Sabtu, 14 Desember 2019

Belalang Tempurku-Part 2- Jam 10 Malam Kita Mulai, Saya Tak Lagi Takut Kegelapan

Kegiatan rekreasi apa yang biasanya  kita pilih meniatkan begadang? Rasanya kegiatan yang rutin dilakoni adalah seputar nonton sinema favorit, menonton sepakbola, bercanda ngalor ngidul dengan teman-teman yang sudah lama tidak berjumpa,  ataupun sekedar minum kopi sambil menyendiri. Rekreasi itu bisa bermacam-macam, tak perlu beramai-ramai, bahkan menyepi mengupas sudut pikiran yang baru pun adalah sebuah rekreasi. 

Saat masa berkuliah magister,  pernah kuberanikan diri membawa sepeda mengarungi lintasan jalan gedung parlemen, china town, hingga gereja kathedral. Semua agenda tersebut kuniatkan selesai hari selasa malam pukul 10 di akhir Juli 2015. Tinggal menghitung hari dimana visa pelajar saya akan habis, rasanya sia-sia bila tak mengambil waktu lebih untuk berkeliling CBD Melbourne. 

Jam 10 malam memang bukanlah waktu udara menjadi hangat dan jalanan lepas dari masa gulita. Kendari demikian, meski awalnya bulu romaku hendak berdiri memberi hormat pada malam dan udara dinginnya, kesempatan seumur hidup rasanya terlalu sayang dilewatkan. Kupacu saja belalang hitamku dari kampus menuju ke parlemen.  Bangku sepeda hitam legam itu kualihfungsikan sebagai dudukan tustel. Perjalanan panjang malam itu memang seharusnya ditorehkan menjadi sebuah jejak, minimal sebuah gambar. 


 Suasana seisi kota Melbourne menjelang tengah malam pun membuat saya tercengang. Saking terpukaunya, tubuh saya sudah lupa caranya merinding dan mengeluarkan keringat dingin. Cahaya rembulan pun membaur bersama lampu-lampu yang mengisi sekujur kota. Seakan-akan, jalan yang harus ditempuh dalam safari malam ini telah diberi petunjuk oleh pantulan bias-bias cahaya tersebut. 

Saking megah dan berharganya penampakan sebuah kota,  rasanya dingin pun tak lagi memeluk tubuh saya yang berlapis 4 pakaian tipis. Gedung parlemen yang begitu kokoh, penampakan china town yang menampilkan kolase sejarah, kathedral yang terkunci, hingga beberapa  monumen sekitar gedung tua dimana terukir catatan-catatan sejarah pemerintahan Melbourne. Semuanya adalah momentum berharga yang seakan berbicara mewakili ruh-ruh tiada suara yang terus menghidupi ibukota Victoria. 

Ternyata, dalam perjalanan malam itu saya tidak sendirian. Tatkala saya beralih ke taman air mancur, kujumpai beberapa bapak-bapak tua juga khusyu menikmati suasananya. Saking uniknya taman air mancur tersebut, sepertinya tak perlu lama menunggu kembang api tahun baru untuk menjadi saksi mata akan warna-warni di sudut barat CBD melbourne.

Tidak lupa saya sempatkan mengibaratkan diri sebagai filsuf China saat berpapasan dengan taman Tianjin yang dikelilingi patung pesohor negeri Tiongkok. Hanya terusik oleh sedikit keramaian lalu lintas dan beberapa anak muda,  masih lebih dari cukup mengusir sepi di titik vital monumen. Momentum yang kemudian cukup membuat jantung lebih kencang berdenyut adalah menyusuri lorong jalan sekitar komplek katedral, yang minim penerangan. 

Sesekali  rasa waswas dan takut kembali menyeruak saat mencoba mengambil gambar di sekitar pagar gedung: barangkali ada yang tiba-tiba mencolek. Nyatanya ada juga penampakan penduduk setempat, dan mukanya masih segar tak terlihat pucat. Dengan mengolah rasa seolah saya vokalis symphonic metal, ku berdiri tegak depan katedral, berharap foto itu akan jadi saksi abadi bahwa saya adalah pengembara. 

Lelah pun mulai mendera ketika waktu menunjukkan jam setengah 2 pagi. Bergegas kulawan rasa kantuk sementara untuk kembali ke ruang tunggu stasiun Southern Cross.  Segera ku tertidur di salah satu sofanya, hingga mentari pagi menyapa. 

Demikianlah kilas balik salah satu begadang bermakna, menurut versiku. Semoga begadang berikutnya punya arti lebih. Agar tidak ditertawakan bang Rhoma Irama :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar