Rabu, 27 November 2019

Refleksi Million Dollar Baby: Kekerasan dengan Tujuan Bisa Ditoleransi, Selama Ada Kesetiaan dan Empati


Seringkali, dalam pemikiran orang yang awam, mengira bahwa antara cinta dan kekerasan adalah dua kutub yang bertolak belakang. “Cinta sejati takkan membuat orang menyakiti pasangannya”, “orang tua yang baik tidak selayaknya mendidik anaknya dengan cara kasar.”, dan sebagian jargon anti kekerasan dilontarkan, seolah kekerasan adalah unsur penghancur dari kasih sayang.

Di sisi lain, kekerasan seringkali menjadi pola dari sebuah kedisplinan dan unsur yang penting dalam menegakkan keadilan dan mencapai tujuan. Di kebanyakan institusi pendidikan dan pemerintahan, agitasi bukanlah barang langka, terutama pada momen-momen orientasi. Meskipun sisi negatifnya dari budaya agitasi menjalar hingga membuka celah budaya perpeloncoan, tak pelak turut menjadi unsur yang membangun dedikasi dan komitmen.

Di dalam lingkungan kehidupan yang banyak tekanan dan sasaran,  kekerasan merupakan hal yang cukup sulit dihindari. Lebih-lebih di dalam konteks pekerjaan yang membutuhkan ketepatan dan kegesitan dalam keterampilan menyelesaikan tugas. Kendati membuat orang terpacu untuk belajar cepat, kekerasan -yang acapkali- terlontar lewat lisan kadang punya dampak positif untuk mengarahkan ke tujuan yang lebih prioritas

Kekerasan dalam olahraga bukanlah hal yang asing. Acapkali, disiplin dalam pemenuhan target untuk atlit menjadi unsur integral, karena di dalam ajang olahrga terdapat pertaruhan institusi dan gengsi suatu bangsa.  Di sepakbola, kita mengenal agitasi-agitasi Ferguson membina klub Manchester United. Dalam dunia gulat, kekerasan ini sudah menjadi unsur penting yang ‘kerapkali dirindukan’, sampai-sampai ‘direkayasa’ untuk menarik minat penonton.

Maka, jangan tanya bagaimana besar porsi kekerasan untuk dunia tinju. Sebagian besar masyarakat kita yang mengenal bagaimana melewatkan hari minggu dan akhir pekannya dengan menyimak ajang olahraga pertarungan, cukup hafal dengan bumbu-bumbu drama kekerasan yang mewarnai lapangan tinju. Kadang, olahraga baku hantam tangan dan adu kuda-kuda ini berbuah maut.

Jika diumpamakan, kekerasan itu layaknya sebuah pisau. Di sebagian sisinya, kekerasan adalah hal yang membuat manusia tewas, sementara di sisi lain kekerasan dengan kadar terkendali adalah bekal penting bagi manusia untuk mempertahankan dirinya. Sejarah purbakala membuktikan bahwa kerasnya kehidupan menempa manusia yang nomaden bertahan dalam iklim yang berubah-rubah. Begitupun dengan tinju sebagai beladiri, kekerasan dengan kadar terkendali perlu diajarkan agar sang atlit waspada dan peka dengan manuver musuh.

Sudah begitu banyak tayangan layar perak yang mengusung tinju serta drama di dalamnya, diantaranya ada Rocky yang dibintangi Silverster Stallon, atau mungkin film biografi mendiang Mohammad Ali. Di antara sekian banyak tayangan mengenai tinju, ada satu film yang tak sengaja saya tonton di tengah malam. Ternyata film berjudul Million Dollars Baby ini menyorot romatika hidup dan matinya seorang petinju wanita bernama Maggie dan pelatihnya yang sudah uzur kasar, Frankie Dunn dengan narasi multi-bahasa yang cukup mendalam.

Maggie, yang diperankan oleh Hillary Swank, merasa bosan dengan kehidupannya sebagai pelayan restoran, serta merasa ada yang salah dengan hidupnya. Berangkat dari mimpinya sebagai atlit tarung, Maggie mengajukan dirinya untuk belajar tinju kepada Frankie,-diperankan aktor unggulan Clint Eastwood- di dalam sebuah sasana tinju bernama Hit Pit. Sebagai konsekuensi dari minatnya, kerasnya metode pelatihan Frankie yang acapkali dibumbui agitasi menjadi makanan rutin Maggie sehari-harinya.

Kamu yakin tetap lanjut bertinju? Kamu sudah jadi perawan tua sekarang!” (fFrankie Dunn, awal film)

Usia atlet binaan yang melewati masa matang, kerap menjadi celah bagi Frankie mengagitasi Maggie, hingga menyuruhnya berhenti. Tetapi Maggie memang keras kepala, tetap pada tekadya sebagai petinju. Untunglah, seisi staff dan pegawai sasana tinju Hit Pit tak sama galaknya dengan sang pelatih utama. Adalah Eddie Durpris (diperankan Morgan Freeman), seorang pegawai tua sasana tinju tersebut kerap membesarkan hati Maggie dalam menerima segala metode dari Frankie.

Frankie pun tak memiliki pilihan atlet lain, saat salah seorang sponsor utamanya, Big Willie mengikat kontrak dengan Mickey Mack untuk mengikuti kejuaraan. Lantaran diancam dengan terhentinya pembiayaan sasana jika masih absen pertandingan, mau tak mau Frankie melatih Maggie dengan prasyarat, bahwa Maggie hanya berlatih dasar tinju hingga memperoleh manajer atlit yang baru. Frankie sendiri sebenarnya adalah seorang penduduk senior yang cenderung penyendiri dan tak terlalu suka berbagi, Karenanya, hanya seorang pastur di dekat rumahnya yang sering dijadikan teman curhat.

Menjelang pertandingan perdana Maggie di kelas amatir, Frankie tak muncul di dalam sasana dan mendelegasikan ‘perannya’ kepada seorang manajer yang tak dikenalnya. Maggie bisa jadi berang dan apatis dengan perintah sang manajer, jikalau Eddie tak membesarkan hatinya dan mendinginkan situasi. Maggie pun terjun ke lapangan bertarung dengan susah payah hingga Frankie kembali muncul di babak pertengahan. Frankie kemudian takjud dengan kemampuan Maggie menyerap segala arahannya dengan cepat, hingga pertandingan kelas amatir itu dimenangkan hanya dengan satu ronde.

Reputasi Frankie kian membaik dengan kemenangan pertama Maggie, sampai-sampai banyak manajer atlit lain yang mulai menantang adu tinju dengan atlit wanita yang sudah berusia kepala tiga itu. Frankie, dengan tergesa-gesa memutuskan untuk mengirim Maggie untuk terjun ke pertandingan kelas bantam. Maggie kembali menang, meskipun tulang hidungnya patah. Meresapi pengorbanan Maggie, Frankie merasakan bahwa atlit wanita binaannya itu seperti pengganti putri kandung. Lantas, Frankie mengizinkan Maggie untuk istirahat untuk sekian bulan sebelum lanjut bertanding. Sayang, Mickey Mack yang memegang kontrak dengan Frankie, mendesak agar sang atlit wanit itu diterjunkan lagi di pertandingan lain tanpa jeda.

Melihat gelagat kontraktor yang mendesak, Eddie yang ingin Maggie bisa memulihkan lukannya terlebih dahulu mencoba menyusun rencana pertemuan makan malam antara Frankie, Maggie, dan Mickey Mack. Rupanya. Maggie menolak, lantaran ia dan Frankie sudah siap untuk mengikuti pertandingan kelas berat di Inggris, dengan lawan yang tidak main-main, seorang petinju wanita juara kelas wahid. Maggie kembali mencetak kemenangan, hingga uang hadiahnya mampu membeli rumah untuk ibunya. Sayang, ibu Maggie justru menghina dan mengejek putrinya, lantaran pengunduran diri sang putri dari profesi pelayan membuahkan keputusan pemerintah mencabut subsidi bagi dirinya.

Berangkat dari kekecewaan, Maggie kembali mengikuti arahan Frank untuk terjun kembali ke arena tinju. Tak disangka, maut menanti dirinya di arena perebutan juara di Nevada, Las Vegas. Lawan yang dihadapinya, Bille Osterman, sang beruang biru, mempunyai banyak catatan hitam tentang pelanggaran di atas ring. Maggie mendominasi pertarungan rumit, namun tak dapat mengelak dari takdir pahitnya. Billie menerjang lehernya tepat setelah bel ronde kedua berbunyi, dimana semestinya atlit berhenti bertinju. Nahas, Maggie yang perkasa harus terbaring dengan ventilator menyangga lehernya dari luka tinju yang mengoyak syaraf di lehernya.

Frankie yang mulai memiliki rasa lebih dari ayah kepada anak terhadap Maggie, mulai dihinggapi rasa bersalah. Eddie dan semua dokter yang beropini negatif tentang kesehatan Maggie kerap dijadikan pelampiasan kekesalannya. Tetapi, Frankie pun sadar akan akibat buruk dari kekalutannya, hingga kembali berdoa di sebuah gereja. Utamanya adalah meminta kesembuhan Maggie dari keterpurukannya di atas ranjang.

Ibu dan keluarga Maggie menjenguk putrinya di rumah sakit. Awalnya, Maggie mengira bahwa keluarganya prihatin dengan tragedi yang menimpanya. Namun, setelah sang ibu kedapatan membawa pengacara yang membujuk Maggie untuk memindahkan asset hasil uang hadiah ke rekening keluarga besarnya, mantan atlit tinju itu berang bukan kepalang. Diusirlah sang ibu karena niat materialistisnya,  bahkan sampai mengancam akan melapor badan penyelidik keuangan untuk memeriksa kekayaan keluarganya.



Clint Eastwood, Hillary Frank, dan Morgan Freeman, beradu akting dalam Million Dollar Baby di tahun 2002
Kesehatan Maggie kian memburuk, hingga kakinya infeksi setelah syarafnya tidak bekerja dengan baik. Setelah dokter menyarakan amputasi, Maggie memanggil Frankie untuk mendekap di sisinya.

“Tolong bantu aku mati. Aku sudah mendapatkan semua yang kuinginkan dalam hidup ini”

Maggie kemudian berniat bunuh diri, dengan berkali-kali menggigit lidahnya. Aksi itu kemudian digagalkan para petugas medis dan diberikan suntikan penenang. Frankie sendiri kembali ‘mengadu’ ke gereja, dan teman pasturnya memberi wejengan bahwa sang pelatih tua itu baru saja terhindar dari menambah dosa.

Jikalau kamu menolong dia untuk bunuh diri, kamu akan selamanya kehilangan dirimu sendiri, Frankie” (Pastur Horvak, bagian klimaks film)





Tapi, karena merasa tak tega dengan kondisi Maggie yang kini sudah tak memiliki kaki, Frankie memilih sebuah keputusan yang kejam, disaat rasa bersalah dalam dirinya tak terbendung. Frankie menyiapkan sebuah suntikan adrenalin yang bisa membuat syaraf kejang maksimal. Di atas ranjangnya, Maggie pun sudah pasrah saat Frankie mengacungkan suntikan maut tersebut. Sebelumnya tersirat sebuah tanya dalam Maggie yang sudah kepayahan

“Apa artinya Ou Moshle?”

