamu uang, beri hamba uang" bahkan kita ikut bernyanyi. Apa perlu para mahasiswa ini bawa perlengkapan ngamen sehingga sikap apatis bahkan agitatif destruktif tentang apa yang mereka suarakan ini terhenti?.

Kalau memang demikian, mungkin format demo berikutnya kita undang artis berbakat saja. Siapa tahu lebih banyak apresiasi ya dek, sekalian nyanyi menggema satu stadion. 

Dari saya, yang masih harus banyak belajar.
Hasil Potong Layar Saat Live

5 komentar: