Vini, Vidi, Vici
Itulah gaung frasa Romawi yang menegaskan tentang keyakinan diri: saya lihat, saya datang, dan saya menang. Saya dengan mantap hati cap laa roiba fiih (tiada keraguan-raguan di dalamnya) mantap memilih non-fiksi dengan berdasarkan minat terhadap dokumenter yang telah mengakar kuat sejak masa belia. Jika meninjau ulang pada diri sekadarnya, seorang Brian telah terbiasa menatap data-data pendukung dan barisan angka yang menjadi anasir suatu kejadian, sebagai unsur yang menyusun sejarah.
Memasuki kelas non-fiksi yang juga terisi beberapa orang yang telah saya kenal selama sekian bulan bahkan setahun ke belakang, rasanya tak jauh berbeda dengan menekuni kelas sejarah, mata pelajaran favorit bertahun-tahun. Barangkali, menurut hemat saya, memang pada dasarnya seni kepenulisan ini utamanya adalah menjadi alat bantu untuk mengamankan sejarah. Bila boleh terus terang, saya punya harapan besar bahwa barisan non-fiksi akan dikenang selalu sebagai madrasah atau kawah candra-dimuka bagaimana meniti karir untuk melanjutkan beberapa minat bahasan yang sudah tak terkejar selama menekuni profesi utama saya.
Tatkala bertemu kembali mbak Alif, yang pernah mengajar feature di masa penjajakan 3 bulan, rasanya memang memproyeksikan bahwa saya akan banyak fokus di feature dan esai adalah perkiraan yang cukup akurat. Ditambah lagi, niche blog-nya mbak Alif sering menjadi bahan bacaan saya dikala senggang, terutama tatkala saat butuh wangsit dalam perihal pengelolaan kesehatan ibu dan balita. Jikalau boleh terus terang, meninjau blog-nya mbak Kiky membuat saya nostalgia akan suasana zaman masih SD. Saat dimana saya berguru ngaji seorang mahasiswi yang fasih akan seluk-beluk perbidanan, ginekolog, hingga perawatan pasca persalinan.
Empat minggu dua puluh empat kali posting rasanya tak begitu intensif dibanding "stimulus-stimulus" masa penjajakan tiga bulan. Kendati demikian, dengan padatnya waktu sebanyak 4 minggu, saya jadikan pula masa-masa ini sebagai etalase untuk 'menguji' respon pembaca terhadap karya yang diniatkan untuk terbit pada (insha Allah ) kuartal 1 2020. Bagaimana teman-teman? Apa kalian menikmati cara saya mengupas dan mengulas film? Saya hanya berharap, bahwa sisa-sisa kursus perfilman yang pernah diikuti lima tahun silam tak lekas menguap lantaran tidak pernah 'mereproduksi' gagasan.
Sedikit bocoran, sebenarnya beberapa kali di blog ini saya 'titipkan' beberapa cuplikan 'calon buku' yang lainnya. Supaya jadi kejutan: bisa jadi yang jarang saya bagikan justru malah terbit duluan, :D. Pastinya semakin hari saya menjalani rutinitas yang ada dalam kelas ini selama empat minggu, makin mantap desakan hati menjadi dokumenter atau jurnalis warga. Meski demikian, adakalanya untuk membahas hal-hal sensitif, kemampuan sastrawi untuk menyamarkan 'isu' sangat diperlukan.
Selama menjelajah di blog ini, saya mulai merasa lebih kenal dengan teman-teman yang mungkin tidak satu kelompok selama masa penjajakan tiga bulan. Mulai dari Jihan, yang mungkin mulai banyak mengurai tema-tema psikologi sebagai fondasi kemanusiaan, ada mbak Maria yang fasih mengulah seluk beluk sumber daya manusia, mbak Yoha yang khusyu bahas kesehatan, Lulu alias teman senja yang punya segudang tekad untuk menjadikan blog-nya sebagai penyembuhan, reportasenya mas Eko yang ciamik, hingga Syaifuddin, sosok pria tervokal se-ODOP dengan blog-blog kajian yang bernutrisi diksi filsafat. Selain mereka, saya pun mulai melihat bahwa tulisan-tulisan mbak Betty, mbak Cesskha, mbak Fitri Ane, hingga Ummu Renita seakan-akan menjadi murid 'ideologis' dari mbak Kiky :D. Sedikit bocoran: saya berlangganan diam-diam blog beberapa orang di kelas ini. Bukan tidak mungkin, salah satu buku yang saya niatkan terbit akan mengambil referensi dari mas-mas dan mbak-mbak yang ada di sini.
Baru pagi ini, rasanya tema AdSense kembali menjadi gema utama dalam dunia per-blog-an, beserta manfaat dan kontroversi di dalamnya. Bila saya ungkapkan lebih realistis, memang ada saatnya seorang penulis di era digital harus peka akan titik-titik mendulang rupiah. Sungguh, sebagian porsi kebahagiaan kita memang beririsan dengan pengeluaran dan pembelanjaan hal-hal penting dan yang diimpikan. Maka, berkenalan dengan periklanan, kendati pasti ada porsi pertentangan dan konflik kepentingan, rasanya adalah suatu pilihan yang sulit dihindari di era serba cepat. Seharusnya, memang kita harus jeli melihat periklanan dan traffic digital menjadi anasir untuk memanfaatkan peluang bisnis. Hanya saja, hari ini saya masih dilingkupi beragam kesibukan lain, sehingga belum sempat blog ini dijadikan lahan transaksi yang subur, berkualitas, dan aman.
Akan kemanakah kita setelah usai semua ini? Saya sendiri merasa bahwa tantangan empat yang telah diulas beberapa hari lalu merupakan satu bekal essensial tersendiri, ditambah dengan pengenalan kita akan niche blog, lahan-lahan berkompetisi, hingga bagaimana mengulas kembali produk. Sebagian arah dan tujuan kita dalam menyajikan tulisan, bisa jadi tersarikan dalam dua jalan: kolaborasi dan kompetisi. Dengan tulisan, kita makmurkan persepsi akan promosi nilai-nilai dari sebuah produk dan jasa. Dengan tulisan pula, kita jadikan bekal untuk menajamkan gagasan dalam dunia yang berputar cepat yang dikelilingi oleh arus deras informasi. Salam Literasi.
#KesandanPesan
#KolaborasiKompetisi
#Nonfiksikonklusi
#nonfiksidengankiky
#nonfiksi
#OneDayOnePost
#Epilog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar