Soal perkara pentingnya memahami angka, sudah lazim kita rasakan terutama saat menghitung pemasukan dan pengeluaran rutin rumah tangga. Bagaimana dengan foto? Tak perlu silang pendapat, maraknya unggahan di media sosial, entah apapun bahasa induk yang dipakai oleh akun, menitikberatkan bahwa gambar bisa menceritakan 'visi' dan 'misi' yang tersirat dari tingkah laku manusia berikut tentang kecakapan berbahasa.
Adapun tentang film, saya sempat beranggapan mungkin tak selalu dipahami masyarakat sehingga bukan termasuk bahasa universal. Akan tetapi, asumsi saya kemudian terpatahkan setelah mengikuti suatu ajang festival film horror. Festival yang diselenggarakan unit perfilman kampus ini menyediakan beberapa kompilasi horror mini bagi para pengunjung auditorium.
Lantaran ada sajian film horror yang tidak memakai dialog lisan apalagi teks terjemahan yang mengundang kengerian penonton, saya makin mengingkari hipotesa awal tentang film. Beberapa di antaranya adalah impor dari Jerman dan Swiss. Saya dan berpuluh-puluh orang dalam auditorium tak kuasa menahan jerit karena jelasnya gambar layar menampilkan suspensi-suspensi penampakan turut memompa keringat dingin kami.
Berangkat dari pengalaman itu, saya mulai meresapi beberapa pengalaman sejak jaman SMP hingga kini tentang film sebagai media pembelajaran.
A. Cuplikan Film Serial Sebagai Bahan Kajian Laboratorium Bahasa Inggris.
Ketika pelajaran bahasa menggelar praktikum, biasanya yang terbayang di kepala anak remaja adalah kewajiban untuk mengkaji tata bahasa dan praktik berdialog. Namun, kelas bahasa Inggris binaan Bu ARD ternyata memang beda.
Beberapa kali, kami sekelas diminta membuat resume film serial Friends dan Dawson Creek. Era 2005 ke belakang, film ini sangat booming, hingga beberapa adegan lucunya semisal tentang pemakaian lipstik untuk pria masih bercokol di kepala. Maka, kegiatan belajar bahasa Inggris saya dan teman-teman saat itu adalah momen yang selalu membuat tersenyum.
Tak lama kemudian, saya dan teman-teman sekelas disuguhkan tayangan kelas dunia. Children of Heaven. Film asal Iran ini memantik empati tentang keadaan anak-anak kaum papa. Beberapa kali saya tonton, film ini selalu membuat melek dan terharu.
B. Berkenalan dengan Sinema Profetik serta Pentingnya Film Sebagai Media Dakwah.
Istilah profetik dipopulerkan oleh salah satu sejarawan pakar antropologi Indonesia. Meski bukan beliau pencetus pertama diksi tersebut, profetik adalah sebuah kaidah cerita atau sastra yang melibatkan unsur keteladanan para Nabi dan Rasul beserta mukjizatnya. Orang awam mengira bahwa film religi pasti mengandung unsur profetik. Kenyataannya, unsur profetik ini juga kerapkali muncul dalam tayangan atau sastra yang menitikberatkan pada pendalaman kejiwaan para tokohnya.
Menjelang SMA, Bapak memperkenalkan film mengenai Rasulullah SAW, bertajuk The Message. Film yang dibintangi Anthony Quinn ini adalah potret sirah Rasulullah SAW dalam penyebaran agama Islam di jazirah Arab. Film ini cukup membangkitkan ghirah dalam perjuangan menegakkan aturan dan nilai agama, karena hampir tak ada kaidah kitab suci Al Qur'an yang disalahgunakan dalam film ini.
Saya kembali jumpai film ini ketika memandu pesantren kilat massal untuk adik kelas SMA. Masih terkesima dengan tayangannya, saya tonton dari awal sampai habis. Berangkat dari film ini, mulailah saya cari tayangan serupa untuk Nabi lainnya. Sayangnya, karena proses pembuatan film masih menggunakan sutradara berpaham barat, tayangan-tayangan dengan tokoh utama para Rasul selain The Message kerapkali dibumbui adegan ciuman. Hadeuh...
Tapi penghasil film berkualitas tak hanya dunia barat. Dalam sebuah ajang malam bina taqwa, salah satu materi menitik beratkan perjuangan jihad dengan memutar film tentang para mujahid Palestina. Saya larut dengan tayangan itu, hingga haru memuncak tatkala mengikuti ekspedisi ke gunung esok harinya.
C. "Kuliah perlu Memutar Film Sejarah Agar Menghayati Maksimal!"
Saya katakan himbauan ini dengan serius. Bukan berarti mata kuliah tanpa film berarti tidak dihayati. Meninjau kembali pada tri dharma perguruan tinggi, sebagian unsur dari penelitian terhadap suatu bidang ilmu adalah pemahaman terhadap sejarahnya. Sama seperti perlunya kita memahami unsur-unsur dalam makanan untuk menakar gizinya.
