Kamis, 30 Januari 2020

Manuver Pertama Ustadz Salim Mengabadikan Sejarah yang Terabaikan- Sebuah Resensi 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir"

"Pesantren berdiri berabad-abad, untuk membentengi bangsa Indonesia, membentengi umat Islam, dari pengaruh-pengaruh kekafiran dan dari pengaruh-pengaruh penjajah dan penjajahan, Maka, kalau ada kiai, tidak anti penjajahan, maka itu kiai palsu! Kalau santri tidak anti penjajahan, itu santri palsu. Kalau pesantren tidak anti penjajahan, itu pesantren palsu! Kita ini sedang dijajah, nak!" (Kiai Abdullah Hasan Sahal, akhir 2018). 


Siaran ceramah dari salah satu Kiai Sepuh pembina pesantren Gontor itu memang terdengar provokatif dan mungkin menanamkan amarah sebagian orang. Baik amarah terhadap beliau sang penceramah karena ceramahnya dianggap 'tidak menyenangkan', maupun amarah terhadap situasi yang dipompa oleh 'ghirah'  kesadaran tentang epidemi penjajahan dan penindasan yang masih menimpa sebagian bangsa yang ada di muka bumi, salah satunya bangsa kita, yang baru-baru ini merasakan ancaman di Natuna. Saya adalah orang yang mengemban amarah jenis kedua, dimana pidato sang kiai memantik rasa penasaran tentang premis 'santri palsu adalah yang anti penjajahan', yang berkembang menjadi sebuah pertanyaan besar tertanam dalam kepala.


Rupanya, Ustadz Salim A Fillah, salah seorang da'i yang saya kenal sebagai salah seorang pembina masjid Jogokariyan serta pengisi berbagai tausiyah diluar negeri, menyediakan jawaban atas pertanyaan besar tersebut melalui novel fiksi sejarah yang merupakan debut pertama beliau rahimahullah di bidang fiksi. Adalah 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir', karya beliau yang terangkum dalam halaman sebanyak satu koma dua rim ini, yang memaparkan logika-logika serta alur mengapa santri punya andil besar dalam menentukan perjuangan rakyat, yang dalam konteks buku novel ini adalah perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.  Secara lebih luas, novel ini turut menguraikan bukan hanya perjuangan Kesultanan Yogyakarta trah Hamengku Buwono melawan penjajah kolonial Belanda, melainkan juga tentang turut campurnya para bangsawan Turki dan China, kaum rakyat, patih, dan santri dalam salah satu peperangan dan konspirasi terbesar di pulau Jawa di awal abad 19. Sesuai dengan paragraf awal diatas, kaum santri di era kolonial, yang pemikirannya masih cukup lurus, turut banyak berperan dalam memecahkan pemufakatan jahat para pejabat Keraton yang berkhianat, membuat strategi kaum penjajah kocar-kacir, hingga yang paling rutin: mengobarkan semangat rakyat sipil dari berbagai profesi dengan semangat jihad fi-sabilillah.

Cover Depan Novel SPJT


Membaca novel ini memang cukup menguras energi pada beberapa halaman awal. Selain menantang diri untuk beradaptasi dengan diksi-diksi dan istilah Jawa dan Belanda yang banyak diulang dalam kisah ini, ada beberapa ketegangan dan pertumpahan darah yang cukup mengusik adrenalin. Dengan terus terang, maka label 'explicit content: reader advisory' rasanya tak meleset untuk disematkan pada novel ini. Sebagai tambahan, novel ini bergerak dalam pikiran dengan alur progresif, sehingga kadang muncul beberapa detil yang kadang sekilas terlihat remeh, tetapi mengandung peranan besar dalam interaksi tokoh di sepanjang naskah. Dengan kata lain, mungkin harus sesering mungkin menguatkan mata agar tidak ketinggalan detil-detil yang terjadi.

Bagi saya sendiri, mengunyah segala anasir, konflik, percakapan, perwatakan tiap tokoh, dan perawakan hingga ke hati memang tidak instan terjadi. Tetapi, setelah melewati beberapa ratus halaman awal, novel ini berbalik memberikan energi pada saya. Kembali mengingatkan saya akan inti-inti ajaran tauhid, kaidah-kaidah strategi perang kolonial, permufakatan jahat, perang pemikiran, keterkaitan antara etnis dengan senjata daerah masing-masing, hingga haru-biru peliknya cinta dan romansa antar beberapa tokoh yang bentuknya lebih rumit dari segitiga, bahkan segiempat. Barangkali, novel ini memberikan lebih dari yang digambarkan sub-judulnya: "Kisah, kasih, dan selisih dalam Perang Diponegoro." Dengan menyimak serangkaian konflik dan romansa ini, wawasan dan nurani saya seakan mendapatkan 'ghirah' baru dalam menggali pola-pola interakasi yang terjadi di era kolonial.

Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) ini tak hanya bercerita tentang Pangeran Diponegoro. Alih-alih, justru kisah, lika-liku, dan asal-usul Nurkandam dan Basah Katib, dua bersaudara asal  Turki yang disebut-sebut sebagai salah satu penggerak 'Janissary', barisan tentara kesultanan Turki,  mendominasi novel fiksi sejarah ini. Demikian pula, untuk antagonis utamanya tak hanya berkutat pada para panglima Belanda semisal Van Den Bosch dan Van De Cock, melainkan juga  pengkhianat dalam istana, Patih Danurejo, serta 'anak angkat Kesultanan Yogyakarta' yakni Cao Wan Jie. Bisa disimpulkan, salah satu hikmah dari novel ini adalah suksesnya penjajahan ada karena pengkhiantan orang dalam serta strategi muslihat, sementara gagalnya penjajahan datang dari bersatunya tekad yang dibalut dengan keimanan yang ikhlas dan kompaknya segenap elemen masyarakat mengenali hingga mengendalikan gejala-gejala dan pengaruh-pengaruh penjajahan.

Tokoh-tokoh lain yang turut menjadi kunci dalam rangkaian epos ini, antara lain adalah Nuryasmin-istri Basah Katib, Orhan dan Murad-pengawal setia Basah Katib dan Nurkandam, Siti Fatmasari-putri kedua Danurejo, Kyai Mojo, Gentayu- kudanya Pangeran Diponegoro, hingga Prager-serdadu Belanda yang menaruh hati pada Cao Wan Jie. Dengan adanya tokoh-tokoh ini, interaksi dalam novel SPJT seakan membentuk sebuah ekosistem yang membuat alur cerita lebih kaya. Sedikit bocoran, kata kunci "gudeg" dan "surat Basah Katib" adalah beberapa unsur yang membuat perjalanan epos Perang Diponegoro terisi oleh konflik yang rumit tapi berwarna dan menguak banyak logika yang belum banyak orang sadari.

Seusai membaca ini, saya merasa bahwa kemungkinan besar para pembaca yang mendaras hingga menghayati isi novel ini akan paham beberapa hal: mengapa Pangeran Diponegoro kerap dihujat sebagai fanatik dan radikal oleh kaum penjajah, bagaimana Turki turut mempengaruhi kebudayaan di Jawa, siklus-siklus pengkhiantan dan permufakatan jahat para pejabat pribumi era kolonial, bagaimana 'alam' turut paham siapa yang benar dan salah dalam suatu perang, hingga mengapa keterlibatan para Janissary akhirnya tak tertulis dalam sejarah kebanyakan. Kejutan kecil, memang ada peran binatang buas dalam keberjalanan perang akbar yang terjadi antara 1825-1830 tersebut. Semua akan terjawab dalam rangkaian epos SPJT ini.

