Ziarah ini bukanlah film yang diisi aktor populer. Akan tetapi, film ini adalah salah satu karya anak bangsa yang telah memenangkan beberapa festival film di dalam
dan luar negeri. Tayangan sepanjang 90 menit kurang ini adalah sebuah sintesa dari 2 tema besar: mewujudkan kerinduan dan mengenang jasa para pahlawan.
Film ini dibuka dengan
sayup-sayup terdengar “sangkan paraning dumadi” yang dalam terjemahan
bebasnya berarti "asal dan tujuan hidup", di mana kita berasal dan
kembali. Dari judulnya saja sudah dapat kita terka, film ini tidak akan
jauh-jauh dari hal yang berbau kematian. Sekilas memang benar, namun tidak
diilustrasikan secara eksplisit, lebih tepatnya bagaimana memaknai
perjalanan hidup dalam menanti maut sebagai ujungnya.
Dikisahkan Mbak Sri
(Ponco Sutiyem) yang sudah berusia renta menghabiskan waktu di sisa hidupnya.
Sewaktu mudanya ia ditinggalkan suaminya berjuang untuk menghadapi penjajah
Belanda pada Agresi Militer ke-2 pada tahun 1948. Suaminya berpesan akan
berjuang, jika selamat ia akan kembali padanya, dan bila tidak mohon direlakan
bisa jadi ia gugur dalam peperangan.
Sekian lama menunggu, suaminya
tersebut tidak pernah kembali dan tidak ada beritanya. Sesuai dengan pesannya,
Mbah Sri menganggap suaminya sudah gugur. Maka dari itu, Mbah Sri pun cukup
mengunjungi gundukan tanah dengan bambu runcing berbendera merah putih sebagai
makam suaminya. Tujuannya adalah untuk berziarah mengenang suaminya tersebut.
Namun, suatu ketika ia
bertemu dengan veteran yang masih hidup dan menceritakan di mana suaminya itu
tertembak. Dari informasi yang serbatanggung itu akhirnya Mbah Sri menelusuri
tempat yang dimaksud tersebut. Harapannya adalah bisa menemukan makam suaminya,
dan kemudian akan dimakamkan di sebelah pusara suaminya ketika sudah meninggal
kelak.
Selagi hidup, keinginan
harus diperjuangkan. Tanpa kenal lelah Mbah Sri menelusuri beberapa daerah,
menanyakan kepada tokoh yang masih hidup dan para pejuang untuk menemukan
informasi yang utuh. Pencarian terus dilakukan, hal itu yang juga membuat repot
cucu lelakinya Prapto (Rukman Rosadi) yang akhirnya mencari neneknya yang pergi
tanpa pamit itu.
Dengan gigihnya Mbah Sri
terus mencari. Ia hanya berbekal nama suaminya Pawiro, foto pun tidak ada. Ada
titik terang dengan informasi sesama pejuang bahwa ada nama Pawiro yang berada
di sebuah daerah pelosok. Mbah Sri pun terus menelusuri tempat tersebut. Info
yang didapat ada makam yang bernama Pawiro. Dengan pantang menyerah, Mbah Sri
mengunjungi tempat yang dimaksud. Namun sial, ternyata setelah didatangi, makam
tersebut sudah tergenangi waduk program pemerintah..
Mbah Sri mendapatkan kejelasan tentang suaminya dari seorang veteran.
Akhirnya Mbah Sri hanya
bisa pasrah. Ia pun cukup nyekar dengan bunga yang ditabur
di waduk yang diyakini ada makam suaminya. Ia pun kembali ke rumah dengan
dijemput cucunya. Dan “suasana” normal kembali.
Tidak dinyana suatu hari
ada informasi bahwa ada makam yang bernama pejuang Pawiro. Dan akhirnya Mbah
Sri pun melakukan perjalanan kembali untuk menemukan makam suaminya tersebut.
Beberapa tempat sesuai info ditelusuri. Secercah harapan pun kembali hadir,
dengan makam bernama Pawiro. Namum, setelah ditelusuri jejak masa lalunya tidak
sama dengan suaminya tersebut, kesimpulannya pun didapat bahwa makam itu
bukanlah yang dicari selama ini.
Film ini akan lebih banyak bercerita tentang perjalanan Mbah Sri menyusuri lembah, gunung, perbukitan, dan berbagai bentang alam di pelosok-pelosok desa.
Dalam perjalanan panjangnya, ia akan bertemu dengan orang-orang yang yang tengah berdialog tentang tanahnya, orang-orang yang memperjuangkan tanahnya, dan orang-orang yang tersingkir dari tanahnya.
Perjuangan Mbah Sri pun tak pupus. Beberapa
saksi yang ditemui meminta info lebih spesifik. Untuk lebih jelasnya, Mbah Sri
memberi info yang lebih utuh, memberikan nama lengkap suaminya Pawiro Sahid.
Penelusuran terus
dilakakukan. Dan ternyata tidaklah sia-sia, mbah Sri berhasil menemukan makam
dengan nama Pawiro Sahid. Dan tidak diragukan lagi bahwa inilah makan yang
dicari-cari selama ini sebelum nanti usianya usai. Penonton pun bernapas lega,
namun ternyata cerita belum usai. Ada dua makam yang identik bersebelahan,
hanya beda nama yang satu bertuliskan Ki Pawiro Sahid dan satu lagi Nyi Pawiro
Sahid. Akhirnya kita menahan napas, apakah arti semua ini?
Bagi mbah Sri, perjalanannya mencari makam sang suami ini tidak sekadar menjadi perjalanan menyusuri sejarah cintanya, tapi juga menyusuri luka-luka sejarah bangsanya.
Perjalanan ini berujung pada sebuah temuan fakta yang menyakitkan.
Baginya rasa sakit itu berkah, karena dari situ ia bisa belajar tentang hakikat pasrah.
Dengan sikap pasrah itulah, ia berhasil mengais satu bentuk kemenangan, bahkan ketika ia terpuruk dalam kekalahan.
Suatu sikap yang membuatnya berhasil menemukan cinta dengan cara yang tak pernah ia duga.
Tidak dapat dipungkiri
Film Ziarah sangat “Jawani”, hampir
keseluruhan berbahasa Jawa. Penekanan cerita tak lepas dari filosofi Jawa yang
dituangkan dengan simbol-simbol yang penuh makna. Perlu mengerutkan kening juga
untuk menerjemahkan itu semua.
Film Ziarah ini
para pemainnya pun bukanlah bintang yang selama ini kita kenal. Menonton film
ini seperti melihat film dokumenter tentang perjalanan seseorang. Tampak nyata
dan natural.
Sepakat apa yang dikatakan kata BW Purwa Negara, sutradara
sekaligus penulis naskah film ini,
"Kalau sinema adalah hidangan, Ziarah bukan
piza atau burger. Lebih tepat seperti singkong atau tempe. Kalau film adalah
kendaraan, Ziarah bukan Ferrari tetapi sado. Ziarah dibuat
dengan segala kesederhanaan, tetapi dengan harapan dapat memberi makna," ujarnya
seusai pemutaran Ziarah pada Plaza Indonesia Film Festival
beberapa waktu lalu. Kompas.com
Cukup puas rasanya
menonton film Ziarah ini, banyak pelajaran dan pesan moral yang
dipetik. Tentang kesetiaan, janji yang tak pernah tertepati, perjuangan yang
tanpa lelah, serta bagaimana memaknai hidup itu. Hidup kadang ada di
persimpangan antara harapan dan ketidaksesuaian realitas. Berdamai dengan masa
lalu apalagi yang pahit memerlukan perjuangan tersendiri untuk menyembuhkan
“luka”. Tentunya bagaimana memaknai itu semua dengan bijak disertai kepasrahan
kepada Tuhan.
