Bukit Jadi
Demikianlah nama yang telah disematkan dalam benteng yang agung ini. Tebing-tebing tersusun dalam lajur yang berliku-liku, berperisasi batu-batu tajam dan danau yang mengisi pekarangannya. Diantara bentuk tubuhnya yang anggun, riuh rendah alap-alap dan elang terdengar bersahut-sahutan. Meluncur, melesat, menukik, hingga menari di dalam ruang antara dataran dan langit. Setiap harinya, para pengerat, kelinci, terwelu, luwak, hingga kambing gunung menemui ajalnya dalam genggaman cakar-cakar pasukan elang yang terasah. Tak terkecuali bagi Rudra. Elang jambul yang mengemban nama sang dewa angin ini bukan hanya sekedar pemancing ulung, melainkan seekor radar kompas bersayap yang akurat.
"Dua ratus meter di bawah lereng, kambing muda gemuk merumput dengan riang. Bagus. Dengan segera kuantar menemui sang Pencipta."
Rudra lepas landas dari ujung lereng tempatnya bertengger. Di dalam zona hampa udara, sayapnya membuat gerakan seperti baling-baling memutar. Paruh menjadi ujung kemudi, ekor pusat kendali. . Cakar besarnya mencengkram lalu membanting kambing muda itu ke batu tebing yang keras. Paruh besarnya kini siap menjadi pusara bagi hewan malang tersebut. Memang lingkaran kehidupan begitu adanya.
"Terima kasih, telah melenyapkan rasa laparku"
Acara bersantap usai, Rudra merasa bahwa gunung tempatnya berdiam terasa membosankan. Setiap harinya: makan, terbang, lalu tidur adalah siklus yang selalu berulang. Kini mata Rudra membidik hutan, berharap petualangan baru memecah kebosanannya. Tatkala mengangkasa beberapa ratus meter dari dataran, Rudra melihat asap membumbung tinggi dari beberapa pohon yang terbakar.
__________
"Rawwwwrrr!!!"
"Groaaaaarrr!!"
"Hei, macan tutul biadab, kembalikkan adikku! Aku takkan memaafkanmu bila kau tega mencincangnya."
"Ambil kalau kalian bernyali. Sebentar lagi kalian pun hanya menjadi seonggok bangkai."
Macan tutul itu berotot besar, bersorot mata bengis, dengan taring bengkok setajam belati. Beberapa kali Riga mencoba melumpuhkan lehernya, pun Komu yang berusaha menyerang tengkuknya, macan tutul tua itu selalu berhasil meredamnya. Tubuh mereka berdua penuh bilur-bilur cakar dan sabetan taring. Diantara baku hantam tersebut, Neka mengambil ancang-ancang untuk memapah Kamga yang tak sadarkan diri. Macan tutul yang menoleh dalam kepungan, menjadi geram.
Sementara para iguana berlari ke arah Barat, Komu dan Riga masih berusaha menahan macan tutul tua yang beringas itu. Macan tutul menghempas dua predator muda itu dengan mudahnya, lalu mengejar dua ekor iguana yang lari pontang-panting. Nahas, bahaya tak hanya mengintai dari darat.
"Seratus lima puluh meter dari arah barat diagonal terhadap tebing, dua reptil kuning kehijauan sangat menggiurkan. Baik, waktunya kudapan" gumam Rudra setelah menerawang dari ketinggian. Bergegas ia kembali lepas landas.
Salah satu pohon lapuk mendadak tumbang, Rudra mengambil posisi berbelok dengan gesit. Tetapi ia kurang mujur, hingga menabrak pohon lain lalu hilang keseimbangan. Pohon yang ditabrak elang jambul itu ikut rubuh, Tak dinyana, pohon yang rubuh itu menjepit macan tutul.
"Aaaarggh!! Kaa...kalian takkan bisa lolos!"
"Menyerahlah, macan tutul, Lukamu sudah parah. Jangan kau ganggu kakak dan adikku. "
"Tidak semudah itu, kom,...komodoo....Lebih baik kau yang kumakan sekarang!"
Kraus! Dengan mudahnya, Riga berhasil menerkam tengkuk macan tutul tua yang sudah pincang itu.. Tetap saja macan itu menolak mati konyol, meski sebagian kulitnya telah robek dan kakinya tak lagi gesit bergerak. Sekejap, Komu ikut menggigit leher macan tua yang telah terdesak, hingga sesak nafasnya.