Setelah sepuluh hari  membaca SPJT, saya merasa lebih tertarik untuk menguliti strategi perang dan konflik era kolonial bukan hanya yang terjadi di Jawa, tetapi di seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, beberapa perwatakan lokasi, tempat, hingga senjata yang ditampilkan turut memicu kembali ghirah saya untuk memahami sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan kebudayaan Islam terhadap 'benda-benda mati', yang kadang kurang menjadi perhatian utama dalam banyak kajian agama. Selain itu, narasi-narasi yang tersaji cukup memantik imanjinasi dan mimpi kembali timbul dari mulai kepala hingga dada, berharap mampu untuk seakurat dan semenarik mungkin menyusun narasi dan naskah untuk pahlawan nasional lainnya-berhubung hingga saat ini hobi menulis masih sangat digandrungi-.

Sebelum mengakhiri resensi, saya hampir lupa bahwa ulasan ini bukan hanya tentang novel SPJT , melainkan juga menjadi wadah untuk menyampaikan kesan dan pesan terhadap Ustad Salim A Fillah.

Yang saya hormati, Pak Ustadz Salim, terus terang saya tidak percaya bahwa ini adalah hasil eksperimen pertama ustadz untuk fiksi. Karena hadirnya buku ini seakan tidak menyisakan 'sisa-sisa proses eksperimen' ataupun 'trial-error' yang berkonsekuensi 'plot-hole'. Kendati dirangkai dalam bentuk campuran antara novel tipe konvensional dan flashback progressive yang cukup sulit dibaca secara cepat,  Ustadz sudah sangat rapi dalam mengemas situasi berikut elemen-elemen semiologi terkait beserta penguraian watak dari para tokoh-tokoh yang terlibat di dalam naskah ini. Barangkali, karya Ustadz yang satu ini akan menjadi salah satu referensi utama dalam menyajikan narasi sejarah yang begitu hidup dan interaktif.

Akhir kata, berikut saya lampirkan keterangan data-data dari buku:


Cover Belakan

Judul                        : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir -

                                   Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro

Penulis                     : Ustadz Salim.A. Fillah

Tebal                        : 632 halaman tanpa lembar index   

Penerbit                   : Pro-U-Media

Tahun Terbit           : 2019

Penyunting             :Irin Hidayat

Pemeriksa Aksara  :M. Shiddiq, P

Layouter                : Romadhon Hanafi dan Arya Muslim


ISBN-978-623-7490-06-7






Tabik,

Salah satu jamaah masjid kantor yang fakir ilmu,

Briantono Muhammad Raharjo

30 Januari 2020.

#semuabacasangpangeran

#sangpangerandanjanissaryterakhir





Rabu, 22 Januari 2020

3 Level Kedisiplinan

Semangat pageeee...
Assalamualaikum wr wb;
Salam sejahtera;
Minggu yang lalu ada kawan yang bertanya kepada saya tentang DISIPLIN. Katanya dia masih sulit mendisiplinkan diri sendiri. Ada tips pak?Saya pikir boleh juga nih kita bicara tentang disiplin. Tidak bermaksud menggurui tapi mari kita coba bicarakan akar penyebab kenapa kita dan orang-orang sekeliling kita gak disiplin atau sulit berdisiplin.
Banyak contoh ketidakdisiplinan. Paling mudah dan terlihat nyata ya yang terjadi di jalan raya. Tiap hari saya ke kantor naik motor. Dalam 45 menit perjalanan dari rumah sampai kantor memang sungguh memprihatinkan. Tidak terhitung banyaknya kelakuan tidak disiplin yang diperagakan saudara-saudara kita di jalan.Menyeberang jalan tidak di tempatnya, mobil-mobil saling serobot tidak di jalurnya sehingga memperparah kemacetan ibukota, dan lain-lain, dan lain-lain. Dan yang paling parah dari itu semua, juara bidang ketidakdisiplinan, kita tahu yaitu para pemotor. InsyaAllah saya pemotor yang tidak masuk kategori itu. Mudah-mudahan pada percaya ya? Kalau gak percaya boleh sekali-sekali saya boncengin ke kantor. Dijamin akan menyaksikan kedisiplinan saya hanya saja tidak termasuk disiplin dalam hal kecepatan. Hehehe tapi itu hoax kok...
Bagi pemotor ibukota kayaknya lebih tepat kita sebut gak ada aturan lalu lintas yang berlaku buat motor, karena hampir tidak ada aturan yang terlewat, semuaaaa dilanggar... Melawan arus, nerobos lampu merah, gak pake helm, motornya gak lengkap, masuk jalur cepat, dan lain-lain, dan lain-lain yang kalau kita sebutkan di sini dua halaman juga nggak cukup.
Yang paling prihatin adalah saudara-saudara kita dalam melanggar peraturan itu (kata lainnya TIDAK DISIPLIN), mereka sepertinya tidak punya rasa bersalah ceroboh dan dilakukan secara BERJAMAAH  ikut-ikutan pula, bersama puluhan orang yang lain. Berarti ada penyebab yang kronis dalam hal ketidakdisiplinan ini dan tentunya tidak boleh dibiarkan makin meluas. Bukan tidak mungkin akan mempengaruhi sektor-sektor lain.
Lalu apa urusannya dengan saya ya? Dengan menulis ini apa saya bisa memperbaiki keadaan itu? "Kalau gak bisa ya jangan bawel", gitu mungkin ya komentar para pemerhati blog?
Bener sih, saya dan tiap masing-masing orang sudah pasti gak bisa memperbaikinya secara langsung, tapi bolehlah kita bertukar pikiran mencari akar masalahnya dan memperbaiki paling tidak untuk diri kita sendiri dan lingkungan yang dalam kontrol kita, misal lingkungan pekerjaan. Harapannya fenomena ketidakdisiplinan itu tidak menular ke lingkungan kita baik di keluarga maupun di pekerjaan kita.
Apa sih arti disiplin? Disiplin berarti melaksanakan secara sungguh-sungguh dan konsisten values atau nilai-nilai yang kita yakini atau yang menjadi kewajiban bagi kita. Nilai-nilai itu bisa yang ada di diri kita sendiri seperti agama, keyakinan-keyakinan, rules yang kita tetapkan sendiri karena kita yakini itu baik, dan lain-lain. Juga nilai-nilai dalam keluarga, dalam masyarakat, agama dan negara. Salah satunya adalah peraturan-peraturan lalu lintas yang kita jadikan contoh di atas merupakan salah satu nilai yang harus kita taati.
Menurut saya ada 3 tingkatan orang berdisiplin.

Disiplin Level-1, karena Takut Hukuman
Kita berdisiplin, melakukan perintah, menjauhi larangan, mentaati peraturan, hanya karena takut dengan HUKUMAN atau konsekuensinya. Level ini kalau di bangku kuliah setara dengan nilai C. Lumayan daripada gak lulus dapat D atau E yaitu nilai bagi para pelanggar peraturan baik masuk kategori ringan atau berat.
Ciri Disiplin Level-1 seperti apa? Mudah saja, karena takut dengan hukuman, maka kalau tidak ada atau tidak dilihat pihak-pihak yang bisa menghukum, maka kita cenderung melakukan ketidakdisiplinan atau pelanggaran.
Kita nyerobot lampu merah, melawan arus dan lain-lain karena yakin gak ada polisi yang sedang bertugas di situ atau memang selama ini setahu kita tidak pernah ada polisi di situ atau ada polisi tapi beliau-beliau tidak pernah melakukan penindakan. mungkin kasihan sama kita karena tampang kita sudah memelas dari sononya. Atau polisi dan orang-orang sudah frustrasi dengan para pelanggar, karena kalau ditegur malah galakan para pelanggarnya. Penegurnya malah dipelototin dan di-marah-marahin. Pusing yak...
Friendly speaking, penegakan hukum dengan penerapan hukuman yang konsisten sebenarnya sangat membantu untuk menegakkan disiplin pada awal-awal era penerapannya. Setelah semua orang aware harusnya dengan sendirinya akan menjadi budaya.
Walaupun demikian, sebagai leaders, kita harus hati-hati menerapkan disiplin dengan model "pemaksaan" seperti ini karena tidak selalu efektif.
Di lingkungan pekerjaan, penerapan disiplin dengan hukuman yang tegas biasanya diberlakukan untuk pekerjaan yang memiliki resiko tinggi, misal resiko keselamatan kerja seperti pekerjaan di plants, outdoor dan lain-lain. untuk pekerjaan kantoran lebih banyak dituntut kesadaran pribadi untuk berdisiplin.

Disiplin Level-2, Diri Sendiri
Level kedua ini nilainya B, di atas dari level sebelumnya. Paling tidak, karena di level ini seorang individu tidak perlu "ditakut-takuti" dengan hukuman. Pendek kata orang berdisiplin karena kesadaran dan kemauannya sendiri, baik patuh terhadap aturan atau values-nya sendiri maupun values masyarakat atau negara yang jadi kewajibannya.
Contoh paling kecil dan sederhana tentang patuh kepada diri sendiri misalnya program diet untuk upaya hidup lebih sehat. Perlu kedisiplinan untuk melakukannya dengan baik tapi merupakan urusannya dengan diri sendiri dan bersifat pribadi.
Contoh yang lain, ketaatan kita dalam melakukan ibadah ritual dalam agama kita. Gak ada paksaan kan? Tapi kita melakukannya dengan konsisten.
Untuk urusan ibadah dalam muamalah lain lagi. Lain kesempatan akan dibicarakan. 
Kita sebagai leaders, di keluarga maupun di kantor, punya kewajiban menanamkan dan memperkuat disiplin pribadi ini di lingkungan yang menjadi tanggung jawab kita. Tidak boleh capek untuk saling mengingatkan.

Disiplin Level-3, tumbuh dari Respect dan Berpikir Lebih Jauh
Level ini InsyaAllah rasanya jauh lebih punya impulse daripada dua level sebelumnya. Di Level-3 orang tidak melanggar aturan atau tidak melakukan tindakan-tindakan indisipliner karena adanya RESPECT atau rasa hormat kepada orang lain, lingkungan, aturan dan bahkan ajaran agama dan keyakinannya.
Nilainya setara A, lulus dengan sangat bagus karena selain self dicipline juga sangat dikuatkan dengan respect yang merupakan interaksi dengan orang lain.
Contohnya mungkin lebih mudah masih tentang lalu lintas tadi. Orang lain ramai-ramai nyerobot lampu merah kita tetap berhenti dengan tenangnya di belakang garis menunggu lampu hijau. Jadi manusia aneh? Ya biarin aja. That's what we called cool. 
Kenapa bisa begitu? Itu semua karena kita meyakini bahwa kalau kita nyerobot bisa berbahaya bagi kita dan orang lain dan dengan melakukan itu sadar atau tidak, ada hak orang lain yang kita cederai. Di samping itu pada level ini dipastikan sudah tertanam values dalam diri kita bahwa peraturan itu dibuat demi kemaslahatan umat dan kebaikan bersama.
Di tempat kerja contohnya kita tidak pernah terlambat menghadiri undangan rapat apalagi kalau peran kita sangat diharapkan dalam rapat itu. Bisa begitu? Apa karena ada kenclengan denda 100 ribu bagi yang terlambat hadir rapat seperti yang dulu berlaku di CFU WIB dan NITS? Tidak karena itu. Pendorongnya adalah keyakinan bahwa pada setiap menit rapat tertunda karena menunggu kita, terdapat kerugian para peserta rapat yang sudah hadir tepat waktu.
Apa berdosa kalau kita telat? Saya yakin kita berdosa karena telah berbuat tidak adil atau dholim dalam urusan muamalah.
Contoh lain yang baik misalnya kawan-kawan tidak pernah terlambat datang ke kantor walaupun kita tahu sudah tidak ada lagi sistem absensi menggunakan jam ceklokan seperti jaman saya dulu atau pada era berikutnya agak lebih canggih dikit menggunakan sistem absensi pemindai sidik jari. Boss-boss kita sudah percaya kepada kita makanya beliau-beliau menghapuskan sistem absensi. Buat kantor lumayan gak perlu capek pembelian sistem absensi, buat kita lebih enak karena pada jam pulang gak perlu antri di ceklokan absensi.
Lebih dari itu, kita patut berterima kasih karena sudah dianggap dewasa dan thrusted, sudah disiplin dengan kesadaran sendiri karena respect kepada kantor dan kepada kawan-kawan lain yang membutuhkan hasil kerja kita.
Case para pelanggar aturan di jalan yang tidak merasa bersalah dan ngeyel kalau ditegur, adalah salah satu akibat tidak adanya RESPECT dan lemahnya interaksi lingkungan dan keluarga dalam konteks disiplin. Kita nggak begitu kan?
Maka bila ada di antara kita, saudara atau anggota yang berperilaku begitu, wajib bagi kita untuk amar ma'ruf nahi munkar, menyeru kebaikan, melawan kemungkaran. dengan tangan, dengan mulut atau selemah-lemahnya iman, dengan hati. Paling tidak, kita sendiri harus disiplin dulu, mencapai Level Dua. Begitu lah kira-kira.
Kita harus sadari bahwa setiap langkah kita bisa merupakan teladan bagi orang lain, apalagi bagi keluarga dan posisi kita dituakan dalam keluarga itu.
Mungkin orang tidak menyadari dengan memboncengkan anaknya naik motor ke kantor kemudian dia melawan arus, melabrak lampu merah, grusah-grusuh, itu merupakan bagian dari ajaran-ajaran kita tentang disiplin kepada generasi penerus. Perilaku kita itu akan meresap ke alam bawah sadar anak-anak dan mereka merekam tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan yang legal, wajar, boleh dilakukan. Ngeri bukan?
Oleh karena itu pendidikan tentang respect kepada orang lain, respect kepada aturan, janji, komitmen dan lain-lain sangat penting ditanamkan kepada keluarga kepada anak buah dan lingkungan. Setiap masing-masing dari kita, disadari atau tidak, adalah role model. Tingkah laku kita diperhatikan lingkungan dan mempengaruhi tingkah laku orang lain.
Respect atau rasa hormat, saling menghargai adalah penghulu dari disiplin dan sikap-sikap positif lainnya. Hayo saling menghargai....
Wallohu'alam bishshawab
Wassalamu’alaikum wr wb

Agar Ide Selalu Mengalir dalam Kepala

Agar ide di kepala selalu mengalir:
1. Pertajam panca indera anda. Apa yang dilihat, dirasa, diendus, didengar, dikunyah adalah ide dengan taburan bahasa.
2. Amati segala di sekeiling, kalau ada yang unik di catet. 5w 1h
3. Mentok nyut2an silakan, tapi jangan nyerah. Idea is everywhere, even when you see empty sky.
4. Coba sesuatu yang baruyang penting baik,, belum pernah dilakonin. Entah dimarahin atau didamprat, you got something new in the end. . Jalan dan jalan, perbanyak piknik
5. Catat apapun, rangkai kemudian. Semoga ketemu asosiasi bentuk wc leher angsa dengan baso beranak.
6. Mau bahasa kaya gimanapun, omongin dan tuliskan ide tersebut. Mumpung mimpi masih gratis. Kalau beli obat tidur bayar
7. Tingkatkan perlahan, sedikit demi sedikit, edit ketika udah beres idenya.
8. Pede aja, kalau dapat sesuatu ya hargai diri sendiri sebagai pencapaian.
MANTAP KAN?

