Senin, 10 Februari 2020

Kumpulan Puisi Muhammad Asqalanie (English by Briantono Raharjo)

The Man's Rain

By: Muhammad Asqalanie Eneste

(English: Briantono MR) 


The rain in your brave heart
has gone wet,...
while the ground reveal its clay,
with shy, blooming the flower,
on the rear garden.

Ribs unite on a cross,
when apple trees fallen,..
perhaps due to the raging gale
within the orgasm of the hail

Once the chest becoming the tree
thou shall begging,...
"shall I grow ripping the sky high?"
right when the rain falls gently,..

but
when the climbers,
bury his own leg,
he shouts a vow,..
hoping there will be rain
no more

"...no more man's rain"


di Febryan 2015

______________________________________________________________________



Obsessive Compulsive Disorder

: Asa Maxwell Thornton Farr Butterfield
(Oleh: Muhammad Asqalanie Eneste)




di planet yang genit ini, aku mematut kaca di kelapa hingga
ke kepalan pekat di lebuh dadaku; tak ada cahaya sempurna,
sedang aku si samar-samar kehilangan cara, bertikaian apa
yang tak terurai definisi.

"aih, terkutuklah ketampanan langit bumi, sejak Yusuf tak lagi
menyebar wangi kasturi" katamu ketemu seorang tamu yang mirip
wajah lelaki dalam kisah Luth.

"maka satu-satunya galaksi di galak diri, adalah tinggi kesaksian
seorang munafik seperti abu jahal" jawaban yang janggal kujagal,
seperti tak mengenal kata penggal.

"bersenggamalah bayang-bayang diri yang hancur setelah
benturan naluri, tak ada big bang setelah dan sebelum eva, tak ada"
kau begitu percaya.

aku begitu percaya.

seperti gelap lorong gereja bagi perempuan bernama Wilma,
selamanya aku si lumpuh yang cerpelai dan takkan mengaku mempelai
tanpa belalai.

"di matamu watu kehilangan keras nawaitu, Asyiah tak membela Fir
yang tenggelam diapungkan waktu, dalam kitab pembelajaran kaum pembaca"
kataku yang entah mengulang katamu.

membereskan kelamin di dalam kelam, berdoa sewangi dan sebulat mempelam,
kelambu adalah jaring laba-laba di liur kaca yang gampang pecah; menjadi
kebenaran OCD

2016

__________________________________________________________________________________________







Muhammad Asqalanie Eneste 

 Suka belajar ini dan itu. Suka dengan hal-hal unik. Mengajar Kelas Puisi Online (KPO) bersama WR Academy. Ingin keliling dunia dengan prestasi. Pendiri Community Pena Terbang. IG: @muhammadasqalanie

Obsessive Compulsive Disorder-Muhammad Asqalanie Eneste

Obsessive Compulsive Disorder
: Asa Maxwell Thornton Farr Butterfield
(Oleh: Muhammad Asqalanie Eneste)

di planet yang genit ini, aku mematut kaca di kelapa hingga
ke kepalan pekat di lebuh dadaku; tak ada cahaya sempurna,
sedang aku si samar-samar kehilangan cara, bertikaian apa
yang tak terurai definisi.

"aih, terkutuklah ketampanan langit bumi, sejak Yusuf tak lagi
menyebar wangi kasturi" katamu ketemu seorang tamu yang mirip
wajah lelaki dalam kisah Luth.

"maka satu-satunya galaksi di galak diri, adalah tinggi kesaksian
seorang munafik seperti abu jahal" jawaban yang janggal kujagal,
seperti tak mengenal kata penggal.

"bersenggamalah bayang-bayang diri yang hancur setelah
benturan naluri, tak ada big bang setelah dan sebelum eva, tak ada"
kau begitu percaya.

aku begitu percaya.

seperti gelap lorong gereja bagi perempuan bernama Wilma,
selamanya aku si lumpuh yang cerpelai dan takkan mengaku mempelai
tanpa belalai.

"di matamu watu kehilangan keras nawaitu, Asyiah tak membela Fir
yang tenggelam diapungkan waktu, dalam kitab pembelajaran kaum pembaca"
kataku yang entah mengulang katamu.

membereskan kelamin di dalam kelam, berdoa sewangi dan sebulat mempelam,
kelambu adalah jaring laba-laba di liur kaca yang gampang pecah; menjadi
kebenaran OCD

2016

Minggu, 02 Februari 2020

Mengapa Tanggal 25 Itu Masih Kau Ingat?

Dear Enda,

Ini bukanlah tentang rasa yang harus diulang. Melainkan tentang apa yang masih tersembunyi, setelah tanggal 8 itu.

