Senin, 18 November 2019

5 Trayek Angkot Paling Bersejarah bagi Seorang Briantono Raharjo

Tak kurang dari dua puluh empat jam, jumlah durasi hari yang kita jalani. Sebagian besar kita habiskan di rumah, lalu sekitar dua puluh hingga empat puluh persen kita habiskan di jalan raya. Perjalanan selalu menjadi sendi-sendi dan urat nadi yang turut menyusun durasi waktu hidup kita. Maka, terlepas apakah kita menempuh perjalanan dengan jalan kaki atau naik angkutan umum, jalan raya juga adalah tempat kita menyerap sekaligus menumpahkan kenangan.

Perjalanan hidup setiap orang di kotanya berbeda-beda. Hidup di Jakarta harus siap menembus labirin jalan tol dan ruas lalu lintas yang berliku-liku ditambah dengan macet yang kadang tidak berperikemanusiaan. Adapun hidup di desa pelosok, seperti halnya Suralaya, kemungkinan besar akan mengakrabi jalan berlubang dan bergelombang. Lain halnya dengan Puncak, jalan dengan luas terbatas dikelilingi tebing dan pohon besar adalah pemandangan rutin. Tentu saja, pengalaman hidup di Bandung pun menawarkan warna yang begitu unik.

Bandung sejatinya adalah kota dimana saya melontarkan tangisan pertama di dunia fana ini. Tak lebih dari dua puluh empat tahun, saya tumbuh besar dengan meresapi beragam unsur dan lika-liku yang mengerubungi wilayah yang biasa dijuluki "kota kembang" ini. Salah satu unsur keunikan dari Bandung ini adalah moda-moda angkutan umum yang senantiasa menyusuri jalan-jalan di dalamnya. Terlepas dari kurang atau lebihnya, angkutan umum juga memainkan peranan besar dalam petualangan hidup saya.

Rute angkutan umum di Bandung berjumlah hampir empat puluh trayek, teman berpetualang para penduduk dan pelancong menyusuri tiga puluh kecamatan di Bandung. Sifat dan kelakuan setiap moda tentu saja tergantung dari sopir dan awaknya. Mulai dari yang membuat saya kagum akan kesantunana awaknya, sampai yang membuat jantung berdetak kencang karena menekan pedal rem mendadak setelah memompa kecepatan hingga ratusan kilo per jam. Acapkali saya dengar banyak peristiwa kemanusiaan yang inspiratif terjadi di dalamnya hingga  kisah perampokan dan pemerkosaan sadis yang memilukan hati dan nyali. Apalagi, beragam nostalgia naik angkot itu kembali dihadirkan dalam lagu "Saredona" gubahan band asal Bandung, Kuburan.

Ketika salah seorang teman ODOP merangkum perjalanan hidup saya, hati cukup trenyuh tatkala ia menyinggung soal Bandung selaku tanah kelahiran dan tempat kenangan tumbuh. Berbicara soal Bandung tak lepas tentang petualangan saya bersama trayek angkot untuk mencapai tujuan strategis hingga yang sekedar iseng belaka. Di dalam mobil umum itu, saya belajar mengenali penampakan jalan-jalan di Bandung dalam beragam warna. Dari empat puluh trayek yang tersedia, berikut lima diantaranya yang turut berperan penting menyusun sejarah hidup saya, mari kita hitung mundur:

5. Dago-Riung Bandung

Merupakan salah satu trayek yang hampir jarang saya tumpangi untuk perjalanan jarak pendek. Menyambangi jalan Soekarno-Hatta merupakan salah satu fungsi utama trayek ini bagi saya. Di Soekarno-Hatta terdapat banyak travel yang fleksibel, berikut dengan rumah tantenya istri saya.
Dari angkutan ini,jembatan yang menghubungkan Kiara Condong hingga jalan Ibrahim Adjie yang dilaluinya akan membawa penumpang menyaksikan panorama Bandung dari ketinggian tujuh kaki.

Image result for riung bandung dago
Dago-Riung Bandung, selalu diandalkan untuk jarak jauh. 
         

Melalui angkot berwarna putih ini, biasanya saya turut menyambangi kantor milik mendiang kakek,  STAN di wilayah Antapani, berikut rumah lama yang telah dihuni orang lain. Angkot ini sering saya gunakan pula untuk reuni di rumah Edwin, yang berdomisili di Riung Bandung. Rumah Edwin kerapkali menjadi tempat berkumpul segenap pengurus dewan keluarga masjid, salah satu organisasi tempat bertumbuh saya semasa SMA.

Untuk rute sebaliknya, saya senang sekali untuk tertidur di dalam angkot ini. Tentu saja, dompet dan HP sudah disusupi di bagian tas yang cukup dalam supaya tidak dirogoh oleh penyamun. Begitu bangun, gerai McD Dago kesayangan sudah tampak di pelupuk mata.






                                     
4. Antapani-Ciroyom atau sebaliknya

Salah satu trayek angkot yang pertama kali saya pelajari ketika mencoba bergantung pada angkutan umum pertama kali. Dalam angkot berwarna semi-krem menuju jingga ini, seorang Brian tumbuh besar menjalani kehidupan putih abu. Mulai dari bangun pagi, sarapan, lalu berkemas, rute trayek ini acapkali kusapa tepat dari rumah di bilangan Antapani. Di sepanjang perjalanan menuju Sekolah Menengah Atas tempat saya meraih ijazah, biasanya beberapa lembar buku pelajaran terbaca. Maklum, jarak tempuh sekitar dua puluh lima menit dari antapani menuju jalan bangka adalah waktu yang cukup untuk merapal ulang rumus kimia dan bagan biologi sebelum ulangan dimulai. 

Di dalam bangku ini pula, sering kujumpai teman-teman sekolah tetangga (baca: SMA 5 Bandung) juga turut menumpang. Tak pelak, angkot ini turut menjadi saksi bagaimana seorang Brian membina pergaulan masa remajanya dengan berbagai pihak. Lebih-lebih, angkot ini sudah tersedia dari mulai Shubuh, sehingga ketika menjalani masa orientasi, saya tidak kelabakan bergantung pada transportasi pribadi untuk mengantar jemput. Di lain sisi, saya juga sempat tersesat di rute trayek ini. Maklum, saat itu lagi konsentrasi mau ulangan kimia, jadinya tidak sadar telah tersasar menuju pasar Ciroyom.

Image result for antapani-ciroyom
Antapani-Ciroyom, kokoh menjadi sejarah perjalanan masa remaja.
                                 

Ketika saya makin berumur, tepatnya menduduki bangku kuliah, rute trayak ini sering menjadi saksi untuk menuju tempat pengabdian pada anak-anak terlantar. Panti asuhan Ciroyom. Di sanalah saya melalui komunitas Skhole turut berperan membimbing anak-anak kaum papa dan terlantar mengenali cita-citanya. Maka, berbicara tentang Antapani-Ciroyom adalah kisah mengenai perjalanan masa remaja menuju dewasa hingga pengabdian masyarakat.

3. Cisitu-Tegalega atau sebaliknya.

Jika anda berkuliah di ITB, seperti saya, rute trayek ini sungguh strategis. Menjadi penghubung kampus, auditorium, hingga stadium dan komplek kos Cisitu, kemungkinan besar rute trayek ini adalah tempat bertumbuh para mahasiswa ITB. Tak terkecuali diriku, yang sering membutuhkannya untuk menyambangi teman-teman yang berdomisili sementara di Cisitu, hingga mengisi minggu pagi dengan agenda badminton.

Rute ini pertama kali saya kenali saat ditempatkan untuk program karantina kemitraan ITB. Bersama ratusan orang mahasiswa pria lainnya yang turut ditempatkan di asrama Kidang Pananjung, rute angkot ini merupakan kurir pertama untuk mengantar hingga ke kampus. Di dalam angkot berwarna ungu ini, rutinitas menjalin persahabatan dan kerjasama  (baca: networking) antar mahasiswa terjalin. Saya masih ingat betul bahwa angkot trayek ini menjadi tempat membahas tugas berbasis riset bersama teman kelompok. 

Image result for cisitu tegalega
Cisitu-Tegalega, the real purple haze
                                             

Tak hanya sekedar menjalin jejaring pertemanan diluar media sosial,  rute ini pun berperan besar dalam kehidupan asmara saya. Ssst, cukup kalian para pembaca blog ini yang tahu, bahwa berkat si ungu ini saya sukses ngapel dua orang mahasiswi universitas sebelah. Alhamdulillah, salah seorang dari mereka berdua kini menjadi istri saya. Oh ya, kalaupun saya menumpang kembali trayek ini menuju Tegalega, kemungkinan besar saya sedang menuju Festival City-Link.

Lah, yang satunya kemana, Bri? Bro, sis, coba nyanyi lagu Raisa dulu yang berjudul 'Sudah'....tepat bagian reff-nya. 

2. Stasiun Hall-Sadang Serang atau sebaliknya :
Trayek angkot ini sering saya cegat di daerah Tubagus Ismail  untuk menuju Cikutra ataupun Itenas. Ada apa di Cikutra? Rumah tante sekaligus makam kakek-nenek di TMP Cikutra. Kadangkala, saya pun menumpangi angkot hijau tulen bergaris kuning ini untuk ke institut teknologi nasional, untuk mencari bahan-bahan tugas akhir. Selain itu, supaya saya bisa jalan ke Pasir Kaliki (baca: Istana Plaza) hingga ke stasiun, kerap angkot ini dicegat di daerah Cikutra, -biasanya habis nyekar ke makam-. Maka, angkot ini mempunya peranan penting bagi saya untuk terhubung dengan 'dunia di luar bumi' dan mengejar kereta. Bukan tidak mungkin, kalau suatu saat saya terpilih untuk bikin film tentang perjalanan di pusat Jawa-Barat, pasti kususun adegan mengejar trayek angkot ini agar sang tokoh utama bisa mencegat kereta :p

Image result for RUTE ST HALL-SADANG SERANG
Stasiun Hall-Sadang Serang, primadona menuju makam dan stasiun
Selain menuju makam ataupun itenas, angkot ini selalu menjadi teman setia saban Sabtu dan Minggu untuk menjadi pengantar menuju BIP dan Gramedia. Lantaran setiap minggu saya bakar duit untuk main di timezone BIP ataupun belanja buku, maka seringkali uang kembaliannya kukelola menjadi pembayaran untuk angkot satu ini. Tepat sebelum kembali ke rumah di bilangan Cikapayang.

Angkot ini kemudian turut berperan dalam mengantarkan saya melamar pekerjaan. Hampir setiap bulan, Braga Landmark hall membuka lowongan, dan angkot ini menjadi saksi bagaimana saya mengenakan kemeja menenteng CV dan segepok dokumen. Tak dinyana, angkot hijau ini turut menjadi tempat menumpahkan kegalauan karena penolakan lamaran. Yang selalu saya ingat adalah bagaimana angkot ini selalu menghibur mesra kedua mata ini dengan pemandangan Pendopo Bandung dan jembatan rel kereta api.

Dengan penuh rasa haru dan bangga, saya perkenalkan rute trayek angkot paling bersejarah untuk saya bertahun-tahun. Pembaca, inilah rute trayek angkot paling bersejarah bagi seorang Briantono:


1. CICAHEUM-LEDENG ATAU SEBALIKNYA

Dari ujung ke ujung, saya selalu punya tujuan tidak sepele ketika menaiki trayek angkot ini. UPI, Enhai, hingga Lembang adalah beberapa tujuan pamungkas yang membutuhkan trayek ini, tepat dari kediaman rumah di Cikapayang. Bila berbicara perjalanan menuju terminal Ledeng, otak saya senantiasa merekam berbagai seminar yang saya ikuti di UPI, berbagai konsernya, hingga menembus Lembang dari jalur paling ramai.

Tak hanya soal universitas, trayek ini sering ditunggangi oleh teman-teman saya untuk menjalankan agenda eksplorasi menuju Tangkuban Perahu, Lembang, ataupun berjalan kaki melalui bukit Ciung Wanara. Mengenang trayek menuju Ledeng adalah memori berkumpul membawa tas perlengkapan camping, peralatan keselamatan, hingga rombongan bersepatu gunung untuk acara kaderisasi. Rasanya tak berlebihan bila perjalanan ke Ledeng adalah rasa sebuah petualangan.

Kalau boleh mengutip dari iklan rokok, Ledeng way is the leading flavor of adventure. 

Berbicara lain segmen soal Ledeng, seringkali saya ke kantor Telkom Corporate University dengan trayek ini. Tak hanya kaderisasi bersama teman SMA, seminar dan beragam momen mengitari Bandung bersama teman-teman sekantor Telkom turut melibatkan trayek angkot satu ini. Tiapkali berbicara soal Bandung, trayek Cicaheum menuju Ledeng adalah tentang bagaimana seorang Brian melepas masa pengangguran menerima surat keputusan penempatan di Jakarta ;'(.

Image result for cicaheum ledeng
Cicaheum-Ledeng, mewakili sebagian besar transisi kehidupan di Bandung
                                           

Bagaimana dengan rute sebaliknya, Cicaheum? Saya kerap menggunakannya untuk jarak pendek maupun perjalanan jauh. Rute jarak pendek adalah tentang mencapai rumah mendiang nenek saya, tempat dimana paman  dan sepupuku yang baru mau masuk SMP akan menyambut. Acapkali rumah nenek saya menjadi tempat istirahat setiapkali kelelahan di kantor cabang Japati lalu enggan pulang ke Cikapayang. Selain itu, rute Cicaheum adalah pilihan utama untuk menyambangi Pusdai. Sudah tak terhitung berapa kali saya pakai trayek berwarna hijau bercorak putih ini untuk mendatangi undangan pernikahan teman-temanku.  Jadilah Ledeng-Cicaheum menjadi ruang pelampiasan untuk menggigit jari saat menyaksikan satu-persatu teman-temanku melepas masa lajang.

Perjalanan jarak jauh untuk singgah di terminal Cicaheum pun tak kalah menarik.  Di sana terdapat kantor Ghania Education, tempat dimana saya menimba ilmu pembicara publik ataupun melatih dialek inggris bersama dua komunitas. Maka, trayek Cicaheum Ledeng turut berperan aktif dalam mengantarkan saya memenuhi agenda bersama komunitas Maestro Public Speaking dan Unitalk. Saya selalu ingat masa dimana menjadi pembicara, dimana untuk menghemat waktu maka ditunggangilah angkot hijau satu ini. 

Sungguh, besar harapan saya bahwa rute-rute angkot ini selalu akan bertahan dan semakin baik dalam membawa para penumpangnya menyusuri pembuluh nadi ibukota Jawa Barat, Bandung.

Sebagai penutup, marilah kita mendendangkan lagu Saredona, milik Kuburan Band.

Saredona-Kuburan (2018)

Geser sedikit, sedikit, sedikit
Neng, geser sedikit
Misi ada yang naik
Geser sedikit, sedikit, sedikit
Neng, geser sedikit
Kanan kiri tujuh lima
Jarak dekat tiga rebu
Jarak jauh tujuh rebu
Angkot mogok mah
Saredona
Na na na na na saredona
Na na na na na saredona
Na na na na na saredona
Saredona
Depanan dikit, sedikit, sedikit
Neng, depan sedikit
Takut ada yang ngumpet
Depanan dikit, sedikit, sedikit
Neng, depan sedikit
Abang takut dituntut
Kalau tilang duit lagi
Kalau sidang lama lagi
Kalau cingcay mah
Saredona
Na na na na na saredona
Na na na na na saredona
Na na

Na na na na na saredona
Na na na na na saredona

Na na na na na saredona
Na na na na na saredona

SAREDONAAAAAAA......










17 komentar:

  1. Masa kecil klo ga pernah naik angkot... Rasanya ada yg kurang 😂😂😂

    BalasHapus
  2. lengkapnya... aku membacanya sambil mengenang masa lalu dengan angkot.

    BalasHapus
  3. Syaif: wah pastinya bor. Pengantar keluyuran no. 1

    Temansenja.com: mari bernostalgila. Wkwkwkwk

    BalasHapus
  4. Bandung kota impian, pengen ke sana
    Alhamdulillah, bisa dapat informasi

    BalasHapus
  5. Yang ungu kayak di Malang nih 😂😂

    BalasHapus
  6. Lusi: tunggu ulasan tentang Bandung begitunya

    Jihan: oh pasti ada kemiripan warna dengan beberapa kota lainnya. Barangkali mereka kembar lain pabrik. wkwkwk

    BalasHapus
  7. Terkenang masa bergelayutan di bus umum...

    BalasHapus
  8. Saya pas sekolah naik sepeda. Hehe

    BalasHapus
  9. wah kalau bus umum itu lebih memorable lagi wkkwkwkw.

    Hmm sebenarnya bisa sih naik sepeda. Di bandung jalannanya agak terjal dan agak dinamis untuk jalan searahnya, mas Jok. Motornya aja pada kenceng jadi ga berani sepedaan diluar tujuan ke kampus.

    BalasHapus
  10. Masa sekolah aku nggak pernah naik angkot. Sd deket rumah, cukuo jalan. SMP di tetangga desa, naik sepeda 15 menit nyampe, SMA mondok, kuliah juga di Pondok. Nggak seru ya perjalanan hidupku?

    BalasHapus
  11. Angkot beragam dengan warna khasnya. Keren banget ya Bandung.
    Jadi, wanita yang satu lagi kumaha atuh Kang?😁

    BalasHapus
  12. Skrang udh jadi abang ojol yg ngawani kmna2 dlu angkot.

    BalasHapus
  13. Tulisan mas Brian ini memberi inspirasi saya untuk menulis tentang angkutan di Surabaya. Entar saya mention, mas.

    BalasHapus
  14. Angkot mengingatkan perjalanan ke sekolah zaman smp dan smk.. jadi nostalgia juga. Keren euy..

    BalasHapus
  15. mba yoha: thank you. kenangan sekolah takkan lengkap tanpa angkot.

    mba Maria: saya tunggu mbaaa....

    dinades: hmm iya sih era sudah berganti. Transportasi makin terbantu aplikasi, jadinya ga lama ngetemnya

    catatanaqiqah: oh ya? ah baru mulai belajar nulis kok.

    murasaki: pastinya ada cerita yang mengharu-biru dulu. wkwkwkw

    isnania: oh ke suatu tempat yang berbahagia pokoknya.

    BalasHapus