Minggu, 19 Januari 2020

Qiyas Menyeimbangkan Kehidupan

Jadilah pendamai, namun jangan jadi permisif, karena pohon rindang pun butuh akar untuk berdiri, agar tidak goyah dihempas angin, maka manusia pun butuh pijakan, agar mampu bedakan teman baik dan buruk.
Jadilah lemah lembut, namun janganlah kau merendahkan diri. Kail yang menarik ikan meski lentur, tetaplah tidak mudah bengkok. Maka jadilah orang lemah lembut yang lentur tapi teguh memegang prinsip.
Jadilah kau orang yang teguh tapi jangan sampai menindas. Pedang dan tombak yang tajam punya gagang agar mereka bisa dipegang, maka janganlah keteguhan soal nilai menjadikanmu jadi tertutup dan memandang rendah yang lainnya, tetaplah jadi yang bisa diandalkan dan terpercaya.
Boleh saja waspada, tapi jangan sampai penuh prasangka. Masakan sup matang dengan panas kompor yang tepat, tapi meleleh bila dipanaskan terlalu lama. Jangan buat dirimu susah dengan terlalu banyak menebar curiga.
Boleh saja punya harapan, tapi jangan terhenti jadi khayalan, yang kelak hilang lalu lalang jadi fatamorgana . Mencapai langit pun kamu butuh pesawat, jadi segera bangun pesawatmu biar harapanmu lekas dipeluk
Maka kamu sesekali berhak untuk percaya diri, tapi jangan sombong. Sekuat-kuatnya batu karang, rubuhlah ia karena dihantam ombak yang halus. Sombong hanya jadikan dirimu kerdil karena tidak semua kepercayaan dirimu hasil daya upaya mu sendiri.
Dan itu adalah hakmu untuk jadi pencair suasana bagi sekitarmu, tapi jangan membuat mereka terlena, ataupun lupa mereka berbeda batas kesabaran denganmu. Seimut-imut kelinci, kaki mereka kuat untuk meloloskan diri dari elang. Maka janganlah kau terlena ketika kau mampu jadi penghibur, sehingga tiba-tiba kamu terperangkap dalam leluconmu yang tidak selalu menyenangkan bagi yang lain.
Kamupun berhak untuk kecewa, tapi jangan menabur dendam. Kembang api memang indah , tapi hanya bila kau lempar ke langit, bukan ke segala arah. Maka simpanlah kecewamu , salurkan padaNya, lalu pada orang yang kau percayai, biar kecewamu tak jadi arus dendam membinasakan .
Maka kamu berhak untuk menjadi bijaksana, tapi sesekali luangkan waktumu untuk bercanda. Bahkan bambu yang mengalirkan air mengikuti alirannya, agar ia tak tenggelam karena beratnya. Maka janganlah kau batasi dirimu lantaran kau rasa dirimu berilmu,sejenak buka sekat pikiranmu dan jadilah sosok luwes yang bersahaja.
(Source: Rendy Saputra " Simposium Kepemimpinan 8 Januari, the idealist)

Senin, 13 Januari 2020

Kelelahan yang Kita Rindukan: Puzzle Kepingan Kenangan Manusia tentang Pengorbanan

Saya masih ingat ketika mempelajari cerita pendek secara serius untuk pertama kali. Momentum itu bertepatan dengan masa menunggu terbitnya kartu tanda penduduk Jakarta dari kelurahan. Saat itu, saya berinvestasi setengah juta, untuk berguru secara resmi kepada salah satu kantor media terkemuka tanah air.  Kebetulan, media tersebut merupakan salah satu majalah yang sering saya 'sempatkan' baca ketika mengunjungi rumah almarhumah nenek. Ketertarikan saya pada dunia mengolah imajinasi, menghilangkan keraguan untuk memilih fiksi sebagai 'mata kuliah' tambahan pada sore hari itu. Sang guru yang mengampu kelas fiksi ini pun bukan sembarang orang, maka tak heran bila kelas yang berkapasitas seratus dua puluh orang itu, terisi sekitar delapan puluh kursi lebih, termasuk oleh saya. 

Guru fiksi tersebut memang seorang sastrawan wanita yang populer sejak awal era tahun 1990. Beberapa karyanya yang monumental antara lain adalah 9 dari Nadira, Malam Terankhir, hingga yang terbaru, Laut Bercerita. Beliau adalah Leila S. Chudori, seorang ibu yang berhasil menurunkan ilmu sastranya kepada putri sulungnya, yang juga turut menelurkan karya dalam 3 tahun terakhir. Sayangnya, sesi berguru pada bu Leila hanya dibatasi dua setengah jam, dan festival menulis yang membuat saya membawa pulang secara gratis 1 buah buku biografi besar itu rupanya hanya "pembukaan". Di akhir sesi bu Leila, disebarlah pamflet pilihan kelas menulis untuk periode setengah tahun dengan tarif yang menghabiskan sepertiga gaji bulanan. Minat sudah ada dalam dada, namun apa daya tahun 2017 adalah salah satu waktu terburuk bagi kondisi finansial saya. 

Setelah belajar mencari uang tambahan dengan berjualan makanan gorengan, saya pun meniatkan diri mengikuti kelas menjadi buku. Kebetulan, meskipun genre yang diangkat adalah kisah testimoni non-fiksi, tetap saja melatih kemampuan saya untuk bercerita secara efektif. Untungnya, saya masuk ke dalam grup dimana para anggotanya saling menyemangati untuk menyelesaikan antologi, dengan bantuan mentor yang suportif. Jadilah Agustus 2018 menjadi momen peluncuran antologi pertama saya. 

Waktu kemudian bergulir hingga pertengahan tahun 2019, dimana saya mendapatkan sesi kuliah cerita pendek yang lebih serius, dari komunitas Excellent Family Writer, atas rekomendasi salah seorang bookseller yang sudah cukup akrab dengan perangai pelanggannya.  Kendati saat itu sudah terjadwal  untuk travellling ke Australia selama satu minggu, saya tetap berusaha menyelesaikan tugas harian dari komunitas ini. Tak pelak, satu atau dua kali saya pernah kena damprat orangtua dan istri, karena terlihat asyik mengerjakan tugas di whatsapp, meskipun sedang liburan. Memang harus diakui, tugas mengulas cerpen yang dipilih oleh komunitas ini membuat mata saya lebih terbuka tentang struktur dan substansi cerita pendek yang lebih kritis. Dari sesi diskusi yang diadakan pasca tugas harian, secara tersirat para mentor menyarankan peserta untuk menjadi 'lebah tanpa sengat'. Maksudnya, setiap kali kita menulis sebuah cerita, diusahkan makna yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut menyasar pada permasalahan yang terjadi di sekitar, sehingga setiap paragraf mengandung daya kritik atau pencerahan sosial. 

Seusai lulus di bulan Juli 2019, mulailah saya memacu diri terjun di beragam lomba. Hingga saat tulisan ini diturunkan, tak kurang dari tujuh cerpen selesai dan lahir dari tangan saya, termasuk yang pernah dibaca oleh komunitas One Day One Post: "Kutunggu Engkau di Podium".  

Awalnya, cerita yang saya poles dari kisah teman kuliah lain jurusan yang pernah terlibat narkoba ini, diikutsertakan untuk sebuah lomba yang diadakan sebuah penerbit independen. Tetapi, karena tingginya kriteria penilaian, saya harus cukup puas melihat bahwa cerita ini hanya dinilai 71, dimana juara satu dari lombanya memperoleh nilai 95. Tatkala momen tantangan One Day One Post datang, saya kembali memoles cerita ini, dengan beberapa tambahan materi. Yang cukup melegakan, bercerita di blog tidak dibatasi halaman, sementara syarat lomba sebelumnya lumayan membatasi. Hanya boleh terdiri atas lima halaman, seribu lima ratus kata. Sebuah batasan yang kerap mendorong saya untuk memilah substansi dan diksi berkali-kali, supaya semua kata yang ditulis tidak melewati batas penilaian. Syukurlah, ketika disebarluaskan untuk tantangan blog, ternyata menuai respon positif. 

Esensi yang diambil dari cerita "Kutunggu Engkau di Podium" adalah tentang pengorbanan seorang anak untuk membuat situasi hidup ayahnya lebih baik, kendati sempat berada di posisi pesakitan. Berangkat dari esensi pengorbanan inilah, saya tergerak untuk menyusuri gagasan-gagasan lain tentang warna-warna perjuangan seorang manusia didasari oleh ketulusan.  Maka, besar harapan saya, setelah karya ini tercetak, mampu mengguggah para pembaca, khususnya saya untuk melihat keindahan dibalik suatu pengorbanan. 

