Long distance relationship rasanya adalah hal yang lumrah didengar. Bagaimana dengan long distance parenting? Rasanya memang wajar namun tidak lebih populer daripada istilah yang pertama. Tidak lebih populer karena seringkali kita lupa, tidak menyadari, atau naudzubillahnya sering melupakan hal tersebut.
Kita sadari atau tidak, cinta orang tua meski anaknya berada dalam jarak yang tidak terjangkau adalah cinta tak mengenal kondisi. Saya ingat bagaimana salah seorang teman kerap dihubungi ibunya dari Riau untuk menjaga pola makan, lantaran dia sedang berkuliah di Bandung. Begitupun saat saya dulu berkuliah magister di luar negeri: orang tua kerap meminta 'laporan perkembangan' mingguan lewat video call.
Karena cinta orang tua seringkali tidak terbatas ruang dan waktu, maka bukan tidak mungkin beragam isi dalam wasiat disiapkan ketika orang tua merasakan risiko berhadapan dengan maut. Entah maut karena penyakit ataupun perang. Bahkan, bukan tidak mungkin setelah maut memisahkan, Allah memberikan 'izin' agar orang tua yang telah berpulang bisa 'bertemu' lewat mimpi.
Dalam sejarah animasi, bimbingan orang tua 'jarak jauh' pun lazim menjadi adegan fantastis. Seperti halnya dalam film 'Lion King', dimana sosok Mufasa sang bapak singa memberi petunjuk pada Simba yang kebingungan akan identitasnya. Tak terhitung pula contoh lainnya, semisal ibu dan ayah tokoh utama memberikan pesan kepada anaknya lewat contoh mimpi. Adegan ini biasanya menyiratkan suatu petunjuk penting: tentang apapun yang harus dilaksanakan sang anak atau keluarga dekat dalam waktu yang seksama, ataupun sekedar menguatkan anggota keluarga yang sedang 'linglung' mencari petunjuk.
Scene ini seringkali mengundang haru, meski tak sedikit yang mengundang tawa. Saya pribadi biasanya mengira bahwa adegan pertemuan orang tua yang sudah wafat mengunjungi anaknya adalah suatu hal yang menarik gravitasi dari kantung air mata. Barangkali, karena adengan lanjutannya berupa seorang anak yang terus menggenggam keyakinan dan pesan dari orang tuanya. Salah satu film dari sekian banyak tayangan tentang 'proyeksi' pesan orang tua yang sudah terpisah lain dunia, ada satu judul yang menarik, yakni "Sabtu Bersama Bapak".
Film garapan Monty Tiwa ini dirilis tepat dua tahun setelah novelnya rilis. Mungkin dari sini bisa terbayang rumitnya proses 'ekranisasi' dari lembaran-lembaran halaman panjang menjadi tayangan satu setengah jam? Beberapa kali sebelum tayang di tepat libur lebaran, cuplikan film ini membuat saya penasaran tentang berapa kadar keharuan yang ditawarkan film ini.
Setelah ditonton, nyatanya selain mengundang haru, tayangan satu setengah jam lebih ini cukup berperan dalam me-redefinisi-kan arti seorang laki-laki dalam keluarga. Film Sabtu Bersama Bapak menceritakan kisah tentang Gunawan (Abimana Aryasatya), yang mendapati dirinya terkena penyakit kanker. Kemudian, ia memberitahukan perihal kondisinya pertama kali pada sang istri, Itje (Ira Wibowo). Ada dua orang putra yang ditinggalkannya, Satya dan Cakra yang saat itu masih duduk di bangku SD.
Untuk menyiasati 'waktu singkatnya', Gunawan merekam banyak video yang nantinya akan ditonton setiap Sabtu oleh kedua anaknya beserta Itje. Substansi dari rekaman gambar merupakan pesan-pesan singkat dan petuah untuk kehidupan keluarganya di masa depan nanti. Selepas ia pergi, keluarga yang ditinggalkan mencoba bertahan hidup dengan membuka sebuah kafe.
Waktu bergulir cepat, Satya sang anak sulung (Arifin Putra) menikahi seorang gadis bernama Risa (Acha Septriasa) dan dikaruniai 2 orang anak bernama Rian dan Miku. Keluarga ini tinggal di Perancis dan jauh dari Bu Itje yang tinggal di Bandung. Sementara Cakra (Deva Mahenra), menjadi seorang pimpinan salah satu bank di Jakarta dan pulang menemui ibunya ke Bandung seminggu sekali.
Sabtu Bersama Bapak, Bukan Sekedar Drama |
Hampir sebagian tayangan pun memfokuskan pada kisah Satya dan Cakra yang memiliki masalah masing-masing di kehidupan pribadinya. Seperti Satya, misalnya, yang terus berusaha untuk menjadi suami ataupun ayah yang baik di keluarganya dengan berkaca pada kehidupan Gunawan selama ia hidup. Sedangkan Cakra adalah seorang jomblo yang masih berusaha mencari jodoh pada usinya yang menginjak kepala tiga.