"Komu, Riga, kita bantu dulu burung yang jatuh tadi. Tanpa dia, mungkin kita takkan selamat dari macan tua itu."
._______
"Tuan elang, engkau sudah siuman?"
"Ehmm...dimana aku berada? Jadi, kalian satu kelompok?"
"Engkau ada di sarang kami, tuan. "
(Berkata dalam hati: Oh, jadi kadal-kadal yang mau ku santap itu satu kelompok dengan harimau dan komodo?) "Kalian sudah lama tinggal di sini?"
"Hampir satu tahun kami mengembara, dan inilah rumah terbaik kami, tuan elang."
"Apa kalian akan menetap di sini selamanya?"
"Apa maksud tuan berkata demikian?"
"Baru tadi pagi aku melihat api menyala di salah satu sudut hutan ini. Semoga mataku ini salah. Namaku Rudra, dari gunung Bukit Jadi."
"Gunung? Tempat apa itu, tuan?"
"Hei, iguana, coba kau....."
"Jilat dulu kakimu?"
"Hahaha. Tak perlu, anak komodo. Aku hanya bergurau. Tanpa berkelakar, melupakan luka sayap terkilir takkan terasa mudah bagiku. Gunung adalah dataran yang memiliki ketinggian berbeda jauh dengan daerah sekitarnya, berupa sebuah tonjolan besar. Rumahku ada di antara tebing-tebing yang mengelilingi gunung."
"Seperti apa rasanya hidup di antara tebing yang tak banyak pohon, tuan Rudra?"
"Tetap menyejukkan dan nikmat untuk tidur. Kalau ada yang berani mengganggu tidurku, besok pagi dia sudah jadi hantu tanpa kepala. Hahahahaha"
"Apalagi kalau mengusik dengan pertanyaan: _kapan nikah_? Wah, kayaknya besok udah jadi tuyul."
. Dagingnya kita jadikan salad."
"Bisaan juga kamu, harimau abege. Nanti sampai di rumahku, aku ajarkan cara melawak tanpa bermain cakar dan taring. Aku jamin hidupmu tak membosankan,"
Segenap penghuni sarang larut dalam gelak tawa. Rudra mulai lupa tentang niatnya memangsa para kadal, sekaligus menceritakan tentang bahaya api yang mulai menyebar di hutan itu. Sehari kemudian, bahaya menyergap melalui pintu-pintu tak terduga. Saat itu senja kian menyala merah, matahari sedang menuju tempatnya terbenam.
"Bau apa ini? Seperti ada yang hangus, Kamga."
"Entahlah, setahuku tak ada yang bisa menyalakan api, Apa jangan-jangan?"
"LARI!!! Lari jika ingin tetap hidup!! Api sudah di dekat kita!"
Kepulan asap mulai menampakkan wujudnya, Adalah Riga dan Rudra yang menangkap api yang menghambur di luar sarang mereka. Lantaran Rudra sedang sulit untuk terbang, Komu yang berbadan besar segera memapahnya bersama Riga. Neka dan Kamga lari terlebih dahulu, sembari mengarahkan tiga hewan predator itu menuju tempat yang belum tersentuh api.
"Lihat, api semakin menyebar! Harus kemana kita, Kak Neka?"
"Nanti kita akan menuju gua. Di sana kita akan beristirahat sementara."
"Sudah, kalian tak perlu ke gua. Di sana ada beruang yang siap memangsa kita. Apalagi, luka kita semua belum pulih. Lebih baik kita berlelah-lelah malam ini menuju rumahku di tebing. "
"T-t-tapi, bagaimana kalian akan beristirahat untuk memulihkan luka?"
"Sudah, kalian ikuti saja arah rumahku. Aku akan tuntun kalian untuk mencari makan dan minum selama perjalanan. Lebih baik kita mati dalam perjalanan mencari tahu penyebab dari kekacauan ini, daripada bulat-bulat ditelan beruang. Kalau kalian lebih memilih diam di sini, aku tak bisa jamin bahwa kita takkan mati kehabisan nafas. "
Maka, dimulailah perjalanan Komu, Neka, Kamga, dan Riga mengikuti jalur yang dituntun oleh Rudra untuk mengungsi. Entah apa yang membuat hutan semakin membara.
BERSAMBUNG
#Tantangan8eps4
#Ceritabersambung
#SambunganhariRabu
#ODOPBatch7
#OneDayOnePost
Hahaha, tanya ah "Kapan kamu nikah Komu?"
BalasHapus