Apa yang membuat seorang manusia rela berkorban? Tentu jawabannya beragam, tetapi sebagian besarnya adalah karena penyesalan dan kehilangan. Mengutip lagu berjudul SlipOut, salah satu soundtrack dari anime berjudul Beck, "Regrets Tell Me How, To Make Any Hard Decision.", maka salah satu tujuan utama manusia berkorban adalah untuk menyukseskan kepuasan batinnya dalam memenuhi keputusan sulit. Sebagai contoh, demi mempertahankan harga diri putrinya, seorang ayah rela masuk penjara karena menuntut keadilan pada pemerkosa anak gadisnya, atau mungkin bentuk lainnya, adalah kesetiaan seorang pawang hewan untuk mengutamakan nyawa para satwa, hingga lupa tubuhnya yang sudah renta. Masih banyak lagi contoh-contoh pengorbanan lainnya, yang mungkin saja cukup maksimal untuk menarik gravitasi dari pelupuk mata. 


Berangkat dari pertalian kisah tentang pengorbanan ini, maka saya mencoba menantang diri untuk menyusun belasan kisah lainnya. Takkan ada yang betul-betul serupa dengan "Kutunggu Engkau di Podium", namun  saya jamin benang merah tentang pengorbanannya tak akan lenyap dalam inkonsistensi tema. Beberapa sumber kekuatan yang mungkin akan saya andalkan dalam menyusun barisan kisah -kisah dalam kumpulan cerpen "Kelelahan yang Kita Rindukan, utamanya adalah kenangan tentang orang-orang terkasih dan terdekat yang telah lama menghadap Yang Maha Kuasa, serta beberapa cerita dari komik favorit yang mewarnai masa kanak-kanak dan remaja. 

Sekedar kisi-kisi, dari kompilasi yang insha Allah akan ditelurkan Maret nanti, berikut adalah blurb dari lima cerita yang akan saya upayakan untuk selesai akhir Januari ini: 

1. Pukul 00:00 Tahun 2001: 

Resolusi, resolusi, resolusi. Kata itu tertancap kuat di benak Bagir, keponakanku yang baru saja merasakan masa sekolah menengah pertamanya. Dia bilang padaku tempo hari, bahwa besar keinginannya untuk turut serta meramaikan pesta bakar kambing yang akan diadakan di rumah guru besarku, kendati belum sampai seminggu ia keluar dari bangsal rumah sakit. Aku penasaran, resolusi macam apa yang mau bocah itu laksanakan? Semoga saja bukan tentang bertambahnya koleksi game di rumah yang sudah memenuhi sekujur lemari. Aku masih ingat, betapa cueknya dia terhadap ibunya, kakak sulungku. Sampai-sampai, demi nafsu bermainnya, kakakku harus mengantar dia belanja disaat tubuh sedang meriang. Heran, mengapa lagi-lagi ibuku membolehkan dia? Apakah aku harus kembali jadi anak kecil juga supaya saranku sebagai penempuh spesialis anak akan turut didengar?

2. Jakarta, 2 km/jam:

"Kak Henri, dari buku-buku ini mana yang mau disumbangkan? Jumlah baju kakak saja kalah dari semua tumpukan ini."

"Semua buku ini akan kakak baca selama masih bernafas, Kinan. Memang kata orang, piknik di luar dan bergaul itu penting. Tetapi, buku-buku ini tak pernah kenal soal gosip-menggosip dan memfitnah orang. Bahkan, mereka tak perlu menjilat untuk menyenangkan para pembacanya yang kritis. "

"Hush, Kak! Aku ngeri dengar kata 'masih bernafas'. Nanti kalau kakak tiba-tiba sudah tidak bisa nafas, bagaimana?"

"Ya, tinggal lambaikan tangan dan segera meraih oksigen. Udara itu ada dimana-mana kok, Kinan. Ya sudah, aku pergi meliput dulu. Besok liputan harus naik cetak,nih"

Aku tak pernah menyangka bahwa itu adalah dialog dan momentum terakhir bersama Mas Henri. Sebelum senja yang mencekam itu turut menjadi saksi atas mengepulnya asap dan merembesnya darah di persimpangan jalan. Siapa yang tega berbuat seperti itu padamu, Mas?



3. Tas Selempang di Ruang Tunggu Bandara: 

"Jadi, kamu yang membawa tas saya?"

"Iya, bu. Maafkan saya. "

"Huh! Gara-gara kamu saya ketinggalan pesawat! Sekarang kamu harus tanggung jawab!"

Kemudian ibu berjilbab coklat itu merogoh seisi tasnya. Dibuka kancing utamanya, lalu diobok-obok seisi dalamnya. Dari tatapan matanya menuju  ruang-ruang yang serius, aku cukup memaklumi kerisauan dan kecurigaanya. Seandainya saja waktu bisa kuputar kembali, aku takkan terburu-buru mengambil tas yang salah, higga membuat kesempatannya untuk pulang tertunda. Satu-persatu, kulihat ia menerawang kembali setiap benda yang ada dalam tas berwarna marun itu: kartu penduduk, beberapa lembar dokumen, aksesoris, lalu tatapannya berhenti lama saat membaca secarik kertas krem yang tampak sudah kusut sehabis diremas.  Samar-samar, ku dengar suara sesenggukan, kukira dari ia yang sedang menatap dalam-dalam kertas krem tersebut hingga mukanya tertutupi. 

4. Kabut Pelahap Gema: 

"Jadi, kamu tidak akan tinggalkan bisnis ini, Devie? Lalu bagaimana dengan rencana kita untuk pindah ke luar negeri setelah menikah?"

"Sampai dalam waktu yang tidak bisa kutentukan, nampaknya bengkel ini belum bisa dipercayakan pada siapapun, Faza. Kalau dirimu memang ingin mencari wanita yang siap ikut kamu kemana saja, masih belum terlambat untuk membatalkan semua persiapan akad dan resepsi kita. Aku pun siap menanggung biayanya. Tetapi, sampai dia kembali, bengkel ini tetap aku pegang. "

"Devi, aku mohon kamu realistis. Kita kan sudah lamaran dan tidak mungkin terus tenggelam dalam ketidakpastian. Kita doakan saja dia tetap selamat, sambil kita cari orang yang bisa ambil alih peranmu "

"Ya, aku pun ingin kamu turut mendoakannya. Bagaimanapun, dia kakak iparmu dan sudah menjadi ayah kedua bagiku. "



5. Tangga Menuju Lantai Tiga:

"Diluar sudah malam, Bro. Mending menginap saja dulu. Lagian, lihat ni berapa suhu termometer di HP."

"Subhanallah. Gapapa nih, kalau aku pinjam sofamu sehari?"

"Ya ndak papa. Namanya juga teman. Jadi, visamu habis akhir September ini, Ndan?"

"Ya, per  30 September nanti aku udah ndak sah jadi pelajar New Zealand.  Ha ha ha."

"Nanti kalau mau beberes rumah, boleh ya aku minta beberapa barangmu."

"Tentu saja."

___
___

Zul, bertahanlah. Semoga matamu masih terbuka, saat nanti kusambangi Rembang. Aku masih berhutang banyak sekali padamu. Tentang rantai sepedamu yang sempat kupinjam. Jaketmu yang menghangatkan hari-hari menghadapi dinginnya New Zealand. Rencana kita kembali menjamah benua Australia. Termasuk mencicipi bisnis acara pernikahanmu yang katanya sukses itu. Kumohon, ya Allah, berikanlah Zulkifli lebih banyak kekuatan untuk menghadapi ujianmu. 


Demikian cuplikan dari rencana kumpulan cerpen saya. Bagaimanakah kisah lengkapnya? 

Coming Soon, on March 2020

"Kelelahan yang Kita Rindukan" 

Rabu, 08 Januari 2020

Bila 2011 Kita Serius, Akankah Hari ini Sama?