Aku masih ingat sore hari itu. Dimana kita yang tadinya hanya berjumpa lewat suara dan kata demi kata di media sosial, akhirnya bertatap muka dengan saling tertegun akan wajah masing-masing. Saat itu, aku masih jadi milik  seseorang, yang sudah mulai memudar rasa kagum terhadapnya bersama aliran waktu dan rupa-rupa selisih yang membuat risih. Aku yang tak selalu paham terhadap situasi, dengan tanpa rencana kujadikan engkau tempat bersandar. Kata demi kata. Percakapan demi percakapan. Hingga semua hal dari titik paling rahasia dari dasar hati mencapai gendang telingamu.

Setiap kali aku kesal dengan kekasihku saat itu, engkau kerap menjadi pengungsian. Lalu kita pesan tempat duduk favorit di setiap rumah makan setiap kali butuh waktu untuk membuka ruang wacana lebih dalam. Akhirnya, dia pun mengintai namamu, setelah ponsel coklat tua-ku ditelusurinya pada suatu sore, lalu pesan darimu tertangkap sepasang matanya. Puncak dari segala emosi tak terhindarkan, lalu tanpa ragu kuputuskan ikatanku dengannya. Sebenarnya, saat itu dirimu belum punya posisi mentereng dalam hatiku. Aku hanya enggan untuk terus bertahan dalam hubungan yang sudah mulai dinahkodai oleh rasa curiga dan posesif. Di titik ia tega meracau pikiranku dengan tuduhan yang tidak mendasar disaat harus menghadapi ujian akhir semester, akhirnya kuputuskan -meski itu sebuah kebodohan-  untuk melenyapkan rasa dengannya. 

Aku yang merindukan kebebasan, tak serta merta meminta dirimu untuk melihat diriku untuk jadi sesuatu yang berharga. Karena akupun butuh waktu untuk berpikir ulang dan menata kemana arah mata ini akan melihat hari esok. Maka, selain dirimu, akupun mencoba menelesuri ruang pikiran dan perasaan teman-teman lawan jenisku yang lain. Setelah bergulat dengan bermacam-macam watak, kumantapkan hati bahwa ratusan hari berpikir ulang lalu memutuskan engkau sebagai pilihan berikutnya adalah pilihan tepat. Maka, tanggal 25 di suatu bulan di tahun 2011 , kita pun menjadi sepasang kekasih. Saat itu, aku kembali dikuasai rasa yang sempat menghilang selama puluhan hari, ditelan oleh berbagai agenda dan rencana-rencana lain.

Tiga puluh hari pertama, rasanya kita benar-benar menikmati waktu bersama. Berdua hingga tengah malam pun rasanya bukan hal yang tabu, selama tidak dikuasai hasrat yang meruntuhkan. Tetapi, sedikit demi sedikit, kita merasakan suatu gesekan kecil, tak terlihat mata, tetapi terasa di hati masing-masing. Beberapa kali kau tidak nyaman, saat aku masih sibuk menghadirkan pengalamanku yang lama saat mata kita bertemu. Mungkin, ada banyak hal berbeda antara kita yang baru disadari, karena kita saling membuka lembar baru dalam situasi yang tak serupa.

Suatu hari, engkau berkata tentang sebuah rahasia. Aku penasaran, lalu kudesak dirimu untuk angkat bicara. Sial, mengapa seringkali seorang manusia sulit melupakan masa lalunya saat menilai seseorang yang berbeda? Di suatu malam, akhirnya kau ungkap kata, lalu tertuanglah sebuah kalimat yang menjadi rahasiamu sejak lama. Aku mencoba terima, meski jantungku berdetak bagai menghadapi marathon. Kukuatkan hati, bahwa pikiran dan hati seyogyanya harus bisa lebih terbuka akan segala kemungkinan. Bukankah di tanggal 25 itu sudah kumantapkan hati untuk memberanikan diri kembali?

Suatu masa, setelah ratusan hari kita bersama, kuulang kembali siklus perasaan seperti kekasih yang dulu. Aku jalan dengan yang lain saat masih bersama denganmu. Aku tak lagi merasakan tekanan dari rasa posesif, meskipun adrenalinku masih menyimpan rasa takut akan kejutan yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Tapi, teringat tiga patah kata rahasiamu yang terungkap saat sore yang sepi itu, entah kenapa selalu kembali terpikir untuk mencari petualangan baru. Bodohnya diriku. Maka, di suatu siang, kuutarakan bahwa aku mengulang perbuatan yang sama seperti saat awal bertemu. Tak lama, bagaikan api kompor yang disulut minyak, dengan senyum tanpa niat berlebih, aku salah memilih lelucon malam itu. Malam dimana semestinya aku memberikan perhatian dan apresiasi lebih atas kesabaranmu, dan menyadari bahwa diri sendiri pun menyimpan aib yang masih ditutupi Tuhan; hingga terlihat di mata masing-masing kita terlihat sempurna dengan sedikit cela, justru malah menjadi akhir dari kisah yang kita jalani selama ratusan hari. Tepat tanggal 8 jam 9 malam, kamu dan kisah kita berubah wujud menjadi nostalgia.

Sekarang, izinkan membuka beberapa hal yang kututup rapat darimu. Pertama-tama, sekali lagi aku minta maaf atas kebodohanku saat tanggal 8 itu. Mungkin memang tak ada alasan logis untuk sebuah ketakutan dan kebencian, termasuk tentang buluk kudukku yang merinding mendengar tiga patah kata rahasiamu. Rahasiaku yang pertama, tentang ketakutanku, kau tahu? Sebelum aku menyatakan perasaanmu dalam mobil di tanggal 25, sempat seorang kenalanku, seorang lawan jenis yang lebih tua mengakui dirinya melakukan hal asusila lalu kemudian dia bergelagat ingin menjadikanku korban berikutnya. Jadilah aku tak ingin terlalu serius dalam menjalani hubungan dengan siapapun, termasuk dirimu. Sayang, hanya karena ketakutan yang sepele, di malam kau buka rahasiamu, mentalku sudah kalah. Seperti halnya pesepakbola yang enggan menendang karena takut disepak dari arah tak terduga. Tidak, malah lebih buruk. Semestinya, aku berkonsultasi ke psikologi terlebih dahulu sebelum menambah jam petualangan lagi.

Rahasia selanjutnya, sekaligus yang terakhir, karena sisanya masih ingin kusimpan dengan sangat rapat, ingin kuakui bahwa akupun adalah makhluk ekonomi yang oportunis, Menjalani hubungan denganmu, yang terbentang jarak antara kota dan kabupaten, pelan-pelan menguras tabunganku. Di akhir tahun 2011, mesin penyimpan uang hanya menunjukkan lima digit. Suatu pengeluaran yang tak pernah terjadi seumur hidup menjadi makhluk konsumtif, hingga setiap minggu ibuku mulai risih setiap kuminta tambahan uang bensin. Semestinya, kalau hari-hari selama kita bersama kuberanikan diri untuk berjualan kue sus setiap pagi, semestinya memacu kendaraan melewati jalan tol bukan lagi hambatan berarti. Tetapi paradoksnya, mungkin kau bertanya mengapa lagi-lagi kubiarkan hatiku kembali mengembara menuju perhentian yang lain? Maka dengan seksama kujawab, semuanya bermuara pada biaya perjalanan. Selain itu, semua teman yang meminjam uangku hampir tak pernah mengembalikan tepat waktu, sebagaimana janji manis mereka dikala memohon bantuan. Hingga detik ini, aku tak sampai hati membu muka rahasia ini, karena kuingat dirimu yang tak pernah begitu jauh mempermasalahkan biaya. Mungkin gilanya diriku, aku tak ingin malu tampil di hadapanmu sebagai orang tak berpunya.

Waktu berlalu, apa kau ingat saat aku diam dengan lidah tak berkelu saat kau akhiri ikatan kita? Tanpa terasa, saat aku lanjutkan studi ke lain benua, kudengar kabarmu naik ke pelaminan. Dari awal, aku terdiam sambil mendoakan agar kau bahagia selalu. Karena sejak tanggal 8 hari itu, aku sudah terima atas akibat dari kebodohanku. Lalu kau bercerita di wajah media sosialmu, bahwa tanggal 25 sempat menjadi suatu kenangan bagimu. Padahal, sebelum aku datang, orang lain pun sempat torehkan luka di hatimu. Aku tak lagi memiliki rasa, tetapi mengapa kau pilih tanggal itu untuk diabadikan? Hingga hari ini, aku terus bertanya, apa yang membuatku berbeda di matamu? Padahal, mungkin saja aku ada dalam daftar sosok-sosok bodoh yang menambah luka dalam perjalanan hidupmu.

Tak terasa, hari ini masih sempat kupantau dirimu. Putramu sudah melewati masa balitanya, lalu kau menjadi seorang ibu yang terus menjaga seisi rumah dan keluarga. Di sisi lain hatiku, di ruang yang sangat kecil, ada sebuah harapan, mungkin lebih sepele dari kuman yang masuk lewat udara: bahwa putraku dan putramu bisa menjadi sahabat dekat, atau paling tidak menjadi junior dan senior yang saling menghargai. Sebagian rahasiaku telah kuungkap, aku berharap mendapatkan sedikit kelegaan tentang apa yang tak kuungkap pada tanggal 8 itu. Tentunya, dengan masih membawa tanya, -tanpa nostalgia, ataupun rasa yang menguak kembali- tentang tanggal 25 yang kau masih ingat.

Dengan hormat,

Salah seorang yang pernah menyia-nyiakan kesempatan karena rasa takut,

B,M.R

Tanggal 3  Bulan Rahasia Tahun 2020