Jumat, 27 September 2019

Memaknai Ulang "Cinta Tanah Air"

Ketika anak saya yang berumur 7 bulan saat itu mendengar lagu Indonesia Raya, Indonesia tanah air beta, hingga rayuan Pulau Kelapa, wajahnya tertegun menyimak. Matanya menatap dalam tayangan lagu yang ada di televisi, sampai ia turut sesekali bertepuk tangan. Di titik itu, saya merasa bahwa mengajarkan anak cinta tanah air adalah suatu hal esensial.

Supaya timbul sense of belongingnya terhadap kebangsaan. Supaya semangat bela negara meresap ke sanubarinya.

Tetapi, sebagai orang tua, saya pun sadar bahwa menentukan batas dan rambu-rambu dalam mencintai tanah air pun tak kalah pentingnya. Sejak beberapa tahun silam, saya menyadari bahwa nasionalisme itu hampir mirip  sebilah tombak pusaka. Ketika dia dipakai pada situasi yang tepat, maka cinta itu akan berbuah harum dan membuat diri selalu mawas . Ketika disalahgunakan, maka nasionalisme adalah topeng yang menutupi niat eksploitasi, keangkuhan, dan penjajahan.

Jadi, dalam banyak sisi kita harus bisa mengelola prioritas antara cinta tanah air, dan cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya. Dalam sejarah, perang antara suku Minang dan suku Paderi adalah bukti bahwa nasionalisme dan tauhid pernah terbentur keras.

"Dasar kalian Paderi bawa-bawa budaya Arab, apa sudah lupa bahwa nenek moyang kita selalu menenggak tuak" demikian ejek kaum Minang lama pada kaum Paderi, lantaran mereka dilarang minum tuak yang memabukkan.

Tetapi ketika penjajahan datang, kaum Paderi berhasil meyakinkan kaum Minang bahwa tidak setiap budaya turun-temurun yang mereka proklamirkan sebagai kecintaan terhadap nenek moyang, adalah sesuatu yang menyehatkan akal budi. Ketika mereka punya musuh bersama, kompeni Belanda, kaum Paderi dan kaum Minang bersatu-padu, lalu mereka mengikat janji dan persekutuan di sebuah bukit:

Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Di titik itu, kedua kaum bersepakat bahwa bentuk kecintaan pada adat, harus berlandaskan pada tuntunan Kitab Allah.

Jadi, apa hubungannya dengan nasionalisme?

Sebagaimana kita memiliki rasa cinta pada kekasih, pada suatu saat harus diwadahi dengan kesakralan,logika dan kerja keras, supaya kehidupan setelah menikah tetap terjalin hubungan sehat. Demikian pula halnya dengan nasionalisme, ketika kita hanya mendefinisikannya dengan cinta buta dan sekedar membanggakan bangsa sendiri lalu merendahkan bangsa lain tanpa sebab yang masuk akal, di saat itu kita terperangkap dalam keegoisan yang bernama Chauvinisme.

Ada pula saatnya kita selayaknya menjadikan cinta tanah air sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa,  bukan justru malah menjadi pelampiasan untuk meninggalkan ajaran agama.

Dulu sempat ada kasus, dimana peserta lomba debat antar bangsa, salah seorang peserta asal negeri kita memakai baju yang terbuka di bagian dada. Dia seorang wanita. Kontan, cara berpakaian itu memanen hujatan.

Sebagian orang menyayangkan, lantaran prestasi yang dibawa oleh tim debat tersebut memang tidak main-main, tapi saya memilih di barisan yang kecewa dengan pakaian peserta wanita tersebut. Sudut pandang yang saya gunakan mengandaikan bahwa diri saya adalah orang tua anak tersebut yang sudah mengajarkan mematut diri selayaknya dengan etika kesantunan sesuai agama. Jadi saya tidak sedang mabok agama, malah justru khawatir dengan mereka yang tidak menghujat ataupun memperingatkan, malah diam lalu menikmati bagian tubuh yang terbuka lalu dijadikan perangsang untuk hal-hal tidak senonoh.

Jadi seperti apa nasionalisme yang sehat itu?