Ku mencoba sembunyikan sedihkuDan ku coba hapus semua tangisku
Ku ingin mengusir semua sunyi dan sendiriIngin lupakan cintamu
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
Aku ingin tak ada yg tahuKesedihan yang melanda diriku
Ku ingin mengusir semua sunyi dan sendiriIngin lupakan cintamu
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
Mungkinkah semuanya memang untukkuPedihku tak terhitungSaat semuanya terasa menjauhDan tinggalkan diriku
Tak pernah ku dapat cinta sejati hingga sekian kaliMeski segalanya telah aku berikan tapi selalu saja berakhir
(Mencari Cinta Sejati- Shanty, 2006)
Lagu ini merupakan salah satu tembang yang cukup sering memainkan emosi di sekujur syaraf. Selain karena yang membawakannya adalah seorang mantan VJ MTV yang pernah jadi favorit, lirik ciri khas tembang populer modern ini seakan searah dengan konflik rutin yang bersemayam dalam para petualang cinta yang ingin menyegerakan usainya 'capek hati'. Di sisi lain, sungguh sang VJ yang kini berumur 40 tahun itu sangat 'berperan' dalam memprovokasi otak saya tentang kriteria wanita. 
2011, 2011, 2011. Berulang-ulang tahun itu bersemayam dalam kepala: di dalamnya terdapat banyak momentum berharga yang mengubah persepsi pemikiran dan pergolakan batin saya. Antara keputusasaan dan harapan baru, kegelisahan dan kelapangan, prestasi dan ketidakpastian, semua telah berbaur di dalamnya. Termasuk sejarah 'kelam' bahwa saya harus berlapang dada bahwa diri ini bukanlah tipikal lelaki sejati yang diidamkan banyak wanita. I am not a perfect person, I wish I didn't do a thing i won't do. 
Sepanjang semester pertama tahun itu, saya masih menyimpan dialog-dialog pertengkaran dan memanasnya kompetisi ego dengan dia yang pernah bertahta dalam hati.  Suatu ketika, saya pun terperosok dari puncak rasa kecewa; manakala ia memutuskan hubungan di saat sedang menjalani ujian tengah semester. Tak lama, dia minta balikan, meski tak membuatku nyaman seperti sebelumnya. Di dalam puncak pertengkaran Mei, akhirnya saya yang memulai mencetus kalimat sakti itu. Dia menangis, saya tak lagi menggubris. Meski dia bilang. bahwa dirinya tak menghendaki demikian. 
Di saat sebagian orang pada umumnya sulit melewati keterpurukan seusai patahnya sebuah ikatan, saya mungkin termasuk spesies yang aneh. Hanya tertawa kecil, kembali sibuk sendiri, seakan-akan udara bebas kembali terhirup. Mungkin, saya bukanlah pria yang benar-benar tangguh: acapkali tergerak beringas manakala melihat ponsel dirampas dan diperiksa seksama seperti penumpang pesawat hendak melewati gerbang bea cukai. Tapi, yang menyalakan api dalam benak saya, adalah hanya karena beberapa ucapan yang sama sekali tak kasar, dia menilai 'anak mama', lalu melontarkan kata usai. Lebih-lebih, dalam beberapa kesempatan, entah kenapa setelah berkorban suatu hal yang cukup besar untuk dirinya, ada saja satu-dua hal yang membuatnya sedih dan marah berlebihan. Sebuah kepungan yang cukup untuk mendorong saya kembali bertanya, tentang arti cinta sejati, dan juga tentang makna keadilan dalam sebuah hubungan. 
Sepanjang Juni di tahun yang sama, menikmati panorama Suralaya, tempat magangku, adalah oase tersendiri. Meski rutinitas seperti kupu-kupu, kerja pagi pulang sore, kerja pagi pulang sore, menikmati hidup dengan tergeletak tidur di lantai halaman masjid adalah sebuah kenikmatan, disamping menghirup udara pantai di sore hari sambil menyantap nasi uduk. Telepon genggamku nyatanya pun turut merayakan 'hidup baru', jadilah fitur pesan singkat jadi kuda tungganganku. Untuk berkirim-kirim petuah atau berbagi cerita bersama beberapa orang teman. Termasuk, ia yang berasal dari sebuah universitas yang sama dengan ia yang sudah kuanggap usai, meski bukan gedung kampus yang sama. 
Memori kembali memutar ingatan-ingatan tersebut: tentang pesannya yang turut meramaikan jagat ponselku. Barangkali juga tentang wajahnya, hampir serupa dengan VJ MTV favorit, yang dibahas di paragraf pertama. Tapi, saya pun meresapi lirik lagu sang VJ. Takutnya, setelah memberi hati melalui pesan ponsel, justru malah menjadi petulangan rasa yang hanya berakhir 'lelah'. 
Tak perlu menunggu jadi petualangan, hati ini pun mulai didera 'lelah' dalam berteman. Seorang teman lain, begitu teganya, setelah beramah-tamah, berbagi-cerita malah berniat menjadikan saya pria simpanan. GILA! Apakah memang betul tampang saya ini lebih cocok jadi ban-serep kalau terjadi apa-apa dengan hubungan sah? Di titik itu,.... saya mengikrarkan diri untuk jadi manusia skeptis: jangan pernah langsung terbawa suasana ketika merasakan keramahan lawan jenis, tanpa memahami latar belakang dan perangainya terhadap sekitarnya. 
Tak lama kemudian, dia yang serupa VJ MTV favorit, -biar kusingkat sebagai 'mirip idola;-, mengajak 'bertemu', bukan hanya dirinya tapi juga keluarganya. Meskipun hanya pesan singkat, saya ambil serius terlebih dahulu, paling tidak sebagai bentuk menghargai bahwa orang siap saling membagi dan menerawang pribadi masing-masing. Si gadis mirip idola itu, tak sampai setengah hari, kemudian membatalkan janjinya, dengan terus terang "saya belum siap". Tak apa-apa, mungkin sesering mungkin saya harus melatih hati biar tidak jadi bandara: sekedar jadi tempat transit, tanpa ada yang berlabuh untuk membuat hidup terakit. 
Perlahan, saya pun belajar melupakan dirinya. Barangkali, memang tabiat manusia ini akan kembali seperti penampakan anasir alam. Ada yang seperti batu, ada yang menyerupai laut, seperti angin kencang yang berhembus, hujan yang terus mendera tanah, atau sekedar menjadi kabut sesaat di dalam asap yang mengepul. Meski demikian, saya tetap ingin menjalakan keadilan. Maka, saat dia yang mirip idola itu meminta :
"Bisakah kamu pura-pura jadi pacar saya? Saya lagi diintai."
Dengan semangat untuk membela yang terintimidasi, lagi-lagi saya anggukan kepala. Tanpa kusangka, berakhir kembali dengan situasi yang membuat naik pitam,...yang membuat saya berandai-andai: "Coba aja saya lebih kritis." Setelah 'berbohong putih', kenapa harus juga menjadi sasaran cemburu? Mengapa dia mengakui dirinya menyatakan cinta, tapi juga serta merta cemburu? Misteri, misteri, misteri, yang kadang tak pernah usai kujadikan gagasan cerita hingga kini. Namun, suatu hal traumatis yang tak bisa dilupakan untuk tak kuulang, setelah menjalani perjalanan rasa beberapa tahun silam, sejak 2009 akhir.  
Di suatu siang beberapa satir, saya mencoba berkomentar satir atas suatu tanggapan dari dia yang mirip VJ MTV. Tapi, kenapa lagi-lagi berakhir jadi unfriend media sosial? Tak mengapa, siapa yang tahu isinya kerajaan hati, beserta komposisinya? Barangkali, memang harus menguatkan diri bahwa unfriend bukan berarti akhir dari kemanusiaan, dimana unfollow tak serta melenyapkan rasa keingintahuan. Toh, atas nama kepentingan, kadang luka menganga bisa selesai dalam sekejap maaf, dan seekor binatang buas pun berhak 'menfollow' binatang buruannya. 
Ini mungkin, bukan tentang siapapun. Tapi tentang kita yang kadang terlalu banyak prasangka, dan sulit bergerak cepat dari pengalaman pahit. Bila yang bersangkutan membaca ini, anggap saja ini hanyalah ungkapan rasa untuk berbelanja diksi dan memantapkan kemampuan menalar situasi,...berikut tentang kenangan yang tersisa di lubuk kepala. 