Saya pernah merasakan berkali-kali menjadi mahasiswa dengan indeks dibawah 3 tiap semester. Satu setengah tahun awal berkuliah, rasanya hambar ketika jadwal akademik hanya berkutat pada kuliah-tutorial-praktikum-tugas. Namun, kepala program studi magister saat itu membawa pendekatan berbeda.
Ditayangkanlah film sejarah berdirinya sumur raksasa London, sebagai upaya jerih payah seorang insinyur dan dokter dalam berteori dan merancang infrastruktur terbaik. Saya yang tergugah, merasa bahwa di dalam perkuliahan terkandung misi yang besar dalam membangun peradaban manusia.
Waktu bergulir, saya jadi asisten dosen. Dibekalilah materi-materi film itu sebagai bahan ajar untuk para peserta kuliah. Ada yang merasa bosan, ada yang tergugah. Setiap minggu mereka diminta membuat resume film oleh pak dosen, nyatanya tugas refleksi mingguan itu menjelma menjadi bank ide untuk saya.
Sekali menyelam minum air, untungnya saya juga diminta periksa sehingga tahu adanya perbedaan pendapat dalam membuat resume adalah jaminan bagi masuknya pengetahuan baru.
D. Akhirnya, Segepok Uang Demi Kursus Intensif.
Sepulang liburan S2, saya tertarik dengan pamflet informasi kursus kilat perfilman di sebuah masjid dekat kampus. Tarifnya lumayan, seharga uang jajan anak kuliah sebulan. Beberapa kali berpikir, akhirnya saya putuskan menghubungi contact personnya langsung. Tahun 2017 kemarin, pemrakarsa kursus kilat sekaligus sang contact person ternyata menghasilkan film sukses dari peranan tangannya.
Iqra: Perjalanan Menggapai Bintang, demikian tajuk film yang diusungnya. Mencoba mewadahi tema sains dan agama dalam sebuah film yang dibintangi anak-anak adalah misi edukasi melalui sinema yang berat. Nyatanya, film ini ludes dengan segmen penonton kebanyakan adalah jamaah pengajian. Mantap.
Kembali mengenai kursus, saya pun menghadiri pertemuan intensif selama empat hari itu. Disajikan tiga materi utama: membuat skenario, produksi film, dan pendalaman aktor. Sang pemrakarsa kursus pun turut memberikan kuliah perfilman. Entah kenapa, justru saya larut dengan curcol beliau mengenai sulitnya mencari pemateri yang bisa membuat orang antusias dengan perfilman sebagai bahan edukasi.
"Jikalau hari ini yang saya undang adalah Nunu Datau, dijamin tarif kursus akan lebih tinggi dari hari ini. Untungnya mas Riri Riza, bu Budiyanti Abiyoga, dan Pak Didi Petet mau dengan tarif demikian. Cari investor untuk film bakal bikin kalian susah tidur." (iqbal al Fajri)
Jika di kursus lain tarif tinggi selayaknya punya fasilitas wah, entah kenapa saya merasa bahwa apa adanya kursus ini memang pantas dibayar lebih. Jujur, jarang saya temukan seminar dan lokakarya dimana ketua panitia punya pengetahuan yang kompetensinya sejajar dengan pemateri utama. Apa yang diterangkan mas Iqbal lewat tulisan kasar di papan tulis semuanya saya catat.
Lebih-lebih, ketika Mas Riri Riza memberikan diagram sederhana tentang aspek-aspek inti perfilman dan bagaimana Bu Budiyanti turut membahas perkara negosiasi dengan investor. Tapi saya tidur tak sengaja, hingga akhirnya mencetak sejarah bahwa mendiang Pak Didi Petet pernah ikut menegur.
Penutup
Berangkat dari itu, saya mulai merasa bahwa memfilmkan sesuatu adalah pemenuhan kodrat manusia untuk membagi emosi dan inspirasi dalam cerita dan adegan. Tidak semua film patut dicerna, maka disitulah rating berperan penting membatasi segmen penonton.
Hingga hari ini, saya merasa bahwa sinema adalah ruang sosial yang vital. Dimana sejarah, fiksi, diksi, aspirasi, dan fantasi berkumpul menjadi diskursus tersendiri. Sayang, hari ini halaman-halaman bioskop dipenuhi orang tak beretika yang pura-pura lupa rating.
Saya berharap, akan muncul tayangan lain yang mendorong orang menalar soal batasan usia. Jadilah beda pemahaman itu bisa dipersempit.
SEKIAN, ADA PERTANYAAN?