Mungkin inilah mengapa
kita dianjurkan berziarah. Kematian adalah sebuah keniscayaan, hanya menunggu
waktu pada saatnya. Urip mung mampir ngombe seperti
falsafah Jawa yang sering kita dengar. Mengisi perjalanan kehidupan itu yang
lebih penting, yaitu setidaknya kita sebisa mungkin dapat memberikan manfaat
kepada sesama dan lingkungan sehingga kita bisa bangga pada akhirnya kembali di
mana kita berasal.
Masyarakat Indonesia boleh berbangga
dengan salah satu karya anak bangsa yang satu ini. Film Ziarah, film karya BW
Purbanegara ini memang menarik perhatian penikmat film hingga memenangi
beberapa penghargaan, salah satunya Film Terbaik di Salamindanaw Film Festival 2016, Skenario Terbaik versi Majalah Tempo 2016, Nominasi Penulis Skenario di Festival Film Indonesia 2016, Nominasi Film Terbaik di Apresiasi Film Indonesia 2016 dan Kompetisi Film di Jogja Netpac Asian Film Festival 2016.
Selain itu dalam event ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017 yang diselenggarakan di Hotel Pullman, Kuching, Serawak, Malaysia, Sabtu, 6 Mei lalu, 'Ziarah' sendiri berhasil mendapatkan penghargaan Best Screenplay dan Special Jury Award.
BW sendiri selaku sutradara mengaku bahwa ia terinspirasi untuk membuat film ini dari pengalamannya menjadi
relawan ketika ia membantu para korbannya.
"Inspirasinya
banyak saya dapat dari Tsunami Aceh dulu yang sangat membekas di hati saya.
Saat Tsunami Aceh dulu saya bertemu dengan banyak orang yang bisa berdamai
dengan itu. Sata juga banyak bertemu dengan orang tua yang bisa bercerita
lancar tentang masa lalunya," ungkap BW.
Penghargaan Special Jury Award sendiri didapatkan oleh Mbah Ponco Sutiyem, yang dinilai luar biasa dalam memerankan mbah Sri dalam film 'Ziarah'.
Menanggapi hal ini, Ponco mengungkapkan rasa syukurnya. Ia pun menambahkan akan meminta persetujuan anak-cucunya jika ditawari main film lagi oleh BW.
"Saya merasa senang sekali (mendapatkan penghargaan), kalau ditawari lagi ya saya minta persetujuan anak sama cucu saya dulu," ucapnya sambil tersenyum.
Sebelum perjalanan menuju akhirat, sejatinya memang banyak kejutan yang menunggu di antara sisa-sisa hidup. Tatkala menyimak ziarah ini, saya kembali membayangkan beberapa kebiasaan kakek yang ditinggal pergi nenek. Setiap Jumat, beliau yang telah berkursi roda menyempatkan diri mengunjungi makam, kendati lokasinya terletak di daerah yang agak curam.
Sungguh, kadang kerinduan itu mewujudkan kekuatan yang ajaib pada manusia. Karenanya, jarak tak terhingga pun bisa tercapai dalam hati yang bertaut. Ziarah bukan hanya sebuah budaya, namun manifestasi kerinduan manusia dalam memahat jalan diantara jalan yang membentang.
Kayaknya bagus, Mas
BalasHapusYa nyaris 9 dari 10. Heheheh
BalasHapusYa nyaris 9 dari 10. Heheheh
BalasHapusFilm bagus ya. Jadi mau nonton juga. Tp blom ada kayaknya di bioskop lampung^^
BalasHapusalak yoha: ini memang film indie,...jadi nyari di toko DVD konvensional agak susah.
BalasHapusasliii penasaran pengen nontooon :)
BalasHapusBaru tahu ada film bagus ni ...
BalasHapusWow 9/10?? Kok aku gatau film sekeren ini 😱
BalasHapusDi youtube ad ka brian jd pgen nonton
BalasHapuspemeran utamanya sudah sepuh, tapi aktingnya sepertinya keren sampai dapat penghargaan
BalasHapus