Rabu, 08 Januari 2020

Bila 2011 Kita Serius, Akankah Hari ini Sama?

Ku mencoba sembunyikan sedihkuDan ku coba hapus semua tangisku
Ku ingin mengusir semua sunyi dan sendiriIngin lupakan cintamu
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
Aku ingin tak ada yg tahuKesedihan yang melanda diriku
Ku ingin mengusir semua sunyi dan sendiriIngin lupakan cintamu
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
Mungkinkah semuanya memang untukkuPedihku tak terhitungSaat semuanya terasa menjauhDan tinggalkan diriku
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
(Mencari Cinta Sejati- Shanty, 2006)
Lagu ini merupakan salah satu tembang yang cukup sering memainkan emosi di sekujur syaraf. Selain karena yang membawakannya adalah seorang mantan VJ MTV yang pernah jadi favorit, lirik ciri khas tembang populer modern ini seakan searah dengan konflik rutin yang bersemayam dalam para petualang cinta yang ingin menyegerakan usainya 'capek hati'. Di sisi lain, sungguh sang VJ yang kini berumur 40 tahun itu sangat 'berperan' dalam memprovokasi otak saya tentang kriteria wanita. 
2011, 2011, 2011. Berulang-ulang tahun itu bersemayam dalam kepala: di dalamnya terdapat banyak momentum berharga yang mengubah persepsi pemikiran dan pergolakan batin saya. Antara keputusasaan dan harapan baru, kegelisahan dan kelapangan, prestasi dan ketidakpastian, semua telah berbaur di dalamnya. Termasuk sejarah 'kelam' bahwa saya harus berlapang dada bahwa diri ini bukanlah tipikal lelaki sejati yang diidamkan banyak wanita. I am not a perfect person, I wish I didn't do a thing i won't do. 
Sepanjang semester pertama tahun itu, saya masih menyimpan dialog-dialog pertengkaran dan memanasnya kompetisi ego dengan dia yang pernah bertahta dalam hati.  Suatu ketika, saya pun terperosok dari puncak rasa kecewa; manakala ia memutuskan hubungan di saat sedang menjalani ujian tengah semester. Tak lama, dia minta balikan, meski tak membuatku nyaman seperti sebelumnya. Di dalam puncak pertengkaran Mei, akhirnya saya yang memulai mencetus kalimat sakti itu. Dia menangis, saya tak lagi menggubris. Meski dia bilang. bahwa dirinya tak menghendaki demikian. 
Di saat sebagian orang pada umumnya sulit melewati keterpurukan seusai patahnya sebuah ikatan, saya mungkin termasuk spesies yang aneh. Hanya tertawa kecil, kembali sibuk sendiri, seakan-akan udara bebas kembali terhirup. Mungkin, saya bukanlah pria yang benar-benar tangguh: acapkali tergerak beringas manakala melihat ponsel dirampas dan diperiksa seksama seperti penumpang pesawat hendak melewati gerbang bea cukai. Tapi, yang menyalakan api dalam benak saya, adalah hanya karena beberapa ucapan yang sama sekali tak kasar, dia menilai 'anak mama', lalu melontarkan kata usai. Lebih-lebih, dalam beberapa kesempatan, entah kenapa setelah berkorban suatu hal yang cukup besar untuk dirinya, ada saja satu-dua hal yang membuatnya sedih dan marah berlebihan. Sebuah kepungan yang cukup untuk mendorong saya kembali bertanya, tentang arti cinta sejati, dan juga tentang makna keadilan dalam sebuah hubungan. 
Sepanjang Juni di tahun yang sama, menikmati panorama Suralaya, tempat magangku, adalah oase tersendiri. Meski rutinitas seperti kupu-kupu, kerja pagi pulang sore, kerja pagi pulang sore, menikmati hidup dengan tergeletak tidur di lantai halaman masjid adalah sebuah kenikmatan, disamping menghirup udara pantai di sore hari sambil menyantap nasi uduk. Telepon genggamku nyatanya pun turut merayakan 'hidup baru', jadilah fitur pesan singkat jadi kuda tungganganku. Untuk berkirim-kirim petuah atau berbagi cerita bersama beberapa orang teman. Termasuk, ia yang berasal dari sebuah universitas yang sama dengan ia yang sudah kuanggap usai, meski bukan gedung kampus yang sama. 
Memori kembali memutar ingatan-ingatan tersebut: tentang pesannya yang turut meramaikan jagat ponselku. Barangkali juga tentang wajahnya, hampir serupa dengan VJ MTV favorit, yang dibahas di paragraf pertama. Tapi, saya pun meresapi lirik lagu sang VJ. Takutnya, setelah memberi hati melalui pesan ponsel, justru malah menjadi petulangan rasa yang hanya berakhir 'lelah'. 
Tak perlu menunggu jadi petualangan, hati ini pun mulai didera 'lelah' dalam berteman. Seorang teman lain, begitu teganya, setelah beramah-tamah, berbagi-cerita malah berniat menjadikan saya pria simpanan. GILA! Apakah memang betul tampang saya ini lebih cocok jadi ban-serep kalau terjadi apa-apa dengan hubungan sah? Di titik itu,.... saya mengikrarkan diri untuk jadi manusia skeptis: jangan pernah langsung terbawa suasana ketika merasakan keramahan lawan jenis, tanpa memahami latar belakang dan perangainya terhadap sekitarnya. 
Tak lama kemudian, dia yang serupa VJ MTV favorit, -biar kusingkat sebagai 'mirip idola;-, mengajak 'bertemu', bukan hanya dirinya tapi juga keluarganya. Meskipun hanya pesan singkat, saya ambil serius terlebih dahulu, paling tidak sebagai bentuk menghargai bahwa orang siap saling membagi dan menerawang pribadi masing-masing. Si gadis mirip idola itu, tak sampai setengah hari, kemudian membatalkan janjinya, dengan terus terang "saya belum siap". Tak apa-apa, mungkin sesering mungkin saya harus melatih hati biar tidak jadi bandara: sekedar jadi tempat transit, tanpa ada yang berlabuh untuk membuat hidup terakit. 
Perlahan, saya pun belajar melupakan dirinya. Barangkali, memang tabiat manusia ini akan kembali seperti penampakan anasir alam. Ada yang seperti batu, ada yang menyerupai laut, seperti angin kencang yang berhembus, hujan yang terus mendera tanah, atau sekedar menjadi kabut sesaat di dalam asap yang mengepul. Meski demikian, saya tetap ingin menjalakan keadilan. Maka, saat dia yang mirip idola itu meminta :
"Bisakah kamu pura-pura jadi pacar saya? Saya lagi diintai."
Dengan semangat untuk membela yang terintimidasi, lagi-lagi saya anggukan kepala. Tanpa kusangka, berakhir kembali dengan situasi yang membuat naik pitam,...yang membuat saya berandai-andai: "Coba aja saya lebih kritis." Setelah 'berbohong putih', kenapa harus juga menjadi sasaran cemburu? Mengapa dia mengakui dirinya menyatakan cinta, tapi juga serta merta cemburu? Misteri, misteri, misteri, yang kadang tak pernah usai kujadikan gagasan cerita hingga kini. Namun, suatu hal traumatis yang tak bisa dilupakan untuk tak kuulang, setelah menjalani perjalanan rasa beberapa tahun silam, sejak 2009 akhir.  
Di suatu siang beberapa satir, saya mencoba berkomentar satir atas suatu tanggapan dari dia yang mirip VJ MTV. Tapi, kenapa lagi-lagi berakhir jadi unfriend media sosial? Tak mengapa, siapa yang tahu isinya kerajaan hati, beserta komposisinya? Barangkali, memang harus menguatkan diri bahwa unfriend bukan berarti akhir dari kemanusiaan, dimana unfollow tak serta melenyapkan rasa keingintahuan. Toh, atas nama kepentingan, kadang luka menganga bisa selesai dalam sekejap maaf, dan seekor binatang buas pun berhak 'menfollow' binatang buruannya. 
Ini mungkin, bukan tentang siapapun. Tapi tentang kita yang kadang terlalu banyak prasangka, dan sulit bergerak cepat dari pengalaman pahit. Bila yang bersangkutan membaca ini, anggap saja ini hanyalah ungkapan rasa untuk berbelanja diksi dan memantapkan kemampuan menalar situasi,...berikut tentang kenangan yang tersisa di lubuk kepala. 

JAKARTA, 2020, SEBELUM 10 JANUARI. 





4 komentar:

  1. Karena hormon Dopamin yang membuat nyaman itu sudah hilang. Oh bukan hilang, tapi mereda. Perasaan yang dulu meledak-ledak pada diri manusia, sebenarnya dipengaruhi hormon cinta ini. Lalu diganti dengan Nirephrinepine yang menumbuhkan rasa nyaman. Ngga bertahan lama kok, paling cuma 12 bulan. Lalu apa setelahnya? Itulah yang disebut komitmen. 😁😁😁

    BalasHapus
  2. Saya senang sekali kajian psikologi ini, Jihan. Wkwkwkw. Sungguh detil yang membuka wawasan.

    BalasHapus
  3. kakak jihan emang istimewa... sungkem wolak walik duluuu 🙇‍

    BalasHapus