JAKARTA, 2020, SEBELUM 10 JANUARI. 





Minggu, 05 Januari 2020

Belajar dari Penyesalan: Seni Menjadi Orang tua


Di suatu waktu, ada seorang profesor yang sedang mengajar hukum notariat di hadapan para mahasiswa S2nya. Mahasiswanya gabungan anak muda lulusan S1 beserta pria wanita yang sudah berkeluarga. Sang profesor adalahpria setengah baya lebih yang terkenal berani mengeluarkan mahasiswanya yang sibuk bermain ponsel maupun yang tidak serius di ruangan tatkala kuliah, disamping terkenal akan prestasinya mengatasi berbagai isu perijinan properti di kotanya.
Salah seorang mahasiswinya ada yang membawa bayi, dan menangis keras tanda rewel tatkala sang profesor masuk ke inti pembahasan kuliah. Segenap hadirin peserta kuliah menatapnya, dan sang mahasiswi tertunduk malu sembari tenangkan bayi mungilnya. Sang profesor hentikan sejenak kuliahnya, dan menghampiri mahasiswinya yang sibuk menenangkan bayinya. Ketika mahasiswinya mengira beliau akan menyuruhnya keluar, beliau malah menggendong bayinya, lalu mengatakan: "oke kita lanjutkan perkuliahan, saudara-saudara". Lalu sepanjang perkuliahan, sang profesor begitu khidmat menerangkan intisari kuliahnya hari itu.
Kala kuliah notariat usai dan hadirin bubar, mahasiswi tadi segera mengambil bayinya seraya meminta maaf: " Pak Dosen, maafkan anak saya rewel mengganggu kelas. Saya malu sudah menginterupsi kelas". Alih-alih gusar, sang professor justru malah menenangkan mahasiswinya: "Kenapa harus minta maaf? Itu sudah alami bagi seorang bayi untuk menangis dan ia masih seorang manusia yang belum tahu banyak hal. Ya saya memang tegas pada mereka yang main-main saat jam perkuliahan; lantaran teman-temanmu dan kamu memang sudah berumur, sepatutnya berdisiplin dan mengendalikan diri".
"Tetapi, bagi saya, kalian semua yang ikut perkuliahan saya adalah keluarga. Anak-anak kalian semua pun adalah cucu saya juga. Dari lubuk hati saya yang terdalam, saya menginginkan peserta didik bukan hanya cakap memangku jabatan dan amanah, namun juga tidak lupa tanggung jawabnya pada keluarga." Sang mahasiswi pun tertegun mendengar sang profesor, dan sang profesor menunjukkan foto keluarganya di mej yang masih hitam putih, hasil cetakan tahun 70an.Sang mahasiswi bertanya dan kagum sekaligus: "Wah anak-anak pak profesor lucu-lucu , bagaimana mereka sekarang
"Ketahuilah, dek. Yang masih hidup menemani saya sekarang hanya si tengah dan si bungsu yang sudah sukses melanglang buana(sambil menunjuk foto), si sulung sudah wafat saat masih balita." Mahasiswinya yang sambil menggendong bayi pun ikut prihatin :"Turut berduka cita pak, maaf saya tidak tahu bapak punya kenangan seperti itu"
Profesor pun melanjutkan: "Tidak apa-apa, ya ini sudah takdirnya, meski saya sering sedih kalau mengingatnya. Ketahuilah, dulu saya sempit memandang bahwa anak bisa sukses kalau ayahnya sukses. Maka saya tenggelamkan diri dalam bekerja agar naik karir, hingga sering saya mengelak sampai berbohong kalau si sulung minta saya menemaninya bermain lantaran lelah dan sibuk. Tidak sibuk pun, saat si sulung merengek dan saya butuh istirahat, tidak jarang saya keluar nada-nada mengecam penuh prasangka . Ah, hingga suatu hari saya harus selesaikan kerjaan mendadak, si sulung minta temani main, saya tolak. Dia akhirnya main sendiri keluar, dan disitulah saya terakhir melihat ia bernafas"
Sembari sedikit berkaca-kaca, beliau menegaskan dengan suara parau: "Kalau saya tegas dalam ruangan kelas, dan tidak ingin mahasiswa bermain-main, itu tidak lain adalah agar kalian bisa menghargai setiap waktu ada; saatnya belajar ya belajar, main ya main. Anak-anak dan orang tua pun butuh waktu bersama kalian, bukan sekedar uang atau ijazah. Uang dan ijazah berharga, tapi takkan ada yang bisa gantikan waktu bersama keluarga."
"Semenjak saat itu, saya manfaatkan setiap waktu yang ada, lalu bercengkerama dengan anak saya yang lain, dan juga saling berbagi iman, taqwa, dan wawasan, dalam teladan. Saya pun tidak malu juga untuk meminta maaf duluan bila saya yang salah dan itu yang membuat hidup saya damai hingga sekarang.. Baik, sepertinya sudah cukup sore, sekarang kita pulang saja. Tuh, anakmu bobo pulaas sekali. "
Lalu profesor dan mahasiswanya berkemas,... Sesaat sebelum profesor bergegas menuju pintu, sang profesor kembali berpesan: "Oh ya mbak, nanti bila kau tak jadi notaris sepertiku, kau tak usah malu menjadi ibu yang bekerja dalam rumah di bidang apapun, asal halal barakah. Kalau kau gagal jadi orang hebat, jangan menyerah untuk menjadi orang tua dan anak yang gigih bagi keluargamu. Kamu nanti akan merasakan bahwa menjadi orang tua adalah pencapaian terbesar yang melampaui kebanggan ijazah ataupun setumpuk predikat mulia"
(Source: Ini Untuk Dibaca, Ayah Edy Parenting)

Kamis, 02 Januari 2020

Pak, Debit Rencana itu Bukan Takhayul

Bekasi tanggal 1 Januari pukul setengah lima pagi adalah satu dari sekian banyak tanggal dimana telingaku saat itu tak mendengar sayup suara adzan. Alih-alih, hari itu aku dan keluarga besar istri terkejut, lantaran air telah merembes masuk hingga tulang kering kaki. Lantai yang semestinya berwarna putih, bercampur dengan warna kemuning air kali beserta benda-benda yang dihanyutkannya. Anak kami yang masih kecil meminta untuk main, karena sudah jam tujuh pagi pun harus dihalangi, lantaran air terlalu kotor.

Tak butuh waktu lebih dari 24 jam agar air itu surut. Kendati demikian, saat air masih pasang, terdengarlah sayup-sayup suara anak kecil bermain di luar. Rupanya, ember, baskom, dan gelas jadi bekal mereka untuk bercengkrama bersama air bah. Suara air itu begitu merdu, larut bersama tawa mereka. Sebaliknya, riak air itu terdengar sumbang untuk aku yang menyadari bahwa si roda empat tergenang setengah badan.

Ashar tiba, depresi sedikit menghinggapi tatkala melihat bahwa seisi interior mobil telah menjadi kolam, terkecuali bagasi. Orang kiri kanan berkomentar tentang turun mesin, namun tak kugubris hingga tiba waktu untuk memanggil bengkel. Pikiranku jauh lebih tertuju tentang bagaimana agar air tak lama menjadi kolam, dimana yang nyaman untuk berkunjung adalah bayi-bayi lalat dan serangga lain. Dalam hidup, pernah ada suatu kejadian yang sama sekali tidak lucu, saat pernah 'berinteraksi' dengan serangga loreng yang kemudian membuat infus lama menancap di sekujur badan.




Kawasan rumah mertua saat tergenang


Jepang saat tergenang banjir.