“Itu adalah bahasa Irlandia, artinya kasihku, sayangku, cintaku”

Alih-alih menolak suntikan maut tersebut, justru Maggie turut ‘mempercepat’ kematiannya sendiri. Dipeluk dan diberikanlah pelatih tua itu ciuman terakhir. Seusai Maggie meninggal, Frankie menghilang dan tak pernah muncul kembali ke sasana tinju. Eddie kini hanya sendirian mengelola sasana seperti anak ayam kehilangan induknya. Dalam benak Eddie, beberapa ingatan tentang Maggie kembali terkenang, salah satunya tentang pesta mereka bersama di sebuah kedai seusai menang pertandingan tinju. Di pertemuan itu, Maggie berceloteh: “Aku sudah siap bila saatnya dipanggil ke akhirat.”

Sepintas, apa yang menjadi garis besar dari tayangan kisah kelam dunia olahraga, adalah tentang huru-hara eksistensi seorang pelatih dan atlet. Seorang wanita yang mempertanyakan cita-cita dalam hidupnya dan pelatih yang dirundung sepi. Ketika keduanya bertemu, tak lantas saling cocok, dimana Frankie melihat Maggie yang sudah berumur belum tentu sanggup menanggung segala beban menjadi atlet. Sementara, Maggie dirundung kekecewaan melihat keluarga hanya menilai pencapaiannya dari segi materi, hingga merasa bahwa menjadi petarung adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan eksistensinya.

Jikalau melihat perubahan pola dan tingkah Maggie di film, mungkin penonton pun akan heran. Maggies seakan tak berhenti lalu mengambil jeda, setelah mereguk kemenangan pertama. Pun hingga sang pelatih terseret kontraktor untuk kembali melaksanakan kejuaraan, Maggie tak serta merta menolak. Kemungkinan besar, hasrat Maggie menemukan eksistensi dalam pertarungan telah mengalahkan kelelahannya. Di sini bila saya simpulkan, passion Maggie sedang ‘bekerja dengan baik’. Maka, passion bukanlah tentang segala hal yang membuat nyaman, melainkan tentang sesuatu yang disenangi meskipun mengorbankan banyak hal.

Frankie kerap menjadi keras, lantaran demi bertahan hidup ia dikelilingi oleh orang-orang yang lebih banyak berhubungan secara transaksional, ketimbang tulus sebagai sahabat dan keluarga. Frankie kemudian meresapi pengorbanan Maggie yang setia mengikuti arahannya, meskipun babak belur. Lambat-laun, dari pengorbanan dan kesetiaan Maggie, Frankie memberikan sinyal kasih sayang berupa ungkapan ‘Ou Moshle’ karena kedekatan yang dibangun dengan atlitnya tersebut. Kehadiran Maggie beserta watak keras kepala tapi haus pertarungan membuat Frankie kembali menemukan arti sebagai pelatih.

Kehadiran Eddie, meskipun tak banyak dari film ini, seolah menjadi kutub penyeimbang dari kedua tokoh utama yang sama-sama berwatak keras. Jikalau dianalogikan antara Frankie dan Maggie adalah dua banteng, Eddie menjadi jembatan penghubungnya. Kalaulah bukan karena bujukan dan inspirasi dari Eddie, mungkin Maggie akan menyerah di awal latihan, saat Frankie enggan menjajaki bakatnya. Secara logisnya, memang sekeras apapun lingkungan perlu diimbangi dengan tokoh yang lembut dan penyayang.

Frankie dan Maggie kemudian menjalin ikatan yang cukup intim secara kejiwaan. Maggie merasakan Frankie yang kerap menyemangatinya sebagai pompa untuk kebutuhan eksistensial dalam berjuang di atas ring tinju. Maggie pun menganggap Frankie lebih dari seorang ayah, terutama setelah menelan pil pahit dari sikap keluarganya. Maka, di dalam titik terendahnya, sekalipun kita yang awam cenderung menyayangkan keputusan Maggie untuk mati, rasanya sulit untuk mengelak bahwa Maggie hanya mempercayakan nyawanya pada Frankie. Bisa jadi, ini bentuk yang cukup pahit dari sebuah romantisme dua sejoli di titik terendah.

