Dulu, sekitar tahun 2011, saya pernah sesumbar meluapkan rasa di status media sosial: Orang tidak akan sengsara jikalau tidak memiliki akun media sosial. Hidup baru terasa sengsara jika tidak punya agama dan hati nurani.
Apa yang saya rasakan saat itu? Jika meninjau pada kondisi fisiologis yang mempengaruhi psikis, hormon dopamine dalam tubuh serasa mengalami gejolak. Tak tahan sehari tanpa mengobrol dengan teman baru, rasanya hilang arah bila tidak melihat pengumuman di media sosial, dan acapkali jari gatal untuk membagikan banyak berita di beranda. Tentu saja, saya pernah keselek beberapa kali dengan berita hoax dan tendensius. Pernah pula juga bertemu dengan teman sekampus yang yang mbelgedhes pas diberi tahu bahwa berita yang dibagikan adalah hoax.
Hoax, racun yang berawal dari komunikasi serampangan tanpa sumber kredibel ataupun sumber kredibel yang manipulatif |
Awal tahun 2017, ada beberapa gejolak dalam diri mulai mempertanyakan soal 'keramaian' yang selalu dicari dalam media sosial:
Memangnya kamu mau tambah teman sampai berapa banyak?
Yakin semuanya akan rajin bersilaturahmi diluar segala motivasi dan kepentingan yang terbesit?
Yakin semuanya tidak akan mencederai keintiman dan privasi dengan istri dan keluargamu?
Apa kamu selalu kuat untuk berteman dengan orang yang memaksakan sesuatu yang berbeda, sekalipun kamu selalu dimentahkan mereka?
Seyakin apa kamu melihat mereka berpengaruh dalam pengembangan pribadi, pemikiran, dan cita-citamu?
Hasil dari perenungan ini cukup mencengangkan. Saya yang dulu sempat ketagihan pamer foto dan prestasi (puncaknya tahun 2015), malah cukup girang ketika akun media sosial diubah menjadi 'private'. Orang tidak bisa melihat foto, kegiatan, hingga semua berita yang coba diamankan. Entah kenapa saya merasakan kemewahan hidup seorang ninja, setelah menuruti anjuran dari seorang pembina bahasa Inggris yang kerap mengajar di Cicaheum.
"Saya sebenarnya sering tebar berita-berita dan data sensitif, sambil tetap memverifikasi. Tapi saya usahakan akun media sosial berada dalam keadaan private. Setelah itu saya archive berita dan data ini satu-persatu."
(G, Sandy, guru bahasa Inggris pembina komunitas).
Saat itu, saya tetap mencandu media sosial, tetapi tidak selalu mengincar komentar dan jumlah jempol beserta reaksi. Membaca, menelaah, dan meresapi berbagai kejadian dan berita, tanpa takut apa yang di-share menuai masalah. Di posisi ini saya merasakan kebebasan yang lebih untuk membedah pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan sehat
Di titik itu, serasa ada ruang pemikiran yang lebih luas dalam kepala : media sosial tak cuma sekedar berbalas pesan, komentar, atau menuai reaksi. Sang pembuat sistem media sosial pun telah meletakkan fitur save, screenshot, hingga pengarsipan. Dengan meninjau dan menggunakannya secara optimal, media sosial acapkali saya ubah menjadi 'perpustakaan'.
Fitur pengarsipan di Instagram |
Ketika tahun 2018 tiba, saya mendapatkan amanah dan kesibukan baru, lantaran istri dinyatakan positif hamil. Di tahap hidup dimana saya harus bagi fokus, mulailah tercetus cuti media sosial sebagai resolusi untuk tahun 2018. Saya mulai dengan uninstall akun Path di sekitar Februari 2019, lalu menyibukkan kembali menelaah novel-novel yang pernah dulu membuat penasaran. Hasilnya manjur, beberapa novel karangan Mira. W membuat saya nyaris pikun pernah membuat dan memiliki akun Path.
Kebiasaan cuti ini berlanjut ke April 2018. Saat itu saya meredam kebiasaan bercuit dan bergetok tular di akun facebook, berkat kegiatan intensif mendengarkan siaran bisnis. Selain itu, keberadaan grup Whatsapp dengan 'segmen masing-masing' membuat cuti facebook ini kondusif. Dengan jumlah waktu yang dimiliki, saya pun kerap berbisnis tahu baso dan teh jelly untuk menambah pundi-pundi uang.
Juli 2019, saya cuti instagram. Apakah saya merasa kehilangan? Tidak. Saya sibuk melahap buku-buku Prie GS, sembari berolahraga di tempat fitness kantor yang baru dibangun. Tak pelak, dua novel Aqessa Aneeda berhasil ditamatkan dalam kurun waktu sebulan. Selain itu, hari-hari saya dipenuhi oleh persiapan menyambut bayi lahir- meskipun kontribusi sebagai suami dirasa belum maksimal.
Kesimpulannya, berubah dari orang yang sering mengalami fear of missing out hingga merasakan nikmatnya missing out, cukup membutuhkan banyak kegiatan alternatif. Entah mempelajari cara mengakses informasi yang baru, hingga perasaan aktualisasi diri yang muncul karena merasa bahwa minat yang ditekuni ternyata menghasilkan.
Tirto.id: Tahapan-tahapan bagaimana orang menyukai kesendirian. (Tirto, Feb 2019) |
Tirto.id, salah satu media pewarta dalam jaringan yang cukup terkenal, turut merangkum tentang tren dan kecenderungan bagaimana orang senang menyendiri dan kehilangan media sosialnya. Dilansir dari liputan Februari 2019, media pewarta ini mengambil contoh masyarakat Inggris yang mulai senang menyendiri lalu menghabiskan waktu dirumah, ketimbang bergelut sehari-hari dalam media sosial. Maka jangan heran, kalau beberapa masyarakat di belahan Eropa mulai senang 'mengucapkan' selamat tinggal pada akun media sosial. Berangkat dari hal ini, saya pun mulai menyusun suatu falsafah dalam bersosial media:
Memutus pertemanan dengan beberapa akun tidak akan serta merta melenyapkan kemanusiaan darimu. Adapun berhenti mengikuti seseorang (unfollow) tidak serta merta menghanguskan rasa penasaran kita. Yang menjadi teman dan pengikut kita dalam dunia maya belum tentu adalah orang yang selalu tulus dan berniat baik. Toh di hutan rimba saja, sapi dan kambing pun selalu dikuntit harimau dan anjing hutan.
'Perburuan' selalu dimulai dari penguntitan. |
Dengan demikian, untuk memutuskan apakah perlu atau tidaknya menghanguskan akun yang kita miliki, silakan mulai bertanya hal-hal berikut pada diri sendiri:
a. Adakah sistem komunikasi yang lebih mudah untuk menghubungi orang-orang terdekat dan penting bagi anda, apabila akun medsos ini dibumihanguskan?
b. Adakah saluran berita yang lebih berimbang dan bisa dipercaya, yang bisa diakses lebih mudah saat akun media sosial ini tumbang?
c. Sejauh apa akun media sosial ini turut menyuburkan minat dan bakat anda?
d. Adakah pertemanan strategis yang perlu dan butuh untuk dijalin dengan adanya media sosial?
e. Sejauh apa akun sosial media ini turut berperan meningkatkan keadilan sosial dan persepsi di kehidupan anda?
Kalau jawabannya mengarah pada positivitas akun media sosial, belum saatnya pensiun bermedia sosial. Tetapi, bila jawabannya cenderung negatif, lupakanlah akun media sosial dan mulailah kembali kehidupan lewat sarana yang lain. Jangan sampai hanya karena sebuah akun, kita jadi turut merusak tatanan keadilan sosial. Lebih baik media sosial ganti fungsi saja jadi media binal.
Untuk sekarang, saya belum mau menghanguskan semua akun sosial media. Ada akun teman-temanku yang telah meninggal: foto-foto mereka turut menghangatkan kenangan bersama. Ada pula teman-teman yang tidak dikenal tetapi selalu memberikan narasi yang berisi untuk mengisi hati dan pikiran. Saya sanggup untuk cuti, tapi belum kuat buat pensiun. Bagaimana dengan anda?
Asal ngga sampe jadi Social Media Anxiety Disorder aja sihh. Karena sekarang socmed juga bisa cari duit. Hahaha.
BalasHapusYa ampun frienster yaa, ketauan banget umurnya berapa 🤣🤣 Bela belain ke warnet benerin profile yang blingbling itu wkwkwk trus ngumpulin testimoni alay. Duh jejak digitalnya masih ada gak ya 😂
Doakan aja udah ga ada jejak digital. Han. Wkwkwk.
BalasHapusWah iya, aku udah beli 3 perangkat bisnis instagram. Wkwkwkwk.
Tulisan ini tercetus setelah salah seorang teman mau pamit akun medsos.
Pada akhirnya, kita cuma butuh beberapa orang teman saja yang memang benar mau peduli sih kak. Gak selamanya punya banyak teman atau jaringan itu menguntungkan juga :D
BalasHapusYes benar nabila. Mentok2nya maksimal kita hanya intim dengan 300 orang. Itu menurut teori dunbar.
BalasHapusKalau aku pengen non aktifkan FB, tetiba teringat bahwa akun kantor nyambung ke FB pribadiku, hihihi. Ya udah batal deh nonaktifkan.
BalasHapusHahaha. Nah ini salah satu sebab kenapa aku juga enggan matikan medsos dulu.So far aku di medsos udah punya niche sendiri.
BalasHapusAku sih termasuk yang lebih suka menggunakan medsos untuk cari bacaan. Sering gak sadar kalau whats ap udah ratusan (wkwk). Kadang liat medsos untuk baca status atau chat aja. Itu pun udah ngabisin waktu berjam-jam. Alhamdulillah, sekarang teralihkan dengan grup Odop. Jadi sekarang aku belajar nulis dari baca status dan chat yang ada di medsos ^^
BalasHapusSudah pensiun dari Path dan Friendster. Bijak bermedsos, yang penting tak melupakan dunia nyata
BalasHapusyoha: oh ya sebenarnya memang medsos adalah jembatan menuju banyak saluran yang berkualitas juga. wow keren serapannya
BalasHapusmba kiky: ya berhubung path juga udah gulung tikar tahun lalu. Friendster saya sih udah almarhum. Mudah2an kita semua sadar proporsi.
Medsosku yang ada di hp cuma Fb sama WA. Lainnya ada, tapi jarang aktif. Jadi sarang laba-laba lho Bang Ry
BalasHapusDulu saya pun pernah merasakannya, muak bermedia sosial, saat masa-masa 'panas' dahulu, tetapi tidak rela juga kalau harus meninggalkan, karena ada juga kebaikan dan manfaat yang saya dapatkan lewat bermedia sosial, jadi solusinya adalah dengan 'hijrah' sejenak ke akun lain yang lebih 'sunyi', dan alhamdulillah justru dari 'semedi' itu mendapat insight baru atau pencerahan dimana kini media sosial bisa saya maksimalkan untuk berkarya walau tak seberapa, dan untuk mengumpukan puing-puing wawasan yang memang banyak bertebaran di sana...
BalasHapusMungkin, bijak dalam 'menjalin' pertemanan di medsos bisa menjadi alternatif pilihan, dimana kita bisa lebih selektif dalam berjejaring, agar bisa tetap 'waras' saat berselancar di jagat sosial media. 😁🤭
Masyaa Allah, makasih tulisannya Mas. Poin-poinnya membantu sekali. Semakin mantap untuk pensiun dari beberapa sosmed. Hehe.
BalasHapusDi tahun 2010 saya juga pernah berniat berhenti dari media sosial, beberapa akun pertemanan saya blokir karena cukup "mengganggu", berharap akun sosmed hanyalah untuk teman dekat saja. Nyatanya malah justru menimbulkan kegaduhan beberapa rekan kala itu dan semenjak itu saya benar-benar mengurangi akses terutama untuk Facebook.
BalasHapussaya uninstal path sejak awal2 rame dan bikin akunnya eh nggak sreg aja di situ. waktu itu asyik2nya ngetwit, lama2 gerah juga lihat twitwar bertebaran akhirnya uninstal twitter. FB justru udah sempat pensiun berapa tahun, dan lebih aktif di IG sekarang. selain IG personal juga IG jualan jadi kayaknya nggak pensiun dulu dari IG. Selain buat jualan dari IG aku menemukan komunitas duniaku, literasi yg akhirnya nyambung juga ke FB, jadi FB dibuka lagi. Dua2nya untuk berkomunitas dan berharap jadi jalan dalam berkarya.
BalasHapuswidiwww rasa di tampol ne pensiun dini di medsos tapi belajar bisnis online di medsos, masih tahap2 wajar selama ini asal ga lupa waktu laporan wajib meski yah emang sesekali perlu di cegah sibenda ini selalu ditangan
BalasHapusSaya memang tak pernah survey seberapa penting saya di mata follower atau temen di akun saya, tapi untuk resign dari dunia Maya kok rasanya belumlah. Banyak hal positif yg saya dapatkan . Saya berani nulis ya dari dunia Maya,
BalasHapus