Mungkin ini adalah cuplikan rumusnya. Sayangnya, setelah kuliah, saya tidak menseriusinya. Padahal, bila menelusuri lebih jauh, rumus ini bisa menjadi fondasi bagi penaksiran kapan terjadinya banjir. Minimal, bisa menolong diri sendiri untuk menaksir "oh tanggal segini bakal kelimpahan air di rumah", sehingga sebelumnya bisa mengosongkan rumah. Kejadian kemarin, mulai mendidik diri ini bahwa adalah suatu kenaifan bila mengira bahwa setiap segmen kehidupan kita takkan bertemu dengan gejolak alam. 

Menyusul kejadian banjir massal ini, cukup merasa beruntung bahwa internet kekurangan sinyal. Kalaupun sinyal meletup, kepalaku mulai pusing dengan isi media sosial yang dibanjiri hujatan terhadap otoritas a,b,c,d,dan e,....meski tidak menampik bahwa memang kesenjangan itu nyata. Bahwa biasanya yang distigmakan ceroboh adalah warga biasa yang buang sampah sembarangan, sementara pabrik yang membuang limbah berton-ton, sudah biasa pula pasang aparat untuk 'membendung' amarah massa.

Sambil membaca catatan dari Adam Hastara Aji, selaku pemonitor cuaca dari BMKG, saya berjibaku mengeluarkan sisa-sisa air dari mobil. Tak kurang dari 70 menit, meskipun mesin tabu untuk dijalankan karena tersegel unsur-unsur air, paling tidak saya enggan menjadikan seisi jok jadi kolam gratis untuk bayi lalat, larva serangga, hingga jentik nyamuk loreng. Sebagian orang disini cukup paham bahwa saya pernah diospek nyamuk loreng dengan cara yang lebih tidak lucu ketimbang budaya kebanyakan orang termasuk saya yang selalu reaktif menyikapi bencana. Karena selasa malam sudah kadung batuk, jadilah saya enggan keluar ketika suara hujan sudah menyerupai pancuran kolam renang ketikmbang gerimis.
Saat berusaha mengeluarkan air dari jok dengan menggenggam kanebo, perlahan isi kepala berkecamuk. Ingat zaman harus nyebur sungai dengan teman saya yang sudah lama wafat. Ingat rumus drainase, variasi gorong-gorong, hingga diskusi intens dengan pak dosen kepala lab air tentang sewerage. Kini pak dosen saya kemarin sempat masuk rumah sakit kemarin-kemarin, makin berkecamuk perasaan cemas. Cemas itu kemudian menjadi-jadi, saat kemudian genangan air itu memunculkan refleksi. 
Refleksi apa? Tatkala menguras seisi mobil, akupun terkenang pada petuah-petuah seorang dosen professor di jurusan kuliahku. Beliau yang sudah sepuh, acapkali berpesan bahwa merencanakan penanggulangan debit banjir bukanlah sebuah takhayul. Indonesia memang negara perairan, yang penampakan tubuhnya nyaris serupa dengan Jepang. Tapi, setiap tahun, kita, sebagai warga Indonesia lebih banyak menanggapi bencana alam untuk dijadikan bahan politik, lelucon, dan perdebatan yang tak pernah usai. Barangkali, inilah salah satu sebab mengapa dalam kaidah mitigasi, negeri Matahari, menurutku, masih juara. Kalaupun bukan juara, menurut kalian, silakan bandingkan warna air ketika banjir dari kedua negara yang berbeda.

 Silakan bandingkan sendiri. Aku tak hendak menyanjung negara tersebut, melainkan ini adalah persoalan kesiapan kita memahami bahasa alam yang begitu dinamis. Tatkala sang professor, pak Arwin Sabar, berpetuah bahwa debit rencana kuantitas air itu bukan takhayul, semestinya aku menalar dengan membayangkan bahwa gejala alam adalah suatu dinamika yang selalu bersinggungan dengan kehidupan manusia. Tetapi, saat kuliah beliau berlangsung, aku malah ikut arus dengan teman-teman lain untuk mengerjakan hal lain, lantaran bosan dengan petuah 'debit rencana' yang selalu diulang. Padahal, kuliah tersebut adalah refleksi beliau mengenai banjir yang melanda kawasan-kawasan di Indonesia, serta tentang naifnya sebagian besar wacana pembangunan dalam menafsir kekuatan alam.

Apakah yang dimaksud dengan debit rencana tersebut? Mungkin akan berbusa-busa bila aku ungkapkan istilah-istilah ilmiah, maka supaya sederhana sorot saja tafsiran perkatanya. Debit adalah tingkat aliran air, sementara yang dimaksud dengan rencana adalah segala sesuatu persiapan mengenai cara mengendalikan dan mengelola aliran air. Yang termaktub dalam frasa ini, adalah tentang perkiraan perulangan aliran air yang akan melalui sungai, bangunan air, dan infrastruktur lainnya. Katakanlah, dengan rumus dan pendugaan pola air, kita memperkirakan bahwa air kali dekat rumah akan meluap setelah 4 tahun, atau mungkin lebih cepat, dengan membayangkan apakah di sekitar kawasan air tersebut ada pembangunan tertentu atau tidak.

Metode Rasional Modifikasi: contoh  Perhitungan besarnya debit banjir rencana dengan metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut : Qt= 0,278 x C x 𝐼𝑇 x A 

Keterangan : Qt = debit banjir (m3 /dtk) 
                     C = koefisien pengaliran 𝐼𝑇= intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm/jam)
                    A = luas areal (km2 ) 

Tentang rumus yang kerap tak saya gubris serius. Q= 0.278. I, T, A. phi, debit rencana banjir. Hanya berpuas diri lulus ujian, kini sesal melanda karena tak menghayati. Tetapi memang begitulah kehidupan, setelah beragam ujian terjadi, barulah kita selaku manusia belajar hal-hal penting, dimana saat kuliah kita belajar dulu baru ikut ujian.
Benarlah teorimu, profesor. Maafkan saya yang kerjanya cuma catat tak membaca ulang. Kalaupun musibah itu memang telah jadi rutin, kapan saatnya otak ini berpikir lebih strategis? Mengapa tak kunjung lebih berpikir preventif daripada reaktif-kausatif?
Ya, apa yang berlalu biar berlalu, mungkin saya akan coba menalar ulang gejala-gejala alam. Dimulai dengan kembali merapal-rapal narasi-narasi dalam buku ekologi, itu paling mudahnya.
Entah kenapa, setelah berlomba-lomba api berlari mencari garis finish di langit, selama bertahun-tahun, tak banyak orang yang sadar bahwa awan dan seisi langit berhak untuk menangis. Menangisi ulah kita yang membuang sampah sembarang, menangisi hutan yang terus dieksploitasi dengan meremehkan reboisasi, membangun gedung-gedung, menara, hingga lupa seberapa kuat dan sabar alam siap menanggung sikap kita yang suka alpha dan ahistoris ini, bahkan mengabaikan larangan Allah yang membuat seisi alam murka. Hingga hari ini, yang membuang sampah sembarangan masih jauh lebih banyak disasar jadi kambing hitam ketimbang yang mengabaikan amdal lalu membuat hidup sebagian orang tak bisa memilih kemana mereka harus membuang sampah dan mewadahi kebutuhan hidup.
Barangkali, selain menyiapkan anak-anak di masa depan dengan pendidikan teknologi terbaik, bukan tidak mungkin harus menyiapkan mereka untuk lebih jeli menafsir gejala alam. Setelah berkali-kali kita banggakan perubahan dunia yang berlangsung cepat berikut iklim digitalnya yang membuat hidup semakin mudah, acapkali kita lupa kekuatan alam yang selalu menopang kehidupan sekloter mahkluk hidup, terlepas apapun gaya hidupnya.
Sebagai seorang ayah, saya pun mulai terilhami dari alam yang kerap 'memberikan kuliah' pada manusia: alangkah cerdasnya para manusia yang bersiap diri menafsirkan gejala alam lalu peduli bagaimana menyajikan hidupnya selaras dengan bahasa anasir-anasir alam.
Kebayoran Baru, 2-1-2020