Bagi saya tidak bisa dibandingkan kondisi ketaqwaan yang utuh kepada Allah. Nasionalisme lebih terkait dengan tingkat kesadaran kita menyadari asal usul, menjaga sumber daya alamnya, hingga menerapkan prinsip hukum etika manusia yang sehat jiwa raganya, lalu siap berprestasi mewakili bangsanya. Ketimbang menjatuhkan cinta pada sosok pemimpin tertentu, birokrasi tertentu, ataupun ras suku tertentu.

"Cinta kepada tanah air itu sebaiknya dua arah. Kita mencintai dan tanah air itu membalas cinta kita."
(Henry Manampiring- Pegiat Sosial dan Motivator)

Tapi eh tapi, Bri. Kalau misalkan dia udah berkarya lalu tidak dihargai pemangku negaranya gimana? Katakanlah yang kemarin mempelopori swasemba padi malah dipenjara bukan diajak dialog, atau seperti dulu penemu alat anti kanker?

Nah, seperti yang saya bilang barusan, taruhlah kecintaan itu pada prinsip berperilaku sadar etika dan sumber daya alam. Ibarat begini, kamu cinta dan sayang pada suami atau istrimu, tapi  suami atau istrimu malah selingkuh dan kelakuan buruknya bikin kamu cemas bakal dicontoh, ya otomatis wajar kalau kamu pilih pisah rumah. Tapi kamu tetap mencintai dengan memberinya nafkah walau tidak serumah. Demikian pula halnya orang yang tinggal di luar negeri tapi tetap bantuin negaranya sekalipun dia sudah (maaf) gunting KTP negaranya. Bagi saya itu bentuk kecintaan buat negaranya. Saya bukan pro perceraian, tapi saya pro akal sehat dalam bercinta.

Apakah mungkin kita bisa hidup tanpa nasionalisme?

Dengan terus terang dan memahami risikonya, saya katakan itu mungkin saja. Tapi tetap pada suatu waktu, katakanlah saat remaja, lagi puber, kita berlomba-lomba mencari identitas. Kalaupun bukan negara kita yang jadi pilihan, barangkali negara lain. 

Bagi sebagian orang dewasa, saya cukup salut dengan mereka yang bisa tetap berperilaku baik tanpa mengkultuskan  atau menghujat bangsanya sendiri di saat mereka memilih untuk tidak memusuhi ataupun terlena dengan budaya bangsa luar. Karena kemanusiaan yang baik adakalanya terlepas dari identitas kebangsaan tertentu.

Di lain sisi, profesi jurnalis ideal adakalanya menempatkan diri untuk tidak memihak bangsa manapun, saat membuat liputan yang adil dan seimbang.

Sebagai contoh, saat ada kasus TKI dipancung atau dihukum di luar kalau jurnalisnya memihak bangsa kita, tentu dia akan memuat segala sisi negatif dari hukuman bangsa negara lain. Tapi kalau netral bin ideal, fakta pembanding dan asbabun nuzul dari suatu masalah pasti akan digali, semisal ternyata TKI tersebut (amit-amit jangan kejadian) bersekongkol bikin santet buat majikannya atau malah menyiksa anak majikan.

Intinya, demi keadilan kadang memang kita harus lepaskan atribut identitas, utamakan akal sehat dan nurani yang terbina iman taqwa.

Ada saatnya kita bina cinta pada negara, hadirkan dalam sikap dan etika.
Ada saatnya kita dahulukan akal sehat dan perilaku adil diatas identitas dan segala kecintaan tentangnya. Adil adalah sebaik-baik parameter kematangan sosial.

7 komentar:

  1. Hubbul wathon minal iman
    Merdeka!!!!

    BalasHapus
  2. Adil itu memang susah ya, Mas.
    Btw, media sebagai pusat informasi masyarakat memang harusnya bersikap tidak memihak. Sehingga masyarakat jadi tahu tentang fakta yg terjadi.

    BalasHapus
  3. Suatu ketika saya hampir saja berganti kewarganegaraan, sampai saya harus berjuang menyakinkan diri jika saya Indonesia, pernah di titik kegamangan.

    BalasHapus
  4. Antara negara atau pemerintah 😶

    BalasHapus