Kisah Satya lebh terfokus pada pengelolaan rumah tangga beserta ekspektasi yang ada di baliknya Baik itu tentang prinsip-prinsip mendidik anak, atau justru bagaimana seharusnya sikap suami memperlakukan istrinya, lebih-lebih Satya bekerja di kota yang berbeda sehingga jarang pulang ke rumah untuk menemui keluarga. Konsekuensinya, Satya jadi ketinggalan banyak hal mengenai keluarga kecilnya, terutama istrinya Risa.
Setiap kali berbicang dengan Risa, Satya lebih banyak berbicara tentang tuntutan rumah tangga dan segala perencanaan biaya untuk beberapa tahun, ketimbang mendengarkan perasaan-perasaan istrinya. Suatu ketika, Risa kehilangan salah seorang anaknya. Satya sangat marah, kemudiaan membuat Risa cukup sedih, lalu meninggalkan rumah. Satya kemudian kebingungan, harus kemana mencari istrinya yang tak ada di tempat manapun yang ia ketahui.
Sementara itu, kisah Cakra lebih memfokuskan pada perjuangannya mencari jodoh. Bahkan, ia dibantu oleh asisten pribadinya yaitu Firman dan Wati untuk membantunya mencari pendamping hidup. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ayu (Sheila Dara) yang menjadi bawahan barunya di kantor. Dari sinilah, perjalanan cinta mereka dimulai.
Cakra mulai merasa cemburu, setelah salah seorang karyawannya turut menaruh hati dengan Ayu. Karenanya, Cakra mulai berusaha merapat pada Risa, kendati ia bukan orang yang terbiasa untuk romantis. Hingga pada suatu momentum, Risa bercerita bahwa ia dijodohkan orangtuanya dengan seorang pria. Cakra yang penasaran dan sedikit cemburu, mencurahkan perasaannya pada ibu; ternyata ia pun dijodohkan dengan seorang wanita di masa lampau.
Diam-diam, Itje sebenarnya sedang mengidap penyakit tumor di otaknya. Akan tetapi, ia bersikeras untuk merahasiakan, lantaran sudah berjanji pada sang suami tidak akan merepotkan kedua putranya. Lambat laun, baik Satya maupun Cakra menyadari penyakit sang bunda. Mereka bahu-membahu mendampingi ibunya; teringat mereka pernah kehilangan Bapak.
Satya sendiri kemudian menyadari beberapa hal yang penting telah terlewatkan olehnya. Anak-anaknya baru bercerita bahwa Risa selalu berusaha menjaga badan tetap segar dan terjaga selama di rumah, supaya Satya semakin mesra dan betah di rumah. Ditambah Satya menemukan berbagai catatan resep masakan buatan istrinya, semakin terkesiaplah dirinya bahwa memang ada sesuatu yang hilang di rumahnya, sebelum istrinya menghilang. Satya lalu menuju tempat dimana ia dan Risa pernah membagi kenangan. Risa muncul di tempat tersebut, tak lama Satya ungkapkan penyesalannya.
Di Indonesia, Cakra sedikit gugup lantaran ibunya berniat memperkenalkannya dengan seorang gadis. Tak disangka, gadis yang ternyata anak sahabat Itje tak lain adalah Ayu. Momentum itu kemudian membuat Cakra dan Ayu semakin lengket, hingga Ayu mulai mengerti alasan mengapa Cakra tak kunjung mencari pasangan hingga usia kepala tiga.
Setelah Satya dan Cakra kembali mendapatkan kebahagiaan yang mereka cari, masing-masing memboyong pasangannya untuk menonton video terakhir dari Gunawan di suatu akhir pekan. Pesan dari video terakhir itu cukup menyentuh saya. Apakah itu? Silakan menonton sendiri, dan rasakan betapa humanisnya perjuangan seorang ibu dan kedua anaknya mengelola kehidupan selepas seorang Bapak berpulang.
Jika ditinjau dari perbandingan novel dan filmnya, keduanya sama-sama membuat haru dan bisa jadi membuat anda menahan air mata, atau justru malah menitihkan air mata. Tapi di samping itu, akan ada adegan komedi yang akan membuat anda tertawa. Utamanya dari Cakra yang kerap kikuk dan terlalu menjaga image, sampai-sampai lupa situasi.
