▼
Minggu, 06 Januari 2019
Mengobati Defisit Literasi dengan Sembarangan Bernarasi
Literasi. Begitulah nama salah satu unsur yang hari ini rawan kita perbincangkan, terlebih berkaitan dengan penyebaran berita bohong. Ketidakmampuan membaca mendorong untuk tergerus pada sudut pandang yang keliru. Namun betulkah sekedar kelumpuhan membaca adalah bukti ketidakmapanan kita mengolah narasi?
Keadaan dunia saat ini yang dikatakan banyak orang "menuntut wawasan global" rasanya mendorong untuk mengolah sekian banyak informasi menjadi suatu aset ilmu yang bermutu. "Perbanyak membaca, sehingga anda tidak bodoh" begitu anjuran yang biasa didengungkan tentang keharusan melahap isi buku. Tapi bolehlah aku menggelitik sedikit: apakah betul semua buku patut dibaca?
Rasanya, bolehlah kalau kita coba membawa imajinasi sejenak kembali ke toko buku kesayangan masing-masing. Akan ditemukan beberapa rak yang berlabel "BEST SELLER". Frase inilah yang bisa saja memijat mata kita untuk segera menukar uang menjemputnya segera ke tangan. Bila ada waktu untuk berpikir, pernahkah mengkaji ulang seperti apa isi dan alur buku yang bisa dikategorikan best seller itu?
Seperti halnya kedondong yang berbuah pada musimnya, tak sedikit buku -terutama berjenis jurnal dan biografi- yang terbit menjelang musim pemilihan umum. Diceritakanlah pada lembaran kertas itu bahwasanya calon A begini begitu, calon B begini begini. Tatkala musim pemilu berlalu, sebagian buku mungkin akan langka ditemukan pada rak tersebut. Coba, kita menggali lagi. Senetral apakah narasi-narasi buku yang bertebaran itu?
Ada saatnya memang membaca buku adalah kegiatan terbaik untuk menurunkan depresi. Namun kadang kenikmatan menelusuri narasi, lagi-lagi adakalanya tidak terlepas dari subjektivitas pembaca. Tentu bagi engkau yang enak mengagumi artis korea, mengoleksi buku biografi terntang artis sungguh lebih mengasyikan buat membunuh waktu. Ketimbang buku fisika yang menemani hari-harimu menjalani syarat penerimaan mahasiswa baru.
Sebelum saya masuk perkuliahan, di otak hanya terpikir bahwa semua buku itu baik. Kalaupun ada yang dilarang, mungkin itu cenderung soal gambar atau narasi vulgar. Tapi entah kenapa semua pemikiran itu bertolak balik saat menginjak tingkat 4. Kutemukan beberapa teman yang asik membahas buku bertema "kiri", entah kenapa giliran ibadah sering tidak tepat waktu. Bahkan, ada yang menjadikannya bahan becandaan.
Kecurigaan itu bermula dari saat sesi pelatihan panitia ospek. Sebagai penunjang teknis, kami mengkaji buku MADILOG. Tak perlu kusebutkan pengarangnya, dia sudah terkenal diantara sebagian pembaca blog ini. Yang menjadi bahan utama adalah bab 9-nya "DIALEKTIKA".
Saya iseng saja coba melihat ulang bab 1. Alamak, kutemukan narasi -mohon maaf- lancang. Masa dia katakan akhirat itu dongeng?? Hello........
Mungkin, didikan orang tua bahwa selayaknya menyeleksi makanan dan bacaan, punya manfaat yang tidak hanya isapan jempol. Kadang patut heran bila kita mengakui pikiran kita terbuka, tapi justru malah terjerumus menyantap dan meniru narasi yang tidak pantas.
Hari ini, agama mungkin menurut sebagian orang adalah candu. Tapi bukan berarti bila kita sudah menyandang status makhluk terkutuk, lantas agama ditinggalkan. Bila Kualat dan ketakutan akan murka-Nya masih menjadi kompas dalam memilih tindak-tanduk serta informasi, sepatutnya syukur diucapkan. Kita belum tentu ditempatkan di surga, tapi mengapa harus bernikmat dalam siksa-Nya: toh sekecil nyamuk menggigit belum tentu kita tahan. Hari ini bisa jadi mereka yang berpikiran terbuka, tak selalu menerima akibat dari apa yang dititahkan dan dibanggakan setinggi langit.
Hari ini, bisa jadi sebagian orang sekeliling kita kekurangan buku dan bahan bacaan, tapi tak berarti mereka miskin wacana lagi miskin cita-cita. Justru merekalah sumber penulisan bahan-bahan narasi lainnya. Jangan sampai kita memuja apa yang diatas kertas, namun malah mengabaikan apa yang telah tergambar di alam semesta, termasuk apa yang telah ditahbiskan oleh Yang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar