Namaku Anton dan aku bukanlah seorang pria yang benar-benar tangguh. Aku tak bisa memaksa diriku tersenyum ataupun ceria setiapkali kulihat pertandingan badminton dan laut. Aku selalu terkenang akan dirinya yang hanya sesaat bersamaku
Yunika Andaristi Hasnia, demikian nama wanita yang pernah mengisi hidupku itu. Saat awal ku mengenalnya, ada rasa sungkan lantaran ia memang lebih tua 2 tahun dariku. Lambat laun, aku bisa berbicara bebas dengannya seolah tiada batas usia. Lalu perasaan ingin memiliki dirinya mulai tumbuh, tanpa peduli bahwa aku hanya anak SMA menjelang lulus.. Saat itu yang ada di kepalaku hanya tentangnya, hingga kuingat selalu 19 April sebagai hari ulang tahunya.
19 April pun tiba. Segera kubawa ia menuju TKPdengan mata terpejam.
“Selamat ulang tahun, Mbak Yun! Semoga sehat selalu dan rezeki nya melimpah ya mbak?” ucapku setelah tutup matanya kubuka
“Wah terima kasih. Ga nyangka loh. Kok kamu niat banget sih, Ton?” serunya setelah melihat kue red velvetdi meja dengan ukiran namanya
“Oh bukan apa-apa kok Mbak. Ya niat terjadi karena kesempatan…..melihat tanggal lahir di kartu anggota” demikian pengakuanku dengan menahan degup jantung.
Di malam momen kejutan, kami pun saling bercerita lebih dalam. Diapun jadi tahu bahwa hari ulang tahunku 20 Agustus 1991. Setelahnya kami pun pulang ditemani oleh hujan deras.
“Ckiitt….Ckiit”
Bunyi aneh terdengar dari ban sisi kiri mobilku . Kuminta ia menungguku saat kuperbaiki banku.
“Ya ampun Ton, kamu kenapa basah-basahan gitu? Nanti kamu sakit, lho. Panggil mobil derek aja”
Mbak Yuni yang mencemaskanku membuat dada ini membuncah. Tapi aku tahan kegembiraan yang meluap itu dengan senyum kecil, sembari mempercepat ganti ban.
“Uhuk-uhuk, hachiiimm”
Saat mobil kembali normal, sangat susah kutahan rasa gatal di kerongkongan dan hidungku karena kehujanan. Mbak Yuni menawarkanku untuk mampir, dan kupilih pulang dulu.
Sebulan setelah kencan kejutan, nyaris 2 minggu aku terbaring jadi pesakitan di rumah sakit.
Siang itu, tanggal 18 Mei Mbak Yuni menjengukku dengan membawa Anyelir dan Pocari Sweat.
“Mbak, bunganya bagus. Tapi buat mbak Yunaja”
“Kenapa, bunganya jelek ya? Ya sudah aku bawa pulang“
“Gak kok, Mbak.Bawa bunganya ke sebelah ranjangdulu“
Begitu ia letakkan bunga ke meja sebelahku, segera kugenggam tangannya yang membawa bunga anyelir. Kunyatakan cintaku, dan dia pun tertunduk lalu terdiam dan mengangguk pelan
“Gak ada salahnya kita mencoba”
Aku bahagia saat ia mau memberiku kesempatan. Cintaku untuknya tak bertepuk sebelah tangan.
Hari-hari berlaluhingga Desember.. Yuni berangkat ke Medan untuk program magang. Sesaat sebelum ia naik pesawatnya, ia menelponku
“Anton sayang, nanti kamu mau oleh-oleh apa?”
“Kalau misalkan bisa lolos bea cukai, bawain duren Medan dong. Disini mahal”
“Hmm…berat itu….Nanti yang bantu bawain siapa?”
“Gausah deh, sayang. Yang penting kamu pulang dengan selamat ya.”
“Oke Antonku”
Nyatanya, hanya 1 setengah jam setelah kudengar janjinya untuk pulang kembali, pesawat yang ditumpanginya menghilang di ketinggian 1000 meterdi atas permukaan laut Aku tak menyangka Yuni kembali padaku sebagai jasad yang sudah tak utuh.
Yuni, semoga engkau tetap hidup, diantara riak air laut yang jadi tempatmu beristirahat untuk selamanya.
SEKIAN