Seperti kebanyakan film yang diadaptasi dari novel, proses ekranisasi selalu menampung berbagai perubahan yang dinamis. Hal ini pun terjadi pada film Sabtu Bersama Bapak. Salah satu bagian yang menurut saya bagus, meskipun tidak banyak terekspansi dari versi novelnya adalah pendalaman kisah Satya bersama anak dan istrinya. Adegan ini menyiratkan bahwa memang parenting adalah sesuatu penanaman nilai yang berjenjang, lalu adakalanya disalahpahami karena pembawaan setiap anak berbeda dalam menafsirkan pesan orang tuanya.
Selain dari elemen tersebut, plot cerita asli di novel memang lebih mendominasi pada film ini. Hal ini terbukti dengan beberapa adegan serta percakapan yang tak banyak berbeda dengan versi novel. Bisa jadi, baik sutradara maupun produser sama-sama berusaha menjaga esensi yang telah tertuang dalam versi novel.
Sabtu Bersama Bapak menghadirkan kisah seorang ayah yang berusaha untuk terus mendidik anaknya hingga dewasa, meskipun ia telah tiada. Adhitya Mulya seolah-oleh mengungkapkan kecenderungan psikologis seorang pria dalam menyampaikan pesan: lebih banyak terkait cita-cita dan harapan masa depan, ketimbang perasaan-perasaan kehilangan. Hal ini yang kerap salah ditangkap kedua anaknya yang juga sama-sama lelaki, bahwa mereka merasa keluarga paripurna adalah sematang mungkin perencanaan dan mengejar kemapanan.
Maka, baik Satya dan Cakra sama-sama berusaha menjadi yang terbaik menurut apa yang 'diminta' oleh bapaknya. Sayangnya, karena takut akan kehilangan, mereka kerap lupa situasi sekitar. Namun, kebiasaan itu wajar dijumpai, karena menurut John Gray, memang kecenderungan seorang pria adalah menilai segala respons terhadap situasi dengan logika. Satya bersikukuh dengan kematangan rencana rumah masa depan dan pengelolaan biaya rumah tangga, sementara Cakra berusaha memapankan 'dirinya' di kantor sebelum beroleh pasangan.
Terkadang, memang untuk menafsirkan pesan seorang ayah pun perlu sudut pandang seorang Ibu, selaku wanita yang ada di rumah. Di sisi lain, selain karena mengejar kematangan kehidupan, menuruti pesan orang tua yang telah tiada pun kadang dirasa sebagai jalan untuk 'kembali berbakti'. Di akhir cerita, sebuah pesan pamungkas dari Gunawan pun memiliki peran penting agar kedua anaknya tak lupa menikmati hidup selagi tetap mengejar masa depan.
Karena perkembangan karakternya sepanjang cerita, film ini cocok untuk ditonton remaja hingga dewasa. Selain itu, banyak kutipan-kutipan berharga yang cukup mengedukasi kehidupan berumah tangga. Kalau saya sendiri, tak ragu menilai bahwa film ini nyaris sempurna, 90 dari 100 kendati memang pesannya kadang multitafsir.
Saat ditayangkan perdana di Juli 2016, tidak hanya awak media dan sejumlah undangan saja yang hadir, tapi juga ada komunitas tunanetra yang ikut menonton film tersebut. Beberapa penyandang tuna netra duduk 'menonton' film dengan didampingi para sukarelawan yang berbisik menjelaskan jalan cerita film tersebut.
Saat ditemui di acara konferensi pers, Adhitya berujar, "Karena Sabtu itu dulu [kalau] pulang sekolah lebih cepet. Selain itu, di ketiga kata itu [Sabtu Bersama Bapak] ada huruf B, jadi terasa lebih mengalun."Adhitya juga merasa belakangan ini, belum ada film maupun novel yang secara khusus mengangkat cerita tentang sosok ayah. Ia sendiri terinspirasi kegelisahannya saat ini: pesan-pesan yang akan diajarkan untuk kedua anaknya.
"Kalau dulu fase kehidupan saya di tahun 2004 itu menjomblo, jadi menulis tentang itu. Sekarang fase kehidupan sudah terasa lagi," ujar sang penulis novel dalam suatu kesempatan.
Dengan keistimewaan dan kedalaman risetnya, buah tangan Adhitya inilah yang akhirnya membuat Ody Mulya Hidayat dari rumah produksi Max Picture tergugah untuk membedahnya secara ekranisasi ke layar lebar. Ditambah, riwayat 22 kali cetak ulang itu mendorong sang produser melihat potensi yang ada di baliknya.
"Saya suka banget dengan ceritanya. Cerita keluarga yang pesannya kuat. Sosok ayah yang tetap pengin mendampingi anaknya walaupun sudah tiada. Saya pastikan film ini lengkap: romansa, drama, dan juga komedi," ujar Ody saat konferensi pers.
Sukaaaaaaa banget sama film ini. Novelnya juga. Bikin nangis drama kayak nonton Korea 😭😭😭
BalasHapus