Apa yang dialami Maggie serta keputusan Frankie yang dirasa kejam, sebetulnya merupakan pilihan realistis. Beberapa tahun silam, mungkin lebih dari lima tahun, pernah kita dengar seorang suami yang mengajukan permohonan euthanasia, karena tak tahan dengan penderitaan istrinya yang sudah sekarat koma bertahun-tahun. Di benak orang yang sadar dan melihat penderitaan, memilih maut sebagai solusi bukan pilihan yang benar-benar indah secara kasat mata. Akan tetapi, bila mempertimbangkan keterbatasan sebagai manusia, yang mau tak mau perlu banyak usaha untuk kesehatan dan sokongan finansial, perlu ada motivasi dan solusi yang lebih meyakinkan agar mujizat terjadi.

Dalam film ini, sisi yang menarik adalah Frankie yang tetap memelihara kebutuhan rohaninya, dalam menghadapi banyak hal yang membuatnya getir. Maka, kehadiran pastur Horvak seolah menyiratkan pentingnya konsultan rohani. Jikalau boleh menerjemahkan dalam konteks agama saya, keberadaan seorang ustadz dan ahli rohani punya peranan lebih dalam menentramkan hati untuk mencari solusi yang tak terbayangkan saat dirundung rasa bersalah luar biasa. Kemungkinan besar, Frankie pun mengambil langkah bertentangan dengan sang pastur karena tak merasakan lagi ‘tujuan dalam dirinya’, sebelum diberikan wejangan. Atau lebih tepatnya, Frankie merasakan bahwa kebahagiaan dari Maggie adalah ketika penderitaan berakhir.

Terkait dengan momen kekerasan dalam olahraga, sayapun pernah mengalaminya. Ketika masih SMP, tatkala mengikuti pelatihan beladiri karate, pernah sang pelatih memarahi saya. Apa pasalnya? Saya berpura-pura pingsan saat kelelahan pemanasan. Tentu saja sang pelatih mengancam akan menjitak jikalau mengulangi.

Akan tetapi, memang keselamatan dalam olahraga keras pun perlu disiplin yang tidak main-main. Sang pelatih memang hanya berharap para atlitnya bisa mengikuti disiplin agar selamat dan tidak cedera. Tetapi, lambat laun pelatih jadi kenal dekat dengan saya, meskipun pada akhirnya tak lama pelajaran beladiri itu diikuti. Beberapa disiplin keras itu membuat saya punya bekal dalam menghadapi agitas-agitasi di tahap selanjutnya.

Beberapa tahun kemudian, saat kuliah tingkat dua, saya menyaksikan beberapa paradoks dari film ini yang menjadi nyata. Ada satu-dua adik tingkat yang justru menangis karena tidak ada momen agitasi dalam ospek. Mungkinkah justru dalam benak sebagian orang, kekerasan yang menjadi unsur disiplin itu jadi hal yang dirindukan? Saya kembalikan pada diri masing-masing.

#SEKIAN

5 komentar:

  1. Sudut pandang beda tentang menjemput kematian dg euthanasia, dan kekerasan yang dirindukan. Kegundahan atas pencarian?

    BalasHapus
  2. Bisa jadi begitu. Maka film bagus ini pun babyak yang mengkritik, tapi Clint Eastwood selaku sutradaa dan pemainya sendiri phn menukas bahwa film ini dibuat apa adanya

    BalasHapus
  3. Oh, ini film ya.... baru tahu saya. Jadi penasaran filmnya

    BalasHapus
  4. wah ini filmnya rame bu nces. Tonton deh. Memang endingnya pahit beut. Tapi setiap tokoh begitu detil digambarkan peralihan jiwanya....

    BalasHapus
  5. Wah, keren ini filmnya

    BalasHapus