Dalam sebuah sharing session yang dibawakan oleh ahli kriminologi, ada 3 sikap manusia yang senantiasa terjadi dalam berkomunikasi, bersikap, dan berdialog: pasif, agresif, dan asertif.
Ketiga tahapan ini terkait dengan emosi dalam komunikasi verbal dan non verbal yang biasa terjadi
dalam keseharian kita dengan sekitar.
Berkaitan dengan watak agresif, beberapa ciri mencoloknya adalah:
a. cenderung temperamental bilamana ditanya atau diajak bicara suatu hal
b. terang-terangan meluapkan amarahnya.
Adapula kita akan temui orang yang bersikap pasif, yang cenderung diam dan menerima bila diajak berbicara , ataupun terbata-bata dalam menjawab. Salah satu implikasi dari kedua sifat ini adalah defensif secara eksplisit
Di sisi lain, ada gabungan sifat agrestif dan pasif. Cirinya mudah ditemukan: orang yang sekilas ramah dan terbuka saat bertatap muka, namun kemungkinan besar dia akan
menyindir ataupun mencela hal yang tidak disukainya saat kita tidak nampak di depannya. Gabungan kedua sikap ini secara simultan kadang berujung pada reaksi defensif implisit antar lawan bicara.
Berbeda dengan asertif: menyatakan sesuatu dengan tegas, lugas, dan jelas. Asertif merupakan
suatu sikap penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah etika bisnis. Kalau
dilihat sekilas, mungkin asertif tidak jauh beda dengan sikap agresif maupun pasif. Hanya
saja, dalam menjadi asertif, kita sebisa mungkin mempertimbangkan perasaan dan pertimbangan orang lain dan sekitarnya. Sikap asertif bukan berarti tidak pernah marah. Istimewanya, orang yang asertif tetap akan mengungkapkan hal yang membuatnya kecewa dan marah, tanpa merasa emosi berlebihan pada orang yang diajak bicara.
Di zaman sekarang, ada banyak orang sulit untuk berkata “tidak”, meski di lain sisi akan meluapkan kemarahannya dan ketidaksetujuannya di tempat berbeda, Bisa jadi tempat pelampiasannya kadang kurang relevan. Sebagai contoh: lantaran tertekan karena pekerjaannya, lantas menjadi temperamental saat di rumah.
Ketika kita merasa sulit untuk menjawab lantaran tertekan secara ‘pasif’ sering kita terdorong untuk agresif karenamenemukan ‘sasaran empuk’.
Sikap asertif inilah yang harus dipupuk agar menjadi mediasi diri ketika dihadapkan pada banyak tekanan: agar integritas dan sikap tetap terjaga di antara sekian banyak konflik kepentingan yang seringkali tidak terduga.
Langkah pertama bersikap aserfif dimulai dengan menghindari dan mengurangi kebiasaan yang memicu sikap agresif, salah satu contohnya: berdiri atau duduk sama tinggi sama rendah dengan lawan jenis, bicara dengan beradu tingkat kekerasan suara yang sama. Semua dikendalikan melalui upaya menenangkan diri terlebih dahulu ataupun sementara menunda pembicaraan.
Bila dikaji lebih lanjut, sikap asertif ini bermanfaat untuk menjaga keseimbangan dalam komunikasi yang produktif dan objektif. Itulah mengapa, bersikap realistis dan saling menghargai perlu diutarakan, agar para pelaku komunikasi dapat saling memahami secara kolaboratif dan positif. Hanya saja, sikap asertif ini akan lambat kita pupuk antaran sering mengaitkan kegagalan akibat kesalahan pribadi atau perihal sukses adalah karena faktor keberuntungan.
Karenanya, kita perlu kesampingkan terlebih dahulu pemikiran seperti demikian. Bisa jadi, diam-diam kita terdorong untuk malas melihat sisi baik dari segala kejadian.
Unsur yang harus dipenuhi saat bersikap asertif diantaranya:
a. mengetahui hak-hak kita,
b. memahami batas kewenangan kita, serta
c. mempersiapkan diri untuk hal-hal yang tidak terduga.
Cara-cara untuk menekankan unsur ini di dunia kerja bisa dengan memasang poster di dinding tentang batas-batas meja kerja, mengetahui betul undang-undang serta batas kewenangan terkait jabatan yang kita duduki, atau sengaja mengistirahatkan diri untuk berbagi waktu luang dengan keluarga. Jangan lupa, kelelahan yang dipaksakan untuk terus beraktivitas , sering menghambat kita karena bebal yang menumpuk di kepala.
Namun, bersiap menghadapi segala kemungkinan merupakan unsur sikap asertif yang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Apa saja yang harus dipersiapkan? Cobalah sejenak bayangkan
tentang berkata soal situasi sulit. Saat itu, mulailah bertanya pada diri sendiri:
Apa tujuan saya berkata demikian? Apa yang ingin dikatakan? Bagaimana cara mengatakannya?
Setelah contoh monolog tersebut diungkapkan; baik terang-terangan maupun bisik-bisik, bayangkan antara scenario ideal maupun yang terburuk dalam pikiran. Sebisa mungkin, hasil dari perkiraan tersebut dikomunikasikan kepada teman yang bisa dipercaya, dan akan lebih baik bila dengan pasangan.
“The biggest difference between assertive and being aggresive is how your words and behaviors affectthe rights and well being of others.” — Sharon Anthony Bower
[Source: 1. The Telin Times, December]
Ada typo ny